
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Secara beruntun kita dikejutkan dengan prilaku dan statement yang mengundang kontroversi di masyarakat, terutama di media sosial. Mulai dari tendangan Hadfana Firdaus pada sesajen di sekitar gunung Semeru Lumajang, di susul “fatwa sabar” Ustadzah Oki Setiani Dewi atas musibah KDRT bagi seorang istri, dan yang paling mutakhir adalah “fatwa haram” wayang yang disampaikan oleh Ustadz Khalis Basalamah.
Semua prilaku dan pernyataan kontroversial ini adalah konsekwensi logis dari terbentuknya masyarakat digital, yaitu sekelompok orang yang disebut nitezen, yang semua sisi kehidupannya tergantung pada tekhnologi informasi, terutama melalui jaringan internet.
Advertisement
Di sengaja atau tidak, direncanakan atau tidak, selama semua prilaku atau pernyataan masyarakat digital ini direkam dan disebarluaskan melalui media sosial, maka, semua prilaku dan pernyataan tersebut tidak dapat ditarik kembali dan tentunya dapat memantik reaksi dari nitizen secara bebas dan cepat. Pro dan kontra menjadi biasa, pro dan kontra menjadi tak bisa dihindarkan. Bahkan menjadi keniscayaan.
Konsekwensi Masyarakat Digital
Selain menjanjikan keindahan dan kemudahan, era masyarakat digital juga menyisakan problematika yang tak mudah diurai dan diselesaikan. Tak bisa dibantah, bahwa sebagian persoalan kita bisa dengan mudah diselesaikan karena kita memanfaatkan informasi dan tekhnologi, namun, di sisi yang lain, kejahatan, kemorosotan moral bahkan kehancuran identitas dan jati diri bangsa juga mengancam di depan mata sebagai akibat dari penggunaan tekhnologi informasi.
Tak sedikit kita menyaksikan kejahatan siber, juga tak jarang kita mendengar beberapa kejadian yang memilukan sebagai cerminan hancurnya moralitas generasi bangsa karena tarikan negatif gadget, begitu juga tentang hoax dan hate speech yang semakin liar terjadi di ruang sosial media kita. Semua karena kita sedang berada di era digital dan, persoalannya, kita belum pandai serta belum bijaksana dalam bermedia sosial.
Era masyarakat digital adalah era di mana masyarakat memiliki peluang yang sama untuk bersuara dan berpendapat. Antara mereka yang memiliki kapasitas, mereka yang expert di bidangnya dengan mereka yang tak memiliki kapasitas dan tak expert di bidangnya memiliki peluang dan kesempatan yang sama dalam berpendapat dan berkomentar di media social. Problemnya, masyarakat kita masih lemah literasi digitalnya, sehingga, seringkali mereka tertipu dan lebih mempercayai yang tak expert dibandingkan mereka yang ahli di bidangnya.
Sekali lagi, ini adalah konsekwensi dari masyarakat yang baru beranjak dari masyarakat industri, -atau bahkan sebagian masih berada di kelompok masyarakat agraris- menuju masyarakat informasi, sebagaimana telah diramal oleh Alfin Toffler, seorang futurolog Amerika.
Kembali ke persoalan di atas, persoalan tendang sesajen, fatwa sabar dan fatwa haram yang dilakukan oleh tiga tokoh di atas, saya kira juga karena ketidakbijakan dalam bermedsos. Bahwa mereka memiliki pendapat yang berbeda dengan mayoritas umat Islam itu bukan soal, namun, ketika perbedaan itu diungkap atau diekpresikan dengan cara yang tidak bijak, maka reaksi negative dari nitezen dalam bentuk ketersinggungan atau bahkan kemarahan adalah konsekwensi logis. Karena itu, problem utama dalam kasus di atas adalah kesalahan ketiganya dalam menempatkan diri di masyarakat digital yang serba terbuka dan terkoneksi satu sama lainnya ini.
Belajar pada NU dan Muhammadiyah
Persoalan yang tak kalah penting dari kelalaian ketiga tokoh dalam mengelola perbedaan adalah minimnya kesadaran masyarakat tentang memahami perbedaan. Bahwa berbeda adalah sesuatu yang alami, tak perlu panas dingin karenanya, tak perlu marah dan mereaksi perbedaan secara berlebihan. Masyarakat masih sering reaksioner, gampang kaget dan terburu hati menghukumi perbedaan sebagai sebuah permusuhan.
Apa yang disampaikan oleh Ustadzah Oki, Ustad Khalid dan yang dilakukan oleh Hadfana Firdaus harusnya dipahami dari sisi mereka, dari posisi mereka. Bagi seseorang yang berusaha dan mencoba memahami perbedaan dengan cara memposisikan dirinya sebagaimana posisi orang yang berbeda dengannya, maka, kebijaksanaan lebih mudah muncul dan tidak akan terjebak pada kesalahpahaman dan kemarahan.
Terutama dalam konteks agama (hukum Islam), dalam konteks memahami pendapat orang lain tentang hukum Islam. Karena sejatinya, Islam sangat terbuka untuk ditafsiri, dipahami, terutama oleh mereka yang telah memenuhi kriteria sebagai ulama. Sangat banyak contoh dari berbagai perbedaan pendapat para ulama tentang berbagai hukum dalam Islam, berbeda-beda, terutama hukum fiqh yang masuk dalam kajian furu’iyah.
Hanya mereka yang telah luas ilmu pengetahuannya yang akan bersikap bijak dan tidak reaksioner terhadap perbedaan. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh para ulama klasik kita, bahwa semakin bertambah ilmu seseorang, semakin luas cakrawalanya, semakin banyak gurunya, semakin banyak kitab yang dipelajarinya, maka semakin sedikit orang tersebut menyalahkan orang lain.
Maqalah mulia ini tidak hanya cocok dipedomi oleh masyarakat awam, tapi juga untuk Ustadzah Oki, Ustadz Khalid dan Hadfana Firdaus. Seandainya Hadfana dan Ustadz Khalid Basalamah belajar sejarah tentang bagaimana para Wali Songo mengislamkan Nusantara, mungkin pernyataan menyalahkan dan bersikap semena-mena pada kelompok yang berbeda dengan mereka, apalagi yang berkaitan dengan budaya lokal, tidak akan terjadi.
Atau, jika seandainya Hadfana, Ustadz Khalid serta Ustadzah Oki memiliki waktu untuk belajar pada kiai-kiai sepuh di pesantren-pesantren NU, atau ada waktu untuk berdiskusi dengan tokoh-tokoh cerdik pandai Muhammadiyah, mungkin pernyataan dan prilaku yang kontroversi dari ketiganya itu tak akan muncul. Sangat mungkin, karena mau belajar pada para kiai sepuh NU dan mau berdialog dengan cerdik pandai dari Muhammadiyah, ketiga tokoh tersebut akan lebih memahami bagaimana seharusnya berdakwah di bumi Nusantara ini.
Bukan rahasia lagi bahwa NU dan Muhammadiyahlah yang telah berhasil menjaga dan merawat Islam sehingga terus tumbuh di Indonesia. Kedua organisasi ini, dengan tokoh-tokoh utamanya, yaitu para ulama dan para cerdik pandainya telah berhasil membuat strategi dakwah yang indah dan cerdas sehingga Islam senantiasa diterima dengan tangan terbuka di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang sangat majmuk. Salah satu startegi yang diambil oleh NU dan Muhamamdiyah tersebut adalah dakwah kultural. Berdakwah dengan memposisikan Islam tidak berhadap-hadapan dengan budaya local, selama budaya tersebut tidak merusak aqidah ummat Islam. Bahkan, dalam berbagai kasus, dakwah yang dilakukan oleh NU dan Muhammadiyah berhasil memanfaatkan budaya local sebagai instrument utama dakwahnya, salah satu contoh dari dakwah kultural tersebut adalah wayang kulit.
*) Penulis: Moh. Syaeful Bahar, Dosen UIN Sunan Ampel dan Wakil Ketua PCNU Bondowoso.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
_____
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |