Kopi TIMES

Privilege , Toxic dan Arti Sebuah Kebebasan

Senin, 14 Maret 2022 - 11:37 | 62.42k
Riza Ummami, Anggota Biro Intelektual PMII Rayon
Riza Ummami, Anggota Biro Intelektual PMII Rayon
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Banyak dari kita yang selalu mengira bahwa privilege selalu berkaitan dengan nominal. Padahal privilage bukan hanya sekedar harta peninggalan. Kepercayaan dari orangtua juga merupakan sebuah privilege contohnya orangtua yang mengizinkan anaknya membuat keputusan sendiri, namun ketika sang anak gagal dengan keputusan pilihannya orangtua tidak pernah menuntut kenapa tidak berhasil, justru orangtua memberikan afirmasi kepada anak bahwa kegagalan juga harus didapatkan dalam hidupnya. 

Kebebasan untuk menentukan pendidikannya, minat dan bakatnya serta cita-cita yang diinginkan. Tidak banyak anak yang mendapatkan kebebasan itu. Karena masih banyak saya menemui orangtua yang selalu ikut campur dalam urusan tadi. Wajar saja, karena setiap orangtua pasti menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya sehingga mereka merasa harus mengarahkan sang anak sebaik mungkin. Tapi apakah benar itu mengarahkan? Atau jangan-jangan sang anak dipaksa menuruti ambisi pribadi ayah atau ibunya.

Advertisement

Berdalih mengarahkan tapi realitanya anak harus tunduk kepada keinginan orangtuanya. Seakan-akan anak belum merdeka dan bebas serta leluasa untuk memilih menjadi apa ia kelak. Pendidikan yang diberikan oleh orangtuanya dijadikan perantara agar mudah mencari pekerjaan dengan menempati posisi strategis di intansi tertentu. Hal demikian membuat sang anak cenderung tumbuh rasa tanggung jawab besar kepada kedua orangtuanya juga keluarga besarnya. 

Pertama, sebagai sang anak tentu sebuah kewajiban untuk taat kepada ayah dan ibu, sehingga apa yang diingankan mereka seolah tak ada kuasa untuk melawan karena bagaimanapun ridho allah adalah ridho orangtua. Kedua, apabila dalam keluarga terdiri dari beberapa saudara, misalnya anak pertama yang selalu dituntut untuk sukses karena menjadi harapan dalam keluarga. Ketiga, apabila berasal dari keluarga tidak mampu, banyak mimpi pribadi anak yang harus dikubur dalam-dalam demi mewujudkan harapan orangtuanya.

Ketiga hal tersebut adalah beberapa contoh kecil dari banyaknya fenomena keluarga yang saya temui. Lagi-lagi setiap keluarga selalu memiliki sebuah privilege tersendiri, masalahnya sendiri dan kisahnya sendiri. Menurut saya, Tolak ukur harmonis sebuah keluarga bukan tentang seberapa banyak lulusan sarjana berasal dari keluarga tersebut, tetapi sebagaimana kebesaran hati setiap anggota keluarga untuk saling menghormati dan mengerti satu sama lain.

***

*) Oleh: Riza Ummami, Anggota Biro Intelektual PMII Rayon "Kawah" Chondrodimuko 2021-2022.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES