TIMESINDONESIA, JAKARTA – Wacana pembentukan koalisi partai politik nonparlemen untuk mengusung capres-cawapres di Pemilu 2024 perlu diapresiasi sebagai terobosan segar dalam menghadirkan alternatif poros koalisi. Berdasarkan ketentuan Pasal 222 UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu, pasangan capres-cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) suara sah nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
Dengan ketentuan tersebut, semua parpol peserta pemilu 2019 baik yang memiliki kursi DPR RI maupun tidak, sebenarnya memiliki peluang untuk mengusung pasangan capres-cawapres di pemilu 2024. Ketentuan presidential threshold saat ini memungkinkan parpol nonparlemen nasional untuk mengusulkan capres-cawapres dengan memakai skema koalisi 25% berbasis suara Pemilu 2019. Hanya saja, jika dijumlahkan, gabungan suara 7 parpol nonparlemen yang terdiri dari Partai Perindo, Partai Berkarya, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Hanura, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Garuda dan Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) hanya mencapai 9,7% atau sekitar 13,6 juta suara. Artinya, untuk bisa mengusung capres-cawapres, gabungan parpol nonparlemen tersebut masih membutuhkan tambahan dukungan sekitar 15,3% suara dari partai-partai peserta pemilu 2019.
Advertisement
Pertanyaan penting yang perlu diajukan adalah seberapa kuat bargaining politik gabungan parpol nonparlemen tersebut untuk menarik parpol lain dalam sebuah poros koalisi?. Pertanyaan ini penting diajukan mengingat selama ini, dalam skala nasional, arena politik selalu didominasi oleh partai-partai pemilik kursi baik dalam kapasitasnya sebagai barisan pemenang pemilu yang mengelola kekuasaan maupun yang mewakili kelompok oposisi. Kondisi ini menjadikan partai nonparlemen menjadi kian terpinggirkan dalam wacana politik kontemporer.
Di level politik lokal, peran yang dimainkan parpol nonparlemen juga cenderung minim, hanya terlibat pada saat momentum pilkada. Itupun sering terbatas pada momentum kandidasi dalam bentuk pemberian “tiket” atau kendaraan politik kepada calon-calon kepala daerah sesuai perolehan kursi DPRD Provinsi/Kab/Kota. Dalam kondisi yang demikian, eksistensi parpol nonparlemen semakin terpinggirkan karena hanya muncul saat musim elektoral tiba.
Gagasan pembentukan koalisi parpol nonparlemen, meskipun perlu disambut positif, tetapi akan dihadapkan pada sejumlah tantangan berat. Pertama, salah satu persoalan krusial dalam proses kandidasi selama ini adalah koalisi parpol yang kerap bertumpu pada pragmatisme jangka pendek dan perburuan kekuasaan (office-seeking). Pragmatisme tersebut cenderung melahirkan kehidupan politik berbasis transaksionalime dengan biaya politik yang sangat tinggi.
Skema pemilu serentak, di mana pembentukan koalisi dilakukan jauh sebelum pemungutan suara, sebenarnya diarahkan agar partai-partai dapat mengubah orientasi koalisi dari yang bersifat jangka pendek dan transaksional menjadi koalisi berbasis kesamaan ideologi, visi, dan platform politik. Efek dari koalisi yang diharapkan adalah tegaknya disiplin parpol, sehingga orientasi koalisi bisa berubah dari perburuan kekuasaan (office-seeking) menjadi perjuangan mewujudkan kebijakan (policyseeking).
Sulit dipungkiri bahwa selama ini, koalisi antarparpol cenderung dibangun berdasarkan perburuan rente dan kekuasaan ketimbang kompetisi memperjuangkan kebijakan atas dasar ideologi dan haluan politik tertentu untuk kepentingan umum. Dalam konteks inilah, skema koalisi parpol nonparlemen harus mampu keluar dari pakem dan tradisi politik yang telah mengakar tersebut agar mampu menghadirkan atmosfer kompetisi yang lebih sehat terutama dalam perjuangan kebijakan untuk kepentingan umum. Koalisi Parpol nonparlemen yang digagas harus mampu menginisiasi terjadinya perubahan paradigma koalisi. Hal ini diperlukan untuk menambah performa koalisi yang lebih sehat dan produktif dalam jangka panjang.
Kedua, koalisi parpol nonparlemen akan dihadapkan pada hambatan psikologi dan politik yang tidak ringan. Dengan modal politik sekitar 9,7 persen suara, sulit bagi gabungan parpol nonparlemen untuk menjadi simpul koalisi dengan partai papan atas seperti PDIP, Gerindra dan Golkar. Selain kalah dari perolehan jumlah suara, partai-partai papan atas tentu memiliki skenario dan skema koalisi tersendiri yang lebih menguntungkan tanpa harus bergabung atau melibatkan diri ke dalam poros gabungan partai nonparlemen. Apalagi, dua ketua umum parpol yaitu Gerindra dan Golkar masih berkepentingan terhadap kursi Capres-Cawapres ke depan. Artinya, bargaining politik gabungan parpol nonparlemen lebih marketable di level partai papan tengah seperti PKB, Nasdem, PKS dan Demokrat, berikut dua partai parlemen urutan terbawah yaitu PAN dan PPP.
Di level partai papan tengah, secara psikologis, sulit bagi gabungan parpol nonparlemen untuk menjadi simpul koalisi terutama dengan Demokrat dan PKB. Bagaimanapun, Demokrat punya pengalaman politik mengantarkan SBY menjadi Presiden dalam dua kali pemilu. Dan kini, partai berlambang mercy tersebut juga tengah menyiapkan AHY sebagai capres/cawapres yang elektabilitasnya cukup diperhitungkan. Begitu juga dengan PKB yang ketua umumnya berkepentingan terhadap posisi capres/cawapres meskipun elektabilitasnya masih cukup rendah. Adapun Nasdem, meskipun ketua umumnya tidak berkepentingan menjadi capres-cawapres, tetapi insting politik, jam terbang dan pengalaman politik Nasdem dalam kandidasi pilpres menjadi variabel yang tidak bisa diabaikan. Hambatan-hambatan psikologi dan politik dengan partai-partai papan tengah inilah yang menjadi kendala tersendiri bagi gabungan parpol nonparlemen dalam menggagas koalisi.
Bargaining politik yang lebih greget dan realistis bagi gabungan parpol nonparlemen adalah dengan dua partai parlemen urutan terbawah yaitu PAN dan PPP. Meski demikian, dua parpol tersebut, jika digabungkan perolehan suaranya, hanya mencapai 11,36 persen. Jika ditambahkan dengan gabungan parpol nonparlemen, baru mencapai 21,06 persen. Artinya belum cukup untuk mengusung pasangan capres-cawapres. Mengandalkan koalisi hanya dengan dua partai parlemen terbawah, jelas tidak memungkinkan.
Ketiga, ikhtiar politik koalisi parpol nonparlemen untuk menjadi simpul koalisi juga akan dihadapkan pada problem figur terkait siapa kandidat yang akan diusung sebagai Capres. Calon yang akan diusung, idealnya harus membawa efek elektoral terhadap suara partai-partai nonparlemen di Pemilu 2024. Meskipun coattail effect di Pemilu 2019 terbukti tidak bekerja maksimal, tetapi parpol nonparlemen harus tetap mempertimbangkan variabel tersebut. Terkait figur capres, sejumlah nama dari internal partai nonparlemen memang potensial bersaing dalam bursa capres, seperti Ketua Umum Perindo Hary Tanoesoedibjo, tokoh senior PBB Yusril Izha Mahendra, dan Ketua Umum Hanura Oesman Sapta Odang. Hanya saja, tingkat elektabilitas nama-nama tersebut sejauh ini masih cukup rendah. Artinya, menyodorkan capres dari lingkaran internal sebagai bargaining dalam membangun poros koalisi bersama parpol lain, sangat beresiko dan berpotensi tidak mendapatkan dukungan parpol lain. Sementara itu, jika mengandalkan figur Capres dari luar partai, juga menimbulkan problematika tersendiri. Tarik menarik kepentingan terkait take and give di antara anggota koalisi sangat mungkin terjadi.
Yang paling realistis bagi koalisi parpol nonparlemen adalah membangun skema koalisi taktis yang cair dan fleksibel berdasarkan-keuntungan-keuntungan elektoral dan potensi kemenangan tanpa harus menjadi simpul poros koalisi. Sulit dipungkiri bahwa dalam praktinya, untuk menjadi simpul atau pemimpin poros koalisi, beberapa variabel penting pemenangan harus dimiliki. Prasyarat dasar tersebut bisa berupa elektabilitas calon, perangkat dan infrastruktur kepartaian, serta dukungan logistik yang kuat.
Oleh karena itulah, dalam menghadapi jalan terjal pembangunan koalisi yang solid, gabungan parpol nonparlemen harus mampu memberikan tawaran yang lebih kongkrit dan menguntungkan terutama bagi partai-partai parlemen.
Meskipun menghadapi medan terjal dan penuh tantangan, tetapi gagasan pembentukan koalisi parpol nonparlemen tetap harus disambut positif karena berupaya menghadirkan alternatif-alternatif dalam membangun atmosfer kehidupan politik yang lebih dinamis. Bagaimanapun, kedudukan parpol sangat strategis karena merupakan satu-satunya institusi demokrasi yang menjalankan fungsi dan tanggung jawab rekrutmen politik. Dalam sistem kepartaian yang kompetitif, hanya parpol yang melembaga atau terinstitusionalisasi yang bisa menghadirkan sistem demokrasi yang sehat dan terkonsolidasi.
***
*)Oleh : Yusa’ Farchan, Pengamat Politik Citra Institute; Kandidat Doktor Ilmu Politik Universitas Nasional.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
______
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Sholihin Nur |