Kopi TIMES

Perkuat SRA, Menekan Banyaknya Tingkat Kekerasan pada Anak

Sabtu, 01 Oktober 2022 - 15:14 | 53.64k
Shofiatina Qurrota A’, M.Psi, Psikolog
Shofiatina Qurrota A’, M.Psi, Psikolog

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Meningkatnya kasus kekerasan pada anak di Indonesia kian mengkhawatirkan. Dari data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat setidaknya terjadi 11.952 kasus kekerasan anak yang tercatat Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni) sepanjang tahun 2021.

Sementara itu data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima pengaduan masyarakat terkait kasus perlindungan khusus anak tahun 2021 sebanyak 2.982 kasus. Dari jumlah tersebut, paling banyak atau 1.138 kasus anak yang dilaporkan sebagai korban kekerasan fisik dan atau psikis.

Berdasar hal tersebut, perlu upaya serius dari semua pihak untuk menekan angka kekerasan pada anak tersebut. Diantaranya, menguatkan kembali posisi Sekolah Ramah Anak (SRA) bukan hanya sebagai tagline, namun perlu ada upaya konkrit untuk mewujudkan cita-cita tersebut.

Berdasarkan Panduan Sekolah Ramah Anak (SRA) di tahun 2015 yang dibuat oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, definisi konsep sekolah ramah anak adalah bentuk pendidikan formal, nonformal, serta informal.

Di mana sekolah memiliki sifat aman, bersih, peduli, dan berbudaya lingkungan hidup, demi menjamin, memenuhi, serta melindungi hak anak serta perlindungan anak sekolah dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan di bidang pendidikan.

Tujuan dari adanya sekolah ramah anak ini adalah menciptakan lingkungan yang aman, sehat, dan menyenangkan bagi anak sekolah.

Harapannya, penerapan SRA ini tidak hanya mengandalkan peran dari pihak guru dan sekolah saja, melainkan juga dari siswa, orang tua, serta masyarakat.

Menurut penulis, secara garis besar penyebab kekerasan pada anak ada dua faktor utama. Yakni, faktor biologis dan faktor lingkungan. Yang pertama soal faktor biologis ini berasal dari dalam pribadi masing-masing misalnya pengaruh genetik, sistem otak, atau kimia darah.

Sedangkan dalam konteks Sekolah Ramah Anak (SRA) ini, penulis mencoba membahas lebih dalam di faktor penyebab yang kedua yakni faktor lingkungan (eksternal).

Pada Sekolah Ramah Anak, sekolah harus benar-benar “nihil” dari kekerasan. Pasalya di usia sekolah, anak-anak akan cenderung melakukan pengamatan langsung terhadap figur-figur model di sekitarnya.

Meskipun tak jarang juga seorang anak akan meniru dari apa yang dilihat dari media internet ataupun dari media televisi yang tidak berkaitan langsung dengan lingkungan sekolah.

Sekolah dianggap berhasil menjadi Sekolah Ramah Anak (SRA) jika mampu memberikan fasilitas kepada peserta didik mendapat haknya tanpa perlakuan diskriminasi, tiap anak bebas mengeluarkan gagasannya, adanya kerja sama antara tenaga kependidikan dengan murid dan orang tua, serta hendaknya pengambilan keputusan oleh tenaga kependidikan dilakukan dengan mempertimbangkan siswa dan menjamin agar hak siswa tetap dilindungi.

Selain itu, keberhasilan Sekolah Ramah Anak (SRA) ini akan berjalan dengan semestinya jika:

Ada komitmen tertulis terkait kebijakan Sekolah Ramah Anak (SRA).

Komitmen ini bisa dalam bentuk pakta integritas semua pihak dalam mencegah tindak kekerasan di sekolah. Harus ada tim khusus agar arah SRA semakin jelas dan terarah. Tim tersebut bisa digawangi oleh pendidik, peserta didik, bahkan orang tua atau wali murid juga bisa dilibatkan.

Semua stakeholder yang terlibat inilah yang kemudian membuat kebijakan, sekaligus melakukan sosialisasi sebagai bentuk penyadaran kepada semua warga sekolah. Ingat, proses ini harus benar-benar dilakukan step by step, tidak hanya seremonial belaka.

Jika, semua proses ini dilakukan tanpa kesadaran yang kuat, hanya berbasis kegiatan seremonial, tidak mungkin SRA bisa berjalan dengan baik.

Para Pendidik Mendapat Pelatihan Terkait Hak Anak

Diakui atau tidak, tidak semua guru paham mekanisme, cara, dan implementasi sekolah ramah anak ini. Perlu adanya pembelajaran khusus kepada warga sekolah khususnya guru sebagai figur teladan yang ada di sekolah.

Pasalnya, program SRA ini  tidak akan bisa berhasil jika tidak diawali dengan pemahaman yang baik dari guru terhadap implementasi sekolah aramah anak.

Proses Mengajar yang Menyenangkan

Proses pembelajaran harus berlangsung non diskriminatif, tidak bias gender, memperhatikan hak-hak anak, dapat beraudiensi dengan siswa, serta dilakukan dengan kasih sayang. Membangun budaya positif dan saling menerima. Mengenali murid secara dekat maka guru akan tahu apa saja yang dibutuhkan oleh anak didiknya.(*)

*) Oleh: Shofiatina Qurrota A’, M.Psi, Psikolog

 

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Dapatkan update informasi pilihan setiap hari dari TIMES Indonesia dengan bergabung di Grup Telegram TI Update. Caranya, klik link ini dan join. Pastikan Anda telah menginstal aplikasi Telegram di HP.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES