Kopi TIMES

Polisi untuk Konsolidasi Demokrasi

Sabtu, 15 Oktober 2022 - 13:42 | 85.36k
Astra Tandang, Pengurus Pusat PP PMKRI Periode 2022-2024.
Astra Tandang, Pengurus Pusat PP PMKRI Periode 2022-2024.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Seperti Anda tahu, Sabtu lalu (1/10) ada pertandingan sepak bola antara Arema FC dengan Persebaya Surabaya. Arema kalah. Ini kekalahan pertama mereka dari Persebaya di Kandang sendiri setelah 23 tahun. 

Hasil yang tidak menggembirakan ini, lantas meyulut amarah dari para suporter Aremania. Mereka tak puas dan langsung merangsek masuk ke lapangan. Karena kewalahan, aparat keamanan menghadangnya dengan berbagai cara. Ada yang dipukul, ditendang hingga menembakan gas air mata. Meski gas air mata ini sudah dilarang penggunaannya oleh FIFA dalam menangani kerusuhan supporter sepak bola. 

Advertisement

Buntut dari peristiwa yang ada, sejumlah 132 orang meregang nyawa. Belum terhitung yang luka-luka baik ringan maupun berat. Publik tanah air menyebutnya tragedi Kanjuruhan sekaligus bencana kemanusian. Bagi dunia internasional kejadian ini adalah hari gelap bagi sepak bola dunia. Tidak mengherankan, ucapan duka pun datang silih berganti dan hilir mudik hingga saat ini.

Namun tak hanya itu, beragam aksi pengecaman juga banyak dilakukan sebagai bentuk protes dan rasa kecewa. Kepada siapa?

Ada yang melimpahkannya kepada para suporter. Menjustifikasi tragedi yang terjadi tak lepas dari toxic subculture yang ada pada suporter sepak bola Indonesia. Tentu penilaian itu tidaklah sepenuhnya salah. Kita tidak kekurangan contoh jika ingin menyajikannya. Bahwa para suporter ini memiliki daya rusak sebagai gerombolan. 

Namun, menyalahkan mereka tidak begitu mendesak. Bagi saya toxic culture tersebut harusnya diarahkan kepada aparat keamanan. Crowd control atau pengendalian massa oleh aparat keamanan masih sangat buruk. Bahwa ada budaya kekerasan yang sudah laten tumbuh di tubuh kepolisian. Menggagap massa yang tak terkontrol itu sebagai musuh yang harus ditaklukan dengan menghalalkan segala cara. 

Lamban Berbenah

Anda tentu tahu, Polri adalah anak kandung reformasi dan demokratiasi. Ia dipisahkan dengan TNI, dikontrol rakyat dan dikendalikan pemerintahan sipil. Demikian, reformasi kepolisian diletakan ditengah kepentingan dan kekuatan masyarakat sipil. Namun, antipati masyarakat terhadap kepolisian terus bermunculan dan tak henti-hentinya. Semuanya bukan tanpa alasan dan sekonyong-konyong timbul begitu saja.

Hal yang paling potensial selalu hadir selama ini adalah munculnya militerisme yang mereprsentasikan gaya militer dalam menyikapi beragam persoalan sosial. Implikasi militerisme paling sahih adalah timbulnya sikap otoriter dalam bentuk kekerasan terhadap masyarakat sipil. Berulangkali konflik antara rakyat sipil via a vis Negara berawal dari ketidakpuasan masyarakat yang kemudian dihadapi dengan cara kekerasan. Kekerasan semacam heriosme tersendiri di lingkungan kepolisian. Apalagi hal ini diperkuat dengan keadaan minimnya penghargaan bagi aparat yang mampu menyelesaikan konflik dengan dialog dibandingkan dengan aksi massa. 

Tragedi kanjuruhan, akhirnya terus menambah daftar panjang kegagapan Polri mereformasi diri. Ada kesan kuat bahwa Polri terus bergerak melakukan kontra reformasi dan demokratisasi. Kontras mencatat ada 677 kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian sepanjang Juli 2021-Juni 2022. Menyebabkan 928 orang terluka, 59 jiwa meninggal dunia dan 1.240 orang ditangkap (Kompas,30/6).

Jangan heran jika kepercayaan masyarakat Indonesia terus terjun bebas terhadap institusi Polri. Sebelumnya pada April lalu, tingkat kepercayaan masyarakat kepada Polri sebesar 71,6 persen namun pada Agustus lalu, tingkat kepercayaan itu hanya sebesar 54,2 persen (CNNIndonesia, 3/10)

Apalagi reformasi setengah hati itu dilakukan ditengah anggaran kepolisian yang terus membengkak. Bahkan tahun ini, Polri memiliki anggaran sebesar Rp 109,7 triliun. Dan banyak dari uang itu dihabiskan untuk gas air mata, pentung (tongkat) dan masker gas. Demikian juga terjadi ditengah prahara kasus kematian Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J yang sangat menggerus kepercayaan masyarakat terhadap Polri.

Ikhtiar Kapolri Jendral Listyo Sigit membenahi secara serius tubuh polisi ternyata masih menapaki jalan terjal. Tagline yang ia buat memang idah sekali, yaitu presisi (prediktif, responsibiltas, transparan, bertanggung jawab serta berkeadilan). Namun ternyata tak begitu implementatif. Polri masih lamban berbenah dan masih menyisahkan pekerjaan fundamental yang mendesak diselsaikan, yakni toxit culture.

Konsolidasi Demokrasi

Politik tanpa keamanan adalah anarki. Demikian sebaliknya, sekali keamanan jadi panglima politik, demokrasi diberangus atas nama ketertiban semata. Negara modern yang mengusung emansipasi dan liberasi harus memastikan kecendrungan itu dicegah sedini muingkin. Karena dua ekstrim ini sama daya rusaknya terhadap kedaulatan Negara dan hak asasi manusia. Pembangunan manusia dan berjalan lancar sepanjang demokrasi dan keamanan berkolaborasi dengan baik. 

Karena itu, Polisi menjadi bagian penting dalam konsolidasi demokrasi dengan bekerja sesuai koridor Negara hukum yang tentuna sangat menghormati prinsip due process of law dan penghargaan akan kebebasan.  Apalagi peran polisi semakin penting sekarang ini mengingat eskalasi konflik politik bisa berakhir dengan kekerasan masal dan meluas. Jika terjadi, estafet kepemimpinan akan sangat mungkin terganggu dan pembangunan ekonomi terbengkalai. 

***

*) Oleh: Astra Tandang, Pengurus Pusat PP PMKRI Periode 2022-2024.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES