Kopi TIMES

Arema, Sepak Bola, Agama dan Indonesia (7)

Senin, 07 November 2022 - 10:14 | 30.47k
Didik P Wicaksono. Aktivis di Community of Critical Social Research Universitas Nurul Jadid (UNUJA) Paiton Probolinggo.
Didik P Wicaksono. Aktivis di Community of Critical Social Research Universitas Nurul Jadid (UNUJA) Paiton Probolinggo.

TIMESINDONESIA, MALANG – Pandangan Khonghucu tentang manusia, diantaranya, "Setiap manusia berbeda-beda, tetapi memiliki satu persamaan yaitu "ren" (perikemanusiaan). Meski berbeda-beda ras, bangsa dan negara, "Manusia di empat penjuru lautan, semuanya saudara". Penghayat Khonghucu memiliki rasa welas asih dan selalu berbuat baik kepada sesamanya. Pada perayaan Imlek, biasa memberi angpao (uang), tidak terbatas pada saudara sesama Tionghoa, juga tetangga kiri kanan yang berbeda keyakinan.

Semua agama mengajarkan cinta kasih. Dilarang menyakiti hati dan mencelakai orang lain karena lidah, tangan dan perbuatan kita. Di Bali terdapat "Tradisi Ngejot", yaitu tradisi memberi makan. Hindu dan Islam bertemu dalam bentuk pengiriman makanan kepada anak-anak maupun tetangga yang berbeda agama. Baik hari besar keagamaan Galungan (Hindu) maupun Idul Fitri (Islam). Tradisi ini sudah lama berkembang di Bali.

Manusia dalam berhubungan dengan Tuhan dan manusia lainnya tidak perlu saling menyalahkan. Pinjam quote Gus Mus (Dr. KH. Mustofa Bisri), "Malaikat tak pernah salah. Setan tak pernah benar. Manusia bisa benar, bisa salah, maka kita dianjurkan saling mengingatkan, bukan saling menyalahkan".

Perasaan selalu benar, suci dan bangga dapat menjerumuskan pada kesombongan. Mengutip pandangan Prof. Akhmad Muzakki, M.Ag., Grad.Dip. SEA., M.Phil., Ph.D, Rektor UINSA Surabaya, "Saat kita beribadah, tidak jarang hati kita tercemar dengan "riya" atau bahkan justru melahirkan perasaan sok suci yang membawa kita pada kesombongan" (Ahmad Zainul Hamdi, 2022).

Iblis termasuk jajaran malaikat yang terkemuka, meskipun unsur penciptaannya tidak sama, malaikat dari cahaya dan Iblis dari api, namun Iblis jatuh karena kesombongan.

Sombong, tidak rela sujud (hormat) kepada manusia sebagai sesama ciptaan Tuhan, karena Iblis merasa lebih mulia daripada manusia yang terbuat dari tanah. Kesombongan itu membuatnya keluar, diusir dari "kedudukannya" bersama para malaikat. Iblis pun bersumpah untuk menyesatkan manusia.

Dalam kehidupan nyata, orang yang memandang dirinya lebih mulia, melihat orang lain mendapat keberuntungan, timbul kebencian dan malah memusuhinya. Sebab "kesombongan" itu mengira kemuliaan hanya milik dirinya. Padahal karunia tuhan tidak terbatas. Tuhan maha pemberi karunia kepada siapapun yang dikehendakinya.

Para pelaku tasawuf menghindari sekecil apapun kesombongan meskipun hanya terbesit dalam hati, "alangkah mulianya saya, alangkah baiknya kalau dia seperti saya"

Praktik ritual (ibadah) selalu berkorelasi dan berimplikasi pada aksi-aksi kemanusiaan. Beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT berkaitan dengan penghormatan kepada tamu dan para tetangga. Memuliakan sesama manusia.

Shalat adalah ibadah kepada Allah SWT. Di akhir shalat memberi salam ke arah kanan dan kiri. Salam dan doa kepada sesama manusia "semoga keselamatan terlimpah untuk kalian". Sebelum berdiri (selesai) dari shalat mendoakan kebaikan kepada sesama manusia. Selesai shalat, bertebaran ke muka bumi mencari rezeki dan tentu berinteraksi dengan sesama manusia lainnya.

Kewajiban puasa bagi orang sakit atau tua yang benar-benar tidak bisa menjalankan puasa dapat diganti dengan kewajiban membayar fidyah, yaitu memberi makan fakir miskin. Memberi makan kepada orang yang sedang berbuka, pahalanya setara dengan orang yang berpuasa.

Masih banyak contoh lainnya tentang keimanan dan ketaqwaan yang berhubungan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Tuhan Maha pengampun, yang pengampunannya berhubungan dengan pemberian maaf orang lain. Kesalahan kepada orang yang belum dimaafkan menjadi penghalang pengampunan Tuhan.

Konflik kemanusiaan yang terjadi bukan "agama" alasan utamanya. Ajaran Islam berkewajiban memberi perlindungan kepada non-Islam apabila mereka meminta perlindungan. Bukan memusuhinya. Permusuhan terjadi apabila mereka nyata-nyata memusuhi Islam.

Beragama berarti menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Hubungan antar umat beragama satu sama lain lazim saling menghormati dan bertoleransi. Itu sudah terpatri sebagai bagian dari warga negara Indonesia yang berdasar Pancasila, UUD 45, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI.

Contohnya, pada aksi demo umat Islam (11/2/2017) telah membuat macet jalan menuju Gereja Katedral Jakarta. Tempat massa berkumpul di Masjid Istiqlal yang berdekatan dengan Gereja. Pada saat bersamaan ada pasangan kekasih yang akan menggelar prosesi pernikahan. Spontan peserta aksi mengawal mobil pengantin. Ketika pengantin keluar dari mobil, para aksi demo turut membantu memegang payungnya menuju Gereja, sehingga prosesi pernikahannya sesuai jadwal.

Pasangan pengantin berterima kasih kepada massa aksi yang berbeda keyakinan, tetap menghormati dan menghargainya. Ini contoh praktek nyata bentuk toleransi antar umat beragama di Indonesia.

Pemandangan indah lainnya dapat disaksikan di Alun-alun kota Malang. Di sebelah barat terdapat Masjid yang berjejer dengan Gereja. Ketika shalat jumat, shalat Idul fitri dan Idul adha jamaahnya meluber ke depan dan sekitar area Gereja.

Demikian pula hari minggu atau perayaan Misa dan hari keagamaan Kristen lainnya, parkir jamaahnya sampai menggunakan jalan di depan masjid. Kerukunan antar umat beragama dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari. Islam menegaskan, "Bagiku agamaku, bagimu agamamu". Khonghucu menyampaikan, "Jangan mendebat keyakinan menuju jalan suci orang lain".

Pengertian agama, pada umumnya mengatur (supaya tertib) hubungan vertikal kepada tuhan (habluminallah) dan horizontal sesama manusia (habluminannas).

Hubungan habluminallah dan habluminannas mirip simbol penjumlahan. Semakin tinggi ke atas karena ketakwaannya, diikuti semakin panjang ke samping karena jangkauan panjang humanisnya.

Lantas mengapa Indonesia sebagai negara yang terkenal religius masih terjadi tragedi kemanusiaan?

Ilustrasinya seperti dua orang terlibat percekcokan yang memperebutkan area parkir, hingga terjadi peristiwa pembunuhan. Satu orang beragama Islam dan lainnya Kristen.

Namun, ada pihak ketiga yang menungganginya. Baik dengan provokasi maupun agitasi. Padahal masalah tersebut cukup dilokalisir, persoalan dua orang yang saling memperebutkan area parkir. Bukan mengipasi pada konsolidasi (penguatan) atas nama agama.

Dibalik tragedi Kanjuruhan tidak lepas dari setting (latar belakang) situasi sosial, ekonomi, politik dan hukum di Indonesia yang "sedang tidak baik-baik saja". (*)

 

 

*) Penulis adalah Didik P Wicaksono. Aktivis di Community of Critical Social Research Universitas Nurul Jadid (UNUJA) Paiton Probolinggo.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES