
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Membangun ketahanan pangan nasional merupakan janji politik Presiden Joko Widodo dalam pemerintahannya. Komitmen ini kemudian diwujudkan dalam program Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP) atau dikenal dengan sebutan Food Estate. Terdapat 5 provinsi yang dipilih pemerintah untuk mengembangkan Food Estate. Kelima provinsi tersebut yaitu Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur dan Provinsi Papua.
Kebijakan yang bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan nasional sebetulnya bukanlah hal baru. Selama 32 tahun, Presiden Suharto pernah mendulang kesuksesan dengan program swasembada beras, swasembada pangan dan revolusi hijau. Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diketahui pernah menerapkan kebijakan serupa melalui program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).
Advertisement
Pangan merupakan kebutuhan pokok yang pemenuhannya memerlukan intervensi negara. Kecukupan pangan dapat mendukung seseorang menjadi individu yang sehat dan berdaya saing. Dalam lingkup yang lebih luas, ketersediaan pangan juga dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian sebuah negara. Menyediakan pangan yang dalam skala besar memang bukanlah hal mudah. namun Indonesia memiliki potensi biologis alamiah untuk menjadi produsen pangan dunia.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa derasnya arus modernisasi yang memudahkan kehidupan telah membuat seseorang enggan untuk bertani. Ironisnya, tren ini bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di negara-negara lainnya.
Modernisasi juga diketahui memberikan dampak eksploitatif dan destruktif yang menyebabkan tergerusnya lahan-lahan pertanian. Tidak hanya itu, Indonesia pun kini diintai oleh dampak perubahan iklim dan ledakan jumlah penduduk. Pentingnya ketahanan pangan juga teruji dalam perang Rusia dan Ukraina. Negara yang seutuhnya bergantung pada input dan pangan impor terbukti turut mengalami gejolak dan krisis.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, pemerintah membuat kebijakan Food Estate. Pertanyaannya, apakah kebijakan pangan ini akan mengulang kesuksesan kebijakan pangan di Era Presiden Suharto. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita ulas dan telaah secara singkat program yang sedang berlangsung ini.
Dari aspek tanaga kerja sektor pertanian. berulang kali dalam pidatonya Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa Food Estate mengusung konsep pertanian berkelanjutan. Artinya, program ini diharapkan akan terus menerus bergulir dalam waktu yang lama. kita semua bersepakat bahwa sebuah kebijakan atau program merupakan barang mati yang perlu dihidupkan. Ibarat sinopsis yang memerlukan aktor untuk menghidupkannya, food estate membutuhkan petani yang menghidupkan programnya.
Berbicara tentang keberlanjutan pertanian di Indonesia sama halnya dengan berbicara keberlanjutan petaninya. Saat ini memang terdapat banyak teknologi pertanian modern yang akan memudahkan pelaksanaan proses pertanian tanpa melibatkan banyak tenaga kerja. Namun, harus dipertimbangkan pula bahwa salah satu tujuan dari food estate adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu, semakin banyak petani yang terlibat terutama petani lokal, akan semakin banyak pula potensi peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Nampaknya ungkapan ini pas dengan program food estate yang sedang digarap pemerintah dimana Food Estate dijadikan program untuk meningkatkan kesejahteraan sekaligus untuk mengurangi prevalensi stunting, terutama di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Kembali ke pembahasan petani sebagai aktor utama dalam pertanian. Selain seberapa banyak program ini menyerap tenaga kerja, perlu dipertimbangkan pula langkah untuk meningkatkan skil petani dari sisi on farm dan dari sisi off farm atau selama masa tanam hingga pasca panen. Para petani perlu diberikan penyuluhan terkait isu-isu strategis dalam pertanian dan pelatihan untuk meningkapkan skillnya dari aspek on farm dan off farm.
Dari aspek off farm contohnya. Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa jaringan pasar merupakan salah satu masalah utama dalam pemasaran produk pertanian. Agar para petani lebih berdaya dan mandiri, pemerintah perlu memperkuat petani dengan pengetahuan tantang pemasaran digital dan segmen pasar.
Selanjutnya, terdapat sejumlah argumentasi untuk menjelaskan tentang kegagalan atau keberhasilan program. Kesuksesan food estate misalnya dapat dilihat dari kesesuaian konsep dan implementasi serta penerimaan masyarakat terdap program. Evaluasi dapat dilakukan dengan menyesuaikan impelentasi dengan indikator capaian bulanan atau tahunan yang telah ditentukan.
Meskiputn begitu, untuk kebijakan food estate ini, kita belum bisa menyimpulkan secara utuh bahwa program ini telah meraih kesuksesan atau kegagalan. Mengingat program ini masih terus berjalan. namun, selain mengacu pada idealisme kita harus ingat pula bahwa tidak ada kesuksesan mutlak yang bisa mengakomodir semua pihak.
Disamping itu, tidak semua kebijakan dapat dirasakan dampaknya pada saat itu juga, terdapat sejumlah kebijakan jangka menengah dan panjang yang dampaknya baru dapat dirasakan dalam waku yang lama.
***
*) Oleh: Vina Fitrotun Nisa, Mahasiswi S2 Kajian Ketahanan Nasional UI; Staf Pendukung di Bappenas.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Rizal Dani |