Kopi TIMES

Dimensi Koruptif dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Lahan Hak Guna Usaha

Senin, 21 November 2022 - 20:31 | 26.06k
Sakafa Guraba SH., MH., Jaksa Fungsional pada Kejaksaan Tinggi Aceh; Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.   
Sakafa Guraba SH., MH., Jaksa Fungsional pada Kejaksaan Tinggi Aceh; Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.   

TIMESINDONESIA, ACEH – Sejarah Hak Guna Usaha di Indonesia berawal dari era kolonial yang dikenal dengan Hak Erfpacht yang merupakan alat dari pemerintah kolonial untuk menjarah kekayaan sumber agraria di tanah air Indonesia.

Hak Erfpacht sendiri bersumber dari Undang-undang Agraria Kolonial (Agrarisch Wet) yang ditujukan untuk memfasilitasi investasi luar negeri masuk ke Indonesia dan memperoleh tanah untuk mengembangkan tanaman komoditi ekspor, sehingga sering disebutkan beberapa pakar tanah HGU merupakan “warisan kolonial”.  

Negara sebagai suatu oraganisasi yang memiliki kekuasaan tertinggi mempunyai hak menguasai bumi, air, dan kekayaan alam sebagaimana terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Pasca lahir Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Dasar Agraria ketentuan Hak Guna Usaha secara definitif dirumuskan sebagai hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu dan Tanah yang diberikan dalam Hak Guna Usaha ialah tanah negara.

Hak Guna Usaha (HGU) sendiri bersifat primer yang memiliki spesifikasi-spesifikasi tertentu yang peruntukannya adalah bagi usaha pertanian, perikanan, perkebunan dan peternakan. 

Pada tahun 2022 dalam proses penegakan hukum terdapat tren yang muncul yakni meningkatnya penanganan perkara tindak pidana korupsi terkait dengan pemanfaatan tanah negara diatas lahan Hak Guna Usaha. Salah satu kasus yang cukup menjadi perhatian masyarakat dan pemerhati hukum yakni tindak pidana korupsi pada kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang dilakukan oleh PT Duta Palma Group di atas lahan Hak Guna Usaha di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) yang menyebabkan kerugian negara dan perekonomian negara sebesar Rp 99,2 triliun. Nilai tersebut menjadi rekor kerugian negara terbesar dalam sejarah penanganan tindak pidana korupsi.

Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi dalam Pemanfaatan Hak Guna Usaha 

Kasus korupsi yang bersinggungan dengan pemanfaatan dan pengelolaan Hak Guna Usaha yang terus bermunculan dengan berbagai modus operandi.

Berdasarkan pengamatan pola tindakan koruptif dalam Pemanfaatan Hak Guna Usaha, penulis membagi tahapan Hak Guna Usaha yang acapkali terjadi tindak pidana korupsi kedalam 3 fase. 

Pertama dan paling umum ditemui adalah tindak pidana korupsi dalam penerbitan, perpanjangan, dan pembaharuan dari Sertifikat Hak Guna Usaha. Kasus terkait hal tersebut sangat sering ditemui seperti kasus suap dan gratifikasi GTU selaku Kepala Kantor Wilayah BPN Kalimantan Barat (2012-2016) dan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Timur (2016-2018), dan SWD selaku Kabid Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah kantor BPN Wilayah Kalimantan Barat menerima sejumlah uang dari para pemohon hak atas tanah termasuk pemohon Hak Guna Usaha dalam rentang tahun 2012 hingga 2016.

Pada bulan oktober 2022 kasus yang serupa juga muncul yang melibatkan mantan Kepala Kanwil BPN Provinsi Riau M. Syahrir (MS), swasta/pemegang saham PT Adimulia Agrolestari (AA) Frank Wijaya (FW), dan General Manager PT AA Sudarso (SDR) dalam proses pemberian zin HGU sawit di Kabupaten Kuansing.

Fase kedua yakni tindak pidana korupsi dalam pelaksanaan atau pada masa Hak Guna Usaha sedang berlangsung. Dalam fase tersebut umumnya tindak pidana korupsi yang terjadi pada perizinan Hak Guna Usaha yang bemasalah, namun terdapat penerimaan negara yang tidak disetorkan. Contohnya dalam kasus PT Duta Palma Group yang memiliki 3 sertifikat Hak Guna Usaha dengan total luas 15.593,90 hektare, namun demikian tidak memiliki izin pelepasan kawasan hutan, sehingga negara tidak memperoleh haknya berupa pendapatan dari pembayaran Dana Reboisasi (DR), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Sewa Penggunaan Kawasan Hutan serta kerusakan tanah dan lingkungan yang menyebabkan kerugian negara dan perekonomian negara sebesar Rp99,2 triliun.

Fase Ketiga dan terakhir adalah pemanfaatan lahan eks Hak Guna Usaha yang telah habis masa berlakunya. Untuk fase tersebut hingga saat ini belum ditemukan kasus yang sampai pada proses pengadilan.

Namun demikian, potensi kerugian mengingat ketentuan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah yang mengatur setelah hapusnya Hak Guna Usaha diatas tanah negara mengakibatkan tanah menjadi Tanah Negara sehingga pemanfataan atas eks Hak Guna Usaha yang secara Ratio Logis tidak memiliki dasar hukum dan legitimasi mengakibatkan negara tidak mendapatkan penerimaan baik bersumber dari pajak dan pendapatan lainnya yang sah menurut peraturan perundangan-undangan

Kalkulasi Kerugian Negara

Pembahasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia tidak lepas dan erat kaitannya dengan kerugian keuangan negara.

Pasca putusan Mahkamah Konstitusi “Menyatakan kata ‘dapat’ dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dengan demikian Mahkamah Konstitusi menilai Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor terkait penerapan unsur merugikan keuangan negara telah bergeser dengan menitikberatkan adanya akibat (delik materil).

Tegasnya, unsur merugikan keuangan negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss), tetapi harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss) dalam tipikor. Rumusan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor merupakan pasal khas dan hanya ada di Indonesia, bahkan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 yang diratifikasi UU No. 7 Tahun 2006 tidak spesifik mencantumkan unsur kerugian negara lantaran cakupan delik korupsi sudah diurai secara limitatif.

Apabila melihat dalam Tindak Pidana Korupsi yang telah penulis uraikan dalam 3 fase tersebut, masing-masing untuk fase kedua dan ketiga memiliki potensi kerugian kekuangan negara.

Fase kedua misalnya, tindak pidana korupsi dalam pelaksanaan atau pada masa Hak Guna Usaha sedang berlangsung. Dalam konteks kasus PT Duta Palma Group yang tidak memiliki izin pelepasan kawasan hutan, sehingga negara tidak memperoleh haknya berupa pendapatan dari pembayaran Dana Reboisasi (DR), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Sewa Penggunaan Kawasan Hutan cukup potensial untuk dibuktikan.

Namun demikian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dari kerusakan tanah dan lingkungan yang diakibatkan dalam proses pembuktiannya akan menjadi tonggak sejarah perhitungan kerugian keruangan negara dari kerusakan lingkungan hidup.

Perhitungan kerugian keruangan negara dari kerusakan alam dan lingkungan hidup sendiri pernah diterapkan dalam kasus korupsi mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam namun demikian Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta tidak menganggap perhitungan kerugian keruangan negara dari kerusakan lingkungan hidup karena berpendapat penuntut umum KPK belum dapat membuktian hal tersebut.

Kerugian keuangan negara dalam Fase Ketiga yakni pemanfaatan lahan eks Hak Guna Usaha yang telah habis masa berlakunya juga cukup berpontensi untuk diterapkan mengingat dalam pengajuan Hak Guna Usaha terdapat penerimaan negara baik dari Pajak, Pemasukan Negara, dan Pendapatan Lainnya yang diatur dalam berbagai peratura perundang-undangan lintas sektoral.

Grey Area Hak Guna Usaha

Sertifikat Hak Guna Usaha diatas Tanah Negara yang proses penerbitannya melalui beberapa tahap administrasi dan verfifikasi dari Kantor Pertanahan, Kantor Wilayah Badan Pertanahan hingga Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang, acapkali hanya dilihat dalam sisi Hukum Administrasi Negara sehingga segala penyimpangannya sering dipandang sebagai perbuatan mal administrasi.

Perkembangan Hukum Adminitrasi Negara dan Hukum Pidana khususnya dalam konteks tindak pidana korupsi pada saat ini memang memasuki “grey area” atau wilayah abu-abu yang terus menimbulkan perdebatan di kalangan ahli hukum pidana.

Penegakan hukum khususnya tindak pidana korupsi dalam penyimpangan Hak Guna Usaha di atas Tanah Negara tidak dapat dipandang sebuah proses litigasi semata namun merupakan mandat konstitusional dari Pasal 33 ayat 2 UUD dan perwujudan dari adagium hukum lus populi suprema lex (kemakmuran dan kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi dalam suatu negara) mengingat sangat merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan nasional.

***

*) Sakafa Guraba SH.,MH., Jaksa Fungsional Pada Kejaksaan Tinggi Aceh / Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.   

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

 

_____
**)
Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES