Kopi TIMES

Pangan Buatan Biologis: Produksi Susu dan Telur Melalui Proses Fermentasi Mikrobial, Tanpa Budidaya Hewan Ternak

Jumat, 02 Desember 2022 - 11:08 | 55.74k
Dr. Eko Saputro, S.Pt., M.Si.; Widyaiswara Ahli Muda BBPP Batu - Kementerian Pertanian.
Dr. Eko Saputro, S.Pt., M.Si.; Widyaiswara Ahli Muda BBPP Batu - Kementerian Pertanian.

TIMESINDONESIA, BATU – Produksi protein yang berasal dari hewan ternak adalah salah satu metode tradisional yang utama dari pasokan protein hewani, yang terus menghadapi tantangan yang semakin besar untuk memenuhi kebutuhan secara global karena pertumbuhan populasi penduduk dunia, peningkatan konsumsi protein secara individu, dan polusi lingkungan yang semakin parah.

Dengan demikian, memastikan sebuah sumber protein yang berkelanjutan adalah sebuah tantangan yang besar. Hal tersebut telah memunculkan dan  berkembangnya pangan buatan biologis yang memungkinkan pembentukan pabrik sel yang dapat mensintesis protein secara efektif. Hal ini merupakan sebuah cara yang penting untuk memecahkan masalah pasokan protein hewani. Sebagai contohnya susu hasil rekayasa buatan secara biologis dan telur hasil rekayasa buatan secara biologis. Transisi pasokan pangan sumber protein hewani berbasis pada sintetis biologis telah mengalami kemajuan yang pesat.

Masa depan pangan buatan biologis sebagai sumber protein hewani sangat potensial. Keterbatasan yang ada saat ini dari pangan buatan untuk sintesis dan produksi protein hewani harus ditangani, dengan penguatan dan inovasi aplikasi teknologi pangan buatan biologis, termasuk metode rekayasa genetika dan metode penyaringan high-throughput. Pengembangan dan produksi secara industrial dari sumber pangan baru harus dieksplorasi untuk memastikannya aman, berkualitas tinggi, dan pasokan protein hewani yang berkelanjutan secara global.  

Protein adalah nutrien penting untuk mempertahankan kehidupan dan pertumbuhan manusia, dan digunakan sebagai komponen penting dari fisiologi dan biokimia dalam tubuh manusia. Dengan demikian, kualitas dan kuantitas dari protein yang dimakan secara langsung akan mempengaruhi kesehatan manusia. Menurut rekomendasi, asupan protein untuk pria dewasa dan wanita masing-masing adalah harus 65 g/hari dan 55 g/hari.

Untuk individu tertentu, termasuk atlet, manula, dan wanita hamil, hasil studi merekomendasikan bahwa asupan protein harian optimal harus lebih tinggi dari jumlah yang direkomendasikan untuk umum, karena secara positif akan mempengaruhi tubuh mereka. Menurut prediksi PBB, penduduk dunia diprediksi akan tumbuh hingga 9,7 miliar pada 2050. Hal ini menunjukkan bahwa dibutuhkan tambahan sebanyak 260 juta ton protein per tahun yang harus diproduksi untuk memenuhi peningkatan kebutuhan tersebut.

Untuk memenuhi permintaan protein yang begitu besar, perlu dilakukan peningkatan pasokan pangan yang kaya protein. Tumbuhan dan hewan adalah sumber protein tradisional, di mana konsumsi protein hewani mencapai 40% dari total konsumsi protein manusia, dan proporsi ini telah diprediksi akan meningkat besar. Organisasi Pertanian dan Pangan PBB (FAO) telah memprediksi bahwa dari tahun 2000 hingga 2050, konsumsi produk daging dan susu secara global akan meningkat masing-masing sebesar 102% dan 82%. Hal ini berarti membutuhkan tambahan produksi sebesar 233 juta ton daging dan 466 juta ton susu. Pertumbuhan hewan dan tanaman serta realisasinya membutuhkan persyaratan yang tinggi yang mengindikasikan kebutuhan (input) yang terbatas dari sumber daya bumi, seperti air dan tanah. Hewan ternak sendiri terhitung menggunakan 1/4 air segar dunia dan 1/3 tanah yang tersedia.

Selanjutnya, proses produksi hewan ternak memiliki sebuah dampak penting pada iklim, keanekaragaman hayati, dan dampak lingkungan lainnya. Secara bersamaan, proses transformasi pangan, khususnya transformasi protein hewani, juga mengalami kehilangan sumber daya yang cukup besar. Sebagai contoh produksi daging sapi, sumber daya yang dikonsumsi hewan ternak untuk menghasilkan 4 g protein daging sapi dapat menghasilkan 100 g protein yang berasal dari tumbuhan. Sumber daya alam yang terbatas akan meningkatkan kesulitan untuk pasokan protein dengan metode tradisional untuk memenuhi kebutuhan penduduk dunia.

Selain itu, asupan protein hewani berpotensi menimbulkan masalah keamanan pangan, seperti bovine spongiform encephalopathy, avian influenza, dan residu antibiotik. Lebih-lebih lagi, telah terjadi peningkatan persepsi masyarakat vegetarian bahwa memakan daging hewan adalah tidak manusiawi. Semua masalah tersebut di atas membawa tantangan untuk mengubah metode pasokan protein tradisional. Karena itu, diperlukan eksplorasi sumber protein yang berkelanjutan untuk mengimbangi model pasokan protein tradisional.

Biologi sintetis adalah sebuah teknologi kunci yang selaras dengan perkembangan yang berkelanjutan yang bisa menyediakan dan mendukung pertanian global, kesehatan global, dan bisa meringankan beban    lingkungan global saat ini. Namun, saat ini riset tentang biologi sintetis masih terfokus pada bidang terutama terkait dengan kimia dan obat-obatan, sedangkan riset pada pangan masih relatif lebih sedikit. Pangan buatan biologis  bertujuan untuk mensintesis komponen makanan atau bahan kimia zat gizi dengan biomassa terbarukan sebagai bahan baku. Penggunaan pangan buatan biologis untuk menghasilkan protein bisa: (1) mengurangi polusi udara,  konsumsi energi, dan penggunaan lahan, serta (2) mengurangi penyakit hewan menular yang dapat terjadi pada praktik produksi peternakan.

Pasokan dari daging terhitung sebagai sebuah proporsi yang besar dari total pasokan protein hewani dibandingkan dengan telur dan susu. Sebagai contoh rasio konsumsi daging, telur, dan susu di China adalah sekitar 15:5:6. Menurut Digestible Indispensable Amino Acid Score (DIAAS), protein dalam telur dan susu memiliki skor lebih tinggi, dan komposisi asam aminonya serupa dengan yang dibutuhkan manusia.

Susu Hasil Rekayasa Biologis

 Susu adalah sebuah sumber penting dari protein berkualitas tinggi. Kasein dan whey (air dadih) adalah protein utama dalam susu, terhitung masing-masing sekitar 76%–88% dan 16%–22% dari total kandungan protein. Fungsi dan gen pengkodenya telah diteliti dengan baik. Saat ini, konsumsi secara global dari produk susu meningkat stabil. Menurut sebuah survei dari Departemen Pertanian USA (USDA), produksi susu secara global sebesar 523 juta ton di tahun 2019, atau meningkat 0,96% dibandingkan tahun 2018.

Konsumsi susu secara global sebanyak 188 juta ton di tahun 2019, atau meningkat sebesar 0,56% dari tahun 2018. Susu memiliki isu yang dapat menyebabkan masalah kesehatan seperti intoleransi laktosa, alergi susu sapi, dan hiperkolesterolemia. Selanjutnya, keprihatinan terkait hormon susu dan residu antibiotik, gaya hidup yang berbeda dari konsumen, pencemaran lingkungan akibat peternakan, dan isu etika, harus menjadi perhatian dan pertimbangan.

Untuk mengatasi masalah yang disebutkan di atas, alternatif susu berbasis nabati telah diteliti. Susu berbasis tanaman tersebut diperoleh dengan mengekstraksi komponen terlarut dari material tanaman yang terdegradasi melalui metode ekstraksi berbasis air, diikuti dengan proses penyaringan, sentrifugasi, homogenisasi, dan pemanasan. Susu oat, kacang, dan almond, serta susu nabati lainnya adalah produk terbaru di pasaran.

Namun, profil nutrisi yang tidak seimbang dan rasa sensorik yang tidak diinginkan dari produk tersebut telah membatasi akan konsumsi produk tersebut. Susu nabati saat ini yang ada di pasaran berbeda jauh dalam hal kandungan gizi, terutama untuk kadar protein atau vitamin yang tidak mencukupi, yang dapat membatasi aplikasi produk tersebut.

Dalam beberapa tahun terakhir, dengan pesatnya perkembangan pangan buatan biologis, banyak pabrik sel telah dibangun untuk mensintesis komponen pangan penting dan aditif pangan fungsional secara efisien. Biologi sintetis telah digunakan untuk mensintesis protein tertentu dan aditif oligosakarida untuk susu, seperti laktoferin, human milk oligosaccharide 2′-fucosyllactose dan lacto-N-neotetraose. Perbandingan proses produksi susu secara tradisional dan alternatif susu nabati, ada banyak keuntungan yang didapat dalam penerapan biologi sintetik untuk menghasilkan susu tanpa hewan ternak.

Pertama, sintetis mikrobial dari komponen susu dapat dilakukan di sebuah bioreaktor untuk menghindari polusi lingkungan, dan kontaminasi antibiotika dan hormon yang bisa disebabkan oleh metode tradisional.

Kedua, fermentasi dari pabrik sel untuk memproduksi komponen susu bisa dilakukan dengan menggunakan media sederhana dengan bahan baku yang tersedia, seperti glukosa, pepton kedelai, sirup jagung, urea, dan garam anorganik, dengan biaya yang relatif rendah. Ketiga, kemampuan dari fermentasi microbial memiliki siklus pendek, dan fermentasi tidak terpengaruh oleh lingkungan dan cuaca. Keempat, pabrik sel bisa menghindari beberapa masalah seperti ekstraksi yang tidak efisien dari material tanaman, kehilangan dari produk target, dan rumitnya  protokol pasca pengolahan.

Saat ini, riset tentang protein susu terutama terfokus pada biosintesis dari laktoferin. Laktoferin sapi adalah sebuah agen antimikroba dan imunomodulator yang berada pada konsentrasi rendah dalam susu sapi. Jadi, pembangunan pabrik sel untuk biosintesisnya merupakan strategi yang menjanjikan. 

***

Oleh: Dr. Eko Saputro, S.Pt., M.Si. Widyaiswara Ahli Muda – Balai Besar Pelatihan Peternakan Batu – Kementerian Pertanian.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES