Kopi TIMES

Menciptakan Budaya Positif di Sekolah

Senin, 02 Januari 2023 - 19:06 | 133.92k
Amirudin Mahmud, Pemerhati Sosial-Politik dan Keagamaan.
Amirudin Mahmud, Pemerhati Sosial-Politik dan Keagamaan.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Perkembangan ilmu dan tekhnologi yang pesat telah mempengaruhi peradaban dan budaya manusia. Nilai-nilai budaya berbaur seiring dengan mengglobalnya informasi.

Dunia yang tanpa batas memaksa umat manusia bersosialisasi secara global. Membaur menjadi satu. Tidak ada sekat, penghalang dan batas diantara satu bangsa  dengan bangsa yang lain. Inilah yang disebut era globalisasi.

Globalisasi adalah suatu proses yang menempatkan masyarakat dunia dapat menjangkau satu dengan yang lain atau saling terhubungkan dalam semua aspek kehidupan, baik dalam bidang ekonomi, politik, keamanan, budaya, teknologi maupun lingkungan.

Jalaluddin Rakhmat dalam buku Islam Aktual mengutif pendapat John Naisbitt dan Patricia Aburdene  bahwa globalisasai menunjukkan kesamaan gaya hidup abad 21.

Keduanya meramallkan globalisasi dalam 3 F : food (makanan), fashion (pakaian) dan fun (hiburan). Globalisasi akan menjadi ancaman bagi hancurnya budaya, karakter satu bangsa jika tidak dilakukan proteksi.

Untuk memproteksi generasi muda di masa mendatang dari pengaruh negatif budaya asing sekolah sebagai lembaga pendidikan sepatutnya berikhtiar membentengi peserta didik dengan menciptakan budaya positif di sekolah. Budaya positif ialah perwujudan dari nilai-nilai atau keyakinan universal yang diterapkan di sekolah.

Upaya mewujudkan budaya positif di sekolah merupakan tanggungjawab bersama semua warga sekolah dari kepala sekolah, peserta didik, wali siswa, dan masyarakat sekitar sekolah. Sebagai pendidik guru memilki peran penting dalam menghadirkan budaya positif di sekolah. Mereka adalah teladan yang akan ditiru oleh peserta didik. Sekarang apa yang bisa dilakukan guna terciptanya budaya positif di sekolah?

Langkah-langkah

Berikut hal-hal yang bisa diupayakan. Pertama, membuat keyakinan kelas. Keyakinan berupa pernyataan-pernyataan universal yang dibuat dalam bentuk kalimat positif. Keyakinan kelas tidak dibuat dalam jumlah banyak sehingga mudah diingat dan dipahami oleh semua warga kelas. Keyakinan kelas merupakan sesuatu yang dapat diterapkan di lingkungan kelas tersebut. Keyakinan kelas dibuat oleh warga kelas dengan melibat peserta didik sepenuhnya. Guru berperan sebatas membimbing, menuntun dan mengarahkan. Guru hanya menggali dari peserta didik apa yang menjadi kebutuhan mereka terkait dengan pedoman berprilaku siswa di kelas.

Wali kelas sebagai penanggungjawab dan pemimpin pembelajaran di kelas sepatutnya berkolaborasi dengan guru lain, termasuk mengkomunikasikannya dengan kepala sekolah sebagai pimpinan pembelajaran di sekolah. Terlebih keyakinan-keyakinan kelas tersebut kelak akan dijadikan sebagai bahan dalam merumuskan keyakinan sekolah.

Sekarang kenapa harus keyakinan kelas bukan peraturan? Ditegaskan hal tersebut  untuk mendukung motivasi intrinsik, kembali ke nilai-nilai atau keyakinan-keyakinan lebih menggerakkan seseorang dibandingkan mengikuti serangkaian peraturan yang ada.

Selama ini kita mengenal peraturan, istilah keyakinan kelas muncul seiring dengan lahirnya kurikulum merdeka. Saya sendiri (sebagai guru) baru memahaminya lebih jauh saat mengikuti pendidikan Calon Guru Penggerak (CGP). Karena hal baru hampir semua guru belum memahami. Alasan itu yang memotivasi saya melakukan pengimbasan kepada guru lain yang tak lain teman sejawat saya beberapa waktu lalu. Apa perbedaan peraturan dan keyakinan? Disamping soal motivasi intrisik,   keyakinan kelas bersifat lebih 'abstrak' daripada  peraturan, yang lebih rinci dan konkrit. Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal. Pernyataan keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam bentuk kalimat positif.

Kedua, pembiasaan positif .  Pembiasaan hal-hal yang baik sangat diperlukan guna mewujudkan budaya positif di sekolah.  Pembiasaan merupakan proses pembentukan sikap dan perilaku yang relatif menetap dan bersifat otomatis melalui proses pembelajaran yang berulang-ulang, baik dilakukan secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri. Pembiasan walaupun terlihat sepele tapi sesunggunhnya sangat bermakna bagi peserta didik.

Apa saja yang butuh dibiasakan? Segala sesuatu yang bernilai positif yang menguatkan karakter peserta didik seperti gerakan 3 S (senyum, sapa dan salam), datang tepat waktu, berpakaian rapi, kegiatan literasi, berdoa sebelum dan sesudah belajar, bersalaman dengan guru, membuang sampah pada tempatnya, biasa mengantri, salling menghormati dan menyayangi, menjenguk yang sakit dan lainnya.

Ketiga, Keteladanan dari guru. Guru itu digugu dan ditiru.  Guru bagaikan  minyak wangi. Seorang guru itu harus wangi dengan ilmu dan prilakunya. Guru kudu bisa menyebarkan wewangian tersebut kepada lingkungan yang ada disekitarnya. Guru sepatutnya menjadi teladan, contoh yang baik bagi peserta didik. 

Terkait dengan keteladanan, Ki Hadjar Dewantara mengatakan dalam satu semboyan yang dikenal “ingarso sung tulodho,ing madya mangun karso, tut wuri handayani”. Di depan guru memberi contoh, ditengah membangun prakasa dan bekerjasama, di belakang memberi daya-semangat dan dorongan. Itu yang wajib diperankan guru di sekolah bersama anak didik mereka.

Keempat, kolaborasi dengan semua pihak. Menghadirkan budaya positif di sekolah tidak bisa dilakukan guru seorang diri tapi butuh kolaborasi dengan semua warga sekolah karenannya menjadi tanggungjawab bersama. Dengan kepemimpinan kepala sekolah seluruh warga sekolah (guru, peserta didik, wali siswa, masyaraka sekitar) diharapkan bersatupadu menciptakan budaya positif di sekolah.

Akhir kata, budaya positif itu sangat penting bagi perkembangan karakter peserta didik. Membangun karakter yang kuat tak lain adalah salah satu ikhtiar membangun akhlak terpuji anak didik guna mengantarkan mereka kepada tujuan pendidikan yakni menghadirkan profil pelajar Pancasila yang salah satu dimensinya adalah beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia.

Guru kudu siap mengambil peran. Sebagai pemimpin pembelajaran di kelas mereka dituntut bisa menciptakan budaya positif di kelas dengan membuat keyakinan kelas bersama peserta didik, memberi motivasi ke peserta didik serta memantau dan mengevaluasi perjalanan keyakinan kelas yang telah disepakati selama tahun pelajaran berlangsung. Dari kelas-kelas yang berbudaya positif akan melahirkan sekolah yang memilki budaya positif. Ringkasnya tugas guru tidak ringan, mereka adalah ujung tombak. Sepatutnya kita semua mengahargainya.
Penulis adalah Calon Guru Penggerak Angkatan 7 Kab. Indramayu.

***

*) Oleh: Amirudin Mahmud, Pemerhati Sosial-Politik dan Keagamaan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Imadudin Muhammad
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES