Paradoks Ranking PISA dan Negara Dunia Ketiga Yang Tertatih di Kelas Bawah

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Sampai saat ini, penggunaan istilah negara dunia ketiga sudah tidak lagi digunakan secara meluas. Istilah negara dunia ketiga populer digunakan pada tahun 1950 an sampai tahun 1990 an yang merujuk kepada negara-negara miskin dan berkembang.
Adalah Alfred Sauvy, seorang ahli demografi Prancis yang mempopulerkan istilah itu dalam artikel yang ditebitkanya dengan judul 'Three worlds, one planet' dimajalah L'Observateur tahun 1952. Sauvy membagi tiga kelompok untuk membedakan negara-negara di dunia. Sauvy memasukkan Amerika Serikat, Eropa Barat, Jepang, dan Australia dalam dunia pertama. Lalu Uni Soviet dan Eropa Timur pada dunia kedua.
Advertisement
Sementara dunia ketiga, mencakup semua negara yang tidak memihak pada suatu blok dalam Perang Dingin. Meliputi negara Eropa yang dikategorikan miskin, Afrika, Timur Tengah, Amerika Latin, dan Asia.
Namun, istilah itu mengalami degradasi dimana negara dunia ketiga diidentikkan dengan negara miskin dan berkembang. Negara miskin dan berkembang kerap mendapat stigma dan label 'tertinggal' dalam semua bidang. Khusus pendidikan dasar dan menengah, salah satu indikator yang menentukan baik buruknya ranking pendidikan di dunia internasional adalah hasil tes PISA. Tes yang diselenggarakan oleh OECD Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), untuk mengevaluasi sistem pendidikan dari negara- negara di seluruh dunia.
Setiap tiga tahun, siswa berusia 15 tahun dipilih secara acak, untuk mengikuti tes dari tiga kompetensi dasar yaitu membaca, matematika dan sains. PISA mengukur apa yang diketahui siswa dan apa yang dapat dia lakukan dengan pengetahuan yang mereka miliki. Tes ini diselenggarakan sejak tahun 2000 dimana Indonesia tidak pernah absen yang artinya sudah delapan kali mengikuti tes ini sampai tes teranyar di tahun 2022 ini.
Karena hasil tes ini pulalah nama Finlandia harum berkibar-kibar dan dan didaulat sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Hal ini bisa dimaklumi, ranking Finlandia memang ciamik. Finlandia selalu duduk di ranking satu sampai tujuh selama dua puluh tahun dua tahun atau dua dekade lebih yang membuat negara ini dipuja-puji oleh seantero dunia.
Di lain sisi, negara dunia ketiga atau negara berkembang temasuk Indonesia, silih berganti duduk di sepuluh peringkat terbawah. Namun, ditahun 2012 Vietnam membuat paradox. Vietnam yang baru saja bergabung di tes PISA pada tahun itu membuat lompatan besar dengan mengalahkan sejumlah negara maju dan langsung melesat di posisi 15 dan tahun 2015 menempati urutan ke 22 dari 72 negara peserta. Hasil Vietnam ini, tak pelak mengangkat nama negara berkembang di pentas internasional.
Sisi Gelap PISA
Dalam artikel yang berjudul ' Expert: How PISA created an ilusion of education qualiy and marketed it the world' di surat kabar Washington Post tanggal 3 Desember 2019, mengatakan bahwa ranking Amerika stagnan sejak 20 tahun terakhir. Kondisi yang kurang lebih sama dengan Indonesia yang betah di ranking sepuluh terbawah. Tidak lupa, artikel itu menjelaskan bahwa di tahun 2014 ada 100 orang ilmuwan dari seluruh dunia yang meminta agar tes PISA dihentikan, karena tes itu memiliki kelemahan besar dengan cara tes diberikan, mulai dari sampel siswa ditentukan, dan soal-soal yang diberikan.
Pada tahun 2018, ranking PISA diprotes. China yang duduk di peringkat pertama dituding hanya menunjuk daerah kaya dan makmur untuk mewakili China di PISA yaitu Beijing, Shanghai, Jiangsu and Zhejiang. Keempat daerah itu dianggap tidak mewakili dan tidak representatif.
Kontroversi lainnya adalah tes PISA ini sangat mahal. Untuk satu negara partisipan, harus membayar satu juta sampai dua juta dollar setiap tahun, berdasarkan data RISE internasional. Sehingga negara-negara Afrika sangat sedikit yang berpartisipasi di tes ini. Kasus lainnya adalah India hanya satu kali mengikuti tes PISA tahun 2009 di mana India memperoleh ranking 73 dari 74 negara yang membuat India kurang bisa menerima skor itu.
Di tahun 2022 India kembali membatalan keikutsertaannya dengan alasan pandemi Covid membuat siswa-siswa India kurang persiapan. Patut diapresiasi ketimbang hasil tes PISA keluar di tahun 2023 dan kemudian menjadi bulan-bulanan media intenasonal kalau hasilnya buruk. Bagaimanapun tanpa tes PISA pendidikan India telah berhasil dan diakui sebagai negara yang melek teknologi. CEO-CEO perusahaan teknologi dunia didominasi wajah-wajah India. Sebut saja Google, Microsoft, Apple dll.
Indonesia juga disamping skor-skor PISA yang tidak naik-naik selama dua puluh tahun, secara fakta menyimpan cerita -cerita hebat tentang prestasi olimpiade sains dunia . Tradisi emas selalu didapat anak-anak Indonesia dibidang tersebut, namun hasil tes PISA yang selalu ditonjolkan dan entah mengapa Indonesia belum mampu keluar dari ranking sepuluh terbawah.
Hal inilah yang menggerus citra pendidikan Indonesia di dalam negeri dan luar negeri. Hasil tes PISA itu, membuat pendidikan Indonesia mendapat stigma buruk. Setiap hasil tes PISA keluar, dunia pendidikan Indonesia gonjang-ganjing. Sepatutnya banyak aspek lain yang juga harus diperhitungkan. Sebagaimana negara berkembang lainnya, Indonesia masih berusaha mengikuti semua saran-saran OECD termasuk gonta-ganti kurikulum.
Semoga di 2023 pada saat hasil tes PISA 2022 diumumkan, Indonesia bisa keluar dari kutukan ranking sepuluh terbawah.
***
*) Oleh: Waode Nurmuhaemin, Doktor Manajemen Pendidikan. Penerima beasiswa Ford Foundation untuk Studi Master di Malaysia dan Leadership di Universitas Arkansas Amerika Serikat, merupakan penulis artikel, opini dan buku pendidikan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |