Kopi TIMES

Sisi Lain Aktivis Pasca Kampus

Sabtu, 11 Februari 2023 - 17:21 | 56.31k
Safara Akmaliah, Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro.
Safara Akmaliah, Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro.

TIMESINDONESIA, SEMARANG – Pertama kali saya kenal dunia aktivis adalah ketika menjadi mahasiswa, baik dalam organisasi intra kampus maupun organisasi ekstra kampus.

Euphoria menjadi mahasiswa memang sangat menyenangkan, awal menjadi mahasiswa Hasrat untuk menjadi “si paling aktif” di kampus sangat menggebu-gebu.

Advertisement

Apalagi mahasiswa FISIP seperti saya ini yang cenderung agak santai, selesai kuliah memiliki banyak waktu luang. Untungnya saya bisa mengefektifkan waktu luang itu sampai sempat lolos konferensi internasional dua kali, di Korsel dan di Belanda. Itupun waktu saya masih tersisa untuk kursus Bahasa inggris dan mengemudi. Ya, menjadi mahasiswa FISIP semenyenangkan itu sih.

Suatu saat saya memutuskan untuk ikut magang di Badan Legislatif Mahasiswa pada semester pertama, yah DPR nya kampus gitu lah maksudnya, sebagai pemanasan. Pada masa itu masih aman, mungkin hanya agak risih karena ditawari masuk Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus (Ormek) A, B, C, D atau E.

Lalu pada semester ke-2 saya akhirnya memutuskan menjadi kader salah satu ormek. Ormek minoritas di kampus. Saya begitu nyaman dan merasa menemukan banyak kawan baru di ormek tersebut, mulai dari kawan diskusi marxisme, sampai kawan dibaan setiap malam jumat. Asyik banget bukan?

Lebih dari itu yang paling konkret manfaatnya adalah jejaring yang cukup bermanfaat bagi saya. Mungkin semua aktivis juga merasakan hal yang sama.

Di setiap daerah kita jadi punya teman untuk kopi darat (kopdar) lebih-lebih kita juga punya senior yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Karena memang ikatan kekeluargaan ormek menurut saya jauh lebih kuat daripada sekadar ikatan alumni almamater. Hal itu tidak bisa ditampik karena kita memiliki ikatan ideologi yang sama.

Sebagai aktivis yang kaffah saya bukan hanya aktif di organisasi intra kampus dan ormek saja, namun juga aktif dalam organisasi di daerah ketika sedang liburan.

Bagi saya yang suka ngopi, hal ini sangat menyenangkan, karena dapat banyak teman ngopi baru, lebih dari itu, jaringan saya di kampung halaman juga semakin luas dan tertata.

Tetapi satu hal juga yang patut saya syukuri, meski aktif di kampus saya tetap bisa lulus tepat waktu dengan predikat cumlaude. Setidaknya, itu adalah bentuk tanggung jawab saya kepada orang tua saya yang telah membiayai saya selama kuliah. 

Kehidupan pasca kampus saya seperti orang pada umumnya, bekerja menjadi pegawai, staff biasa. Bagi saya itu hal yang lumrah, meski dulunya di organisasi kita menjadi “pentolan” organisasi atau semacamnya, disegani para anggota dan lain lain, tapi ketika di dunia kerja, tentu beda urusan.

Ada atasan yang harus dihargai, ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Tidak bisa langsung ujuk-ujuk jadi boss. Memangnya anda “se-sangar” apa? Ya nyetaff dulu minimal (bagi yang jadi pegawai), bagi kawan-kawan yang ingin bergelut di dunia usaha ya beda lagi ceritanya. Intinya kan sama-sama “berproses”.

Namun sayangnya banyak aktivis yang sudah sampai puncak karir organisasinya seringkali tidak mau berkecimpung di dunia kerja yang bermula dari bawah dulu. Hal ini sungguh pilu kalau ditelaah lebih jauh.

Pertama, dugaan saya adalah kekhawatiran akan marwahnya sebagai dedengkot organisasi ini turun.

Kedua, terlena sebagai pimpinan organisasi yang terbiasa dilayani. Tetapi lebih jauh dari itu, apakah tidak lebih malu lagi kalau kita tidak punya penghasilan? Banyak saya temui para kawan-kawan aktivis ini masih menggunakan cara-cara lama dalam mencari penghasilan.

Membawa proposal kesana-kemari untuk mencari jatah dari pemerintah, baik berupa hibah, bantuan atau proyek. Tetapi di sisi lain kawannya yang telah berhasil menjadi pegawai pemerintah malah dicemooh  “aktivis kok menjadi buruh pemerintah?”, agak laen memang. 

Bukankah hidup ini tujuannya adalah untuk mencari kemuliaan? Karena bagi saya, salah satu cara agar kita menjadi manusia yang mulia adalah dengan bekerja, berpenghasilan. Sehingga sampailah kita pada tahap kemerdekaan finansial, tidak bergantung pada orang lain. Karena kalau kita sudah merdeka secara finansial kita bisa lebih banyak berkontribusi di organisasi.

Inilah yang saya sebut sebagai tantangan menjadi aktivis. Meletakkan "kebesaran" jabatan di kampus sebagai mantan aktivis yang dulu disegani, kembali ke bawah, berproses lagi di dunia kerja. karena kita perlu untuk bertahan hidup, yang tentunya tidak bisa hanya menggunakan gengsi semata. 

Sebagai sesama aktifis, kiranya perlu untuk peduli dan mengingatkan, mari kita beranjak melihat dunia lebih luas dan lebih jernih. Tidak selamanya memakai sepatu pantofel lancip, pakai kopyah tinggi dan membawa pouch kesana kemari dengan diikuti kader dibelakangnya sambil dipanggil “tum” oleh orang-orang itu membanggakan, semua ada masanya.

Di dunia kerja sesungguhnya, basis massa itu tidak terlalu dibutuhkan, melainkan kemampuan profesional yang akan menunjang karir. Kecuali, anda terjun ke ranah politik. Pun demikian, kemampuan profesional, leadership, manajerial, jejaring elit dan kemampuan membaca zaman tetap dibutuhkan untuk mengakselerasi karir politik. 

Belum lagi banyak pula aktivis kampus yang lupa akan tanggung jawab utamanya menjadi “mahasiswa” hingga lulus di semester larut atau bahkan sampai drop out dari kampus, ironi. Karena seringkali logikanya dibalik. Kita menjadi aktivis karena kita mahasiswa, bukan sebaliknya. Sehingga tanggung jawab utama kita adalah menuntaskan studi, bukan menjadi pimpinan organisasi. Menjadi pimpinan organisasi itu adalah bonus yang amat harus disyukuri. Jadi fenomena demikian sudah tidak relevan. 

Dunia terus berputar, zaman bisa berubah, dan saya berharap aktivis kampus tidak hanya memiliki cita-cita sempit dan template menjadi politisi saja, amat sangat disayangkan. Banyak jalan dan cara untuk membawa negara ini menjadi lebih baik, menjadi politisi bukan satu-satunya kok. Kita bisa jadi birokrat, peneliti, designer, dosen, ekonom, presenter, entrepreneur, programmer, content creator dan masih banyak lagi.

Saya masih bermimpi, kita para aktivis ini bisa menyebar di segala sektor strategis di negara ini.  Betapa kerennya bukan ? Saya yakin kepekaan kita sebagai aktivis lebih tinggi, maka kita layak memperoleh hal itu, guys. Pede saja. Semangat. 

***

*) Oleh: Safara Akmaliah, Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

 

__
**)
Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES