
TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Wajah Bagong memerah. Tangannya mengepal kencang-kencang. Giginya gemeretak. Pertanda dirinya menahan emosi. Membuncah. Bagong ingin ngamuk. Segala persenjataan sudah disiapkannya. Ada panah, pedang, dan tombak. Pusaka yang dimilikinya ini dijamas agar sekali tusuk bisa membunuh lawan.
Bagong berusaha menyembunyikan kemarahannya. Diam-diam. Gerakan bawah tanah. Di ingin langsung ambil tindakan. Tak usah banyak suara. Dan tak perlu dibincangkan dengan orang lain. Malah akan menambah persoalan. Belum tentu orang lain yang diajak diskusi memahami apa yang dilakukan oleh Bagong. Resikonya kehendak Bagong yang menstimulasi amarahnya membara dicegah oleh orang lain yang tak mengerti kemauannya.
Advertisement
Bagong siap berangkat. Segala perlengkapan untuk menyerang musuh sudah disiapkan. Lengkap. Tak ada yang ketinggalan. Semua dibawanya. Mengendap-endap. Melalui ruang demi ruang. Memilih suasana yang sepi. Tujuannya supaya langkahnya menuju kancah medan petempuran tak diketahui siapa pun.
Apalagi niatnya tercium oleh saudara dan bapaknya. Punakawan. Bagong bisa menjamin. Tak akan diperbolehkan oleh kakaknya. Gareng dan Petruk. Apalagi bapaknya. Semar yang memiliki kesabaran tingkat dewa akan sekuat tenaga melarang Bagong.
Semar tidak akan mengijinkan Bagong melakukan kekerasan. Meski orang lain melakukan kekerasan. Tak boleh dibalas dengan kekerasan. Masalah akan dapat diselesaikan dengan baik, apabila orang lain yang memilih jalur kekerasan. Jangan dibalas kekerasan. Berikan kelembutan. Kekerasan pelan-pelan akan melebur. Memang butuh kearifan, kedewasaan, dan ketulusan hati untuk menyelesaikan persoalan dengan kelembutan.
Sepandai-pandainya tupai melompat. Akhirnya jatuh juga. Pepatah ini secara realitas dialami oleh Bagong. Ketika keluar dari salah satu pintu ruang yang paling tersembunyi. Gareng, Petruk, dan Bagong telah berdiri di depan ruang. Ketiga punakawan ini saling memegang tangan. Berjajar. Membentuk barisan. Mencoba menahan laju Bagong.
Rupanya aroma kemarahan Bagong sudah tercium Gareng. Kemampaun Gareng mengenali tingkah saudaranya, bukan karena keterampilan teknis sebagai telik sandi. Namun alamiah dan naluriah. Sesama punakawan. Mereka memang saling menyayangi, saling menjaga, saling melindungi, dan saling membela dalam melakoni kehidupan.
Proses batiniah itu yang membuat Gareng mempunyai kepekaan nurani, saat Bagong memiliki perilaku tidak seperti biasanya. Sejak mengetahui Bagong menampilkan perilaku yang berbeda dari hari-hari lain, maka Gareng dengan setia mengikuti Bagong ke mana pun melangkah. Gareng tak berkedip. Selalu membuka mata lebar-lebar. Tak mau kehilangan arah sehingga Bagong menghilang dari pandangan.
Makanya ketika Bagong membulatkan tekat menemui orang-orang yang membuat hidupnya tak nyaman. Kakinya sudah terlanjur diayunkan menuju kancah pertempuran. Melihat polah Bagong seperti ini. Dengan sigap Gareng melaporkan pada Petruk dan Semar. Pertimbangannya, bila hanya Gareng sendirian, Bagong tidak akan mendengar sarannya. Tahu sendiri watak Bagong. Kalau sudah punya keinginan sulit dibendung.
Meski Bagong, kadang melakukan tindakan semaunya sendiri. Namun Gareng masing bersyukur. Adik bontotnya ini, tetap berada pada jalan lurus. Berpijak pada moral. Dan amarahnya bukan disebabkan faktor kebencian dengan pihak lain. Kemarahan Bagong disebabkan oleh ketidakberesan yang terjadi di lingkungan sekitar atau wilayah lain. Baik yang di area kerajaan maupun di kerajaan-kerajaan berbeda. Masalahnya bisa berkaitan dengan politik, sosial maupun ekonomi.
Mendapati laporan dari Gareng. Petruk dan Semar segera bergegas menemui Bagong. Kalau tidak ada penanganan cepat. Terlambat sedikit. Amarah Bagong menjadi mala petaka bagi orang-orang yang dianggap menciderai tatanan kehidupan yang sudah berlangsung dengan nyaman dan damai. Bagong bisa melakukan cara dengan berpondasi atauran sendiri. Hukum jalanan yang ditetapkan oleh dirinya. Itu yang dijalankannya.
Beruntung Gareng, Petruk, dan Bagong datang pada saat yang tepat. Sebelum menginjakkan kaki di halaman belakang rumah. Bagong sudah berpapasan dengan saudara dan bapaknya. “Stop. Jangan melangkah lagi. Berdiri di sini. Jangan ke mana-mana, “ perintah Semar pada Bagong. Semerdekanya Bagong berbuat sesuatu. Dan kadang tidak mau mendengarkan kata orang. Namun kalau dengan bapaknya. Semar. Bagong selalu menurut.
Setelah Bagong menuruti instruksi. Semar dengan kebajikannya terus bertanya pada Bagong: “Memang ada masalah apa ? Anak ku mau melakukan praktek hukum jalanan.”
Mendapati pertanyaan bapaknya. Bagong menjelaskan dengan gamblang. Dan tak ada yang ditutup-tutupi. Ternyata faktor yang menyebabkan Bagong marah besar. Ada realitas kekerasan yang dilakukan oleh kaum muda sekarang.
Kasihan pada orang-orang yang menjadi korban. Mereka tak berdosa. Mereka tak ada masalah apa pun. Dan tak ada alasan mendasar. Segerombolan kaum muda dengan menggunakan senjata tajam menganiaya mereka. Tak jarang di antara mereka yang menjadi korban meninggal sia-sia. Semakin ke sini. Yang menjadi korban semakin banyak. Gerombolan kaum muda sudah melakukan perilaku yang dapat dikategorikan agresivitas.
Sayang. Kaum muda ugalan-ugalan yang membahayakan orang, seperti ada pembiaran, dari punggawa kerajaan yang mempunyai kewenangan membasmi gerombolan tersebut. Tidak ada penanganan secara serius dari punggawa kerajaan. Maka gerombolan kaum muda ugal-ugalan semakin menjadi-jadi. Menggila. Perilaku mereka yang melawan hukum itu dianggap sebagai eksistensi, Kebanggaan.
Tahu itu salah. Namun tidak ada penanganan sungguh-sungguh dari punggawa kerajaan. Kemarahan pada situsasi seperti ini yang membuat bagung ingin main hakim sendiri.
Memperoleh penjelasan Bagong. Semar memaklumi keinginan Bagong membasmi gerombolan ugal-ugalan. Namun caranya yang kurang sesuai. Sesudah memahami faktor penyebab kemarahan Bagong. Semar memberi solusi. Prinsipnya kekerasan tidak bisa dilawan dengan kekerasan. Pilihan cara ini dapat menimbulkan masalah lebih besar.
Maka Semar ambil kendali atas masalah yang terjadi. Semar mengajak anak-anaknya mengadu pada keluarga Pandawa. Karena masalah ini tidak bisa ditangani sendiri. Masalah menangani gerombolan ugal-ugalan merupakan masalah besar perlu melibatkan berbagai pihak. Penanganan secara pentahelix yang bisa menjadi jalan keluar efektif.
Kalau Semar sudah berfatwa. Bagong tak bisa berkutik. Menuruti saran Semar. Dan mereka berempat berangkat untuk mengadu pada keluarga Pandawa. (*)
***
*) Dr Hadi Suyono, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Rizal Dani |