Kopi TIMES

Manuskrip Naskah Kuno, Siapa Mau Peduli?

Kamis, 05 Januari 2023 - 18:30 | 48.14k
Wempi Roberto G. (Pustakawan Ahli Muda Disperpusip Jatim).
Wempi Roberto G. (Pustakawan Ahli Muda Disperpusip Jatim).

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Menggalih peradaban bangsa melalui berbagai gagasan tidaklah mudah. Bukan persoalan sulitnya ide, materi dan lokasi sebagai bahan penggalian, tetapi hal akses serta keterbukaan masyarakat menjadi hal krusial.

Belum lagi soal SDM pengelolaanya yang kurang maksimal. Kepercayaan terhadap pemerintah dalam menangani persoalan itu pun dinilai demikian. Padahal, dominasi pemerintah sebagai motor penggerak diharapkan fardu 'ain hukumnya.

Tak ubahnya situs candi serta monumen bersejarah yang harus terus digalih. Demikian juga manuskrip naskah kuno sebagai pengetahuan awal catatan peradaban bangsa.

Lewat kebijakannya, pemerintah pun menelorkan UU No. 43/2007 tentang Perpustakaan didukung UU No. 11/2010 tentang Cagar Budaya serta UU No. 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Bahkan, ketiganya memberikan guidance dalam pelestarian warisan dokumenter dan kebudayaan yang tersimpan dalam naskah kuno.

Definisinya pun jelas. UU No. 43/2007 tentang Perpustakaan menyebutkan bahwa naskah kuno adalah semua dokumen tertulis yang tidak dicetak atau tidak diperbanyak dengan cara lain. Baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri. Keberadaannya sekurang-kurangnya berusia 50 tahun.

Karya yang ditulis pun memiliki nilai penting bagi kebudayaan nasional, sejarah dan ilmu pengetahuan. Itu ditekankan mengingat fungsi strategis naskah merupakan identitas kebudayaan nasional.

Media tulisnya bervariasi. Mulai dari kertas dluwang, kertas eropa, bambu, kayu, kulit kayu, gebang, daun lontar serta bahan-bahan lain yang tersedia pada saat itu.

Belum lagi soal aksara yang digunakan. Kebanyakan sesuai dengan identitas kesukuannya. Seperti aksara Jawa, Batak, Incung, Lampung, Bugis, Sunda, Jawa Kuno, Bali, Rejang dan Pegon. Termasuk pengaruhnya dari India, Arab dan Eropa.

Berdasarkan penelusuran dan survey Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) tahun 2019, jumlah naskah nusantara seluruhnya mencapai 121.545 naskah. Jumlah tersebut sudah didaftarkan. Keberadaannya ada di dalam negeri sebanyak 82.158 naskah dan sisanya sebanyak 39.387 naskah di luar negeri.

Di Jawa Timur sendiri, manuskrip yang dihasilkan kebanyakan menggunakan bahasa Jawa, Arab dan Madura. Mengingat, ketiga bahasa tersebut sangat mendominasi peradaban masyarakat kala itu.

Berdasarkan grand desain Perpusnas tahun 2019, diperkirakan terdapat 1.055 naskah kuno yang tersebar di Jawa Timur. Macamnya terdiri dari serat Duryupura Ekawarna, serat Yusuf, Babad Demak, beberapa mantra upacara Suku Tengger, serta Pustaka Radja jilid 2-5. Sisanya masih berada di tengah-tengah masyarakat. Jumlah itu pun belum termasuk naskah-naskah kuno karya para ulama yang tersimpan dan tersebar di pondok-pondok pesantren. Hingga tahun 2022, Kementerian Agama (Kemenag) RI mencatat 4.452 ponpes yang ada di Jatim.  

Guna menggali keberadaannya, peran pemerintah menjadi sebuah keharusan. Tidak hanya di tingkat nasional, di setiap daerah pun diwajibkan. Termasuk komunitas pernaskahan yang muncul di tengah-tengah masyarakat.

Saat ini, Pemerintah Provinsi Jawa Timur pun getol melestarikan naskah kuno. Bahkan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Disperpusip) Jatim sebagai kepanjangan tangan tengah merancangnya. Tidak hanya grand desain-nya saja, rancangan Peraturan Gubernur Jatim tentang pelestarian naskah kuno ulama nusantara pun sedang digagas.

Tak segan-segan, untuk melakukan 'babat alas' mengawali keinginan itu, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa mengenalkan beberapa turots karya ulama nusantara yang memberikan kontribusi keilmuan keislaman di Riyadh, Arab Saudi. Orang nomor satu di Jatim itu memimpin langsung rombongan Pemprov Jatim dalam seminar dan pameran 'Intellectual Heritage and Contribution of Indonesian Scholars to The Islamic Civilization' di negeri Hijaz beberapa saat lalu.

Di negeri monarki absolut tersebut, dipamerkan karya-karya manuskrip kuno ulama nusantara. Mulai turots karya Syaichona Muhammad Kholil Bangkalan, Syaikh Nawawi Al Bantani, Syaikh Hasyim Asyari Jombang, Syaikh Mahfud At-Tarmasi Pacitan, Syaikh Ihsan Jampes Kediri, juga karya KH Abu Fadhol Senori Tuban.

Hasilnya, peninggalan karya mereka dinilai sangat berkontribusi terhadap peradaban bangsa sejak abad ke-14. Karya kitabnya dilahirkan dengan memuat kearifan lokal sebagai alternatif solusi yang relevan di masa kini.

Mulai dari persoalan keagamaan dan kerukunan, pangan dan pertanian, gender, kesehatan dan pengobatan, hukum dan adat, arsitektur dan pemukiman, seni dan teknologi banyak ditemukan dalam manuskrip kara-karya mereka.

Seperti halnya karya Syeikh Nawawi Al Bantani yang memiliki 30 karya. Begitu juga dengan karya Syaichona Kholil sebanyak 32 kitab.  Belum lagi karya-karya ulama lainnya yang tersebar di Jatim. Setidaknya terdapat 600 naskah karya para ulama. Mereka mencatatkan literasi manuskrip yang sangat luar biasa.

Momen tersebut dijadikan awalan baru memperkenalkan karya ulama dunia, utamanya dari Indonesia. Termasuk menjadikan format yang lebih advance seperti seminar tahunan maupun pertemuan ulama dan pesantren dunia.

Menurut Arnold Toynbee dalam bukunya "The Disintegrations of Civilization" dalam Theories of Society (New York, The Free Press, 1965), peradaban adalah kebudayaan yang telah mencapai taraf perkembangan teknologi yang tinggi. Atau, kumpulan seluruh hasil budi daya manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik fisik (bangunan, jalan) maupun non fisik (nilai-nilai, tatanan, seni budaya maupun Iptek).

Melihat pemikiran itu, tidak dipungkiri bahwa naskah kuno sangat identik dengan sebuah peradaban sebuah bangsa. Mengingat, fungsi naskah kuno itu sendiri cukup strategis dalam pengembangan kebudayaan nasional. Maka dari itu, artefak budaya, baik fisik maupun kandungan pengetahuannya perlu dikelola secara holistik dan komprehensif.

Namun yang menjadi persoalan, di tengah-tengah masyarakat saat ini masih ditemui beberapa kendala yang cukup besar dalam melestarikan naskah kuno. Pertama, persepsi masyarakat terhadap sebuah naskah kuno masih dijadikan sebuah pusaka atau barang tidak berharga.

Kedua, maraknya jual beli naskah kuno telah menggiurkan masyarakat. Padahal dalam UU No. 11/2010 tentang Cagar Budaya menyatakan bahwa naskah kuno merupakan salah satu cagar budaya yang dilarang untuk diperjualbelikan. Namun UU tersebut belum memberikan efek jera yang berarti. Sehingga praktek perjualbeliaan naskah kuno di pasar gelap masih marak terjadi.

Ketiga, soal kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dinilai masih rendah. Utamanya soal akuisisi naskah kuno yang rendah ketimbang lembaga asing. Keempat, Disperpusip daerah masih belum menjadi Pusat Informasi Naskah Kuno.

Kelima, soal keterbatasan SDM di bidang konservasi dan restorasi manuskrip naskah kuno. Keenam, akses publik terhadap manuskrip ulama nusantara dinilai masih belum maksimal.

Ketujuh, ketersediaan katalog naskah kuno ulama nusantara masih belum memadai. Kedelapan, inventarisasi dan digitalisasi naskah kuno ulama nusantara belum memberikan dampak yang cukup signifikan.

Kesembilan, ekosistem pernaskahan dinilai masih belum tercipta. Lalu kesepuluh, terbatasnya SDM yang mengelola naskah kuno (manuskrip).

Lalu timbul pertanyaan, setelah dikelola melalui cara dialih aksarakan, dialih bahasakan dan dikaji/diteliti secara komprehensip, lalu untuk apa?

Jawabannya, setidaknya kita bisa mencoba untuk membawa pulang kembali naskah-naskah kuno ke dalam penciptaan seni pertunjukan. Lalu didiskusikan bersama, dipamerkan, dan memberikan ruang akses semua orang untuk didokumentasikan.

Sehingga kantong-kantong yang pernah menjadi tempat penulisan atau penyalinan manuskrip ratusan tahun bisa diberdayakan dalam wadah "Desa Wisata". Sehingga, masyarakat yang seharusnya menjadi pewaris pengetahuan, diharapkan tidak terjeda oleh jarak, ruang dan waktu.

Lalu apa yang bisa kita lakukan? Salah satunya tak lain adalah kembali ke desa-desa skriptoria. Selanjutnya dapat tercipta percakapan yang tak pernah cukup. Produknya bisa berupa pameran naskah kuno, arsip, prasasti, atau pendukung artefaktual lainnya.

Sehingga melihat peluang itu semua, setidaknya perlu adanya kesadaran masyarakat untuk ikut andil dalam melestarikan naskah kuno sebagai bagian dari pelestarian peradaban bangsa. Jika bangsa lain mampu dan peduli dengan peradaban bangsanya, bagaimana dengan kita?. Karena siapa lagi kalau bukan kita. Sehingga, pemahaman dari kita, oleh kita dan untuk kita menjadi hal yang perlu ditanamkan.

Agar persoalan pelestarian naskah kuno ini bisa menjadi tanggung jawab bersama. Harapannya agar persoalan tersebut dapat dukungan dan kolaborasi bersama dengan berbagai stakeholder. Mulai dari tingkat pusat, provinsi hingga level kabupaten/kota. Tujuannya tak lain untuk menjaga dan merawat identitas peradaban bangsa kita. Semoga (*)

 

*) Penulis: Wempi Roberto G. (Pustakawan Ahli Muda Disperpusip Jatim)

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES