Kopi TIMES

Puisi Imam Syafi’i dan Kejadian Kematian Lainnya

Jumat, 31 Maret 2023 - 15:33 | 693.97k
Mohammad Iqbal Imami, Mahasantri Abadi Mahad Aly An-Nur II Malang. 
Mohammad Iqbal Imami, Mahasantri Abadi Mahad Aly An-Nur II Malang. 
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Jika nafas sudah ditiupkan, maka ketangguhan menghadapi legitnya kematian harus dipersiapkan matang-matang. Kematian memang hal klasik namun kengeriannya bisa terbetik hingga berabad-abad. Klasik karena sejak periode Adam manusia telah melewati sakralnya kematian bahkan —ngeri karena kematian yang hanya berlangsung beberapa detik itu dibingkai dengan ilustrasi menyeramkan dan memilukan bahkan kadang konyol. Fir’aun mati tersungkur ditengah lautan yang terbelah, Chef Peng Fan mati tersengat bisa kobra yang sudah dipenggal kepalanya, Edward Archbold mati sehabis melahap kecoa, Duncan mati tercekik oleh scarf nya sendiri, Alex Mitchell mati gara-gara tertawa, penerjun payung Ivan McGuire yang merekam kematiannya sendiri sebab lupa gak bawa parasut, Garry Hoy yang rela mati hanya karena alasan klise ‘menghibur penonton’. Dan kisah-kisah travesti kematian lainnya. 

Pepatah Arab berbunyi, “ta’addadat al-asbab wal mautu wahidun” kematian tetaplah teori tunggal meskipun penyebabnya bermotif-motif. Mau berdiri, jongkok, saat berdiskusi, prosesi wisuda, bersenggama, berkebun, berkendara, berdoa, sujud bahkan, mati tetaplah hal yang klise.  Kematian memang sudah pasti dan tanpa aba-aba. Dipertegas dalam Al-qur’an bahwa “semua manusia pasti akan merasakan pahit legitnya kematian” {QS. Al-Ankabut : 57}. Diperkuat oleh ayat yang lain, “tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Pun tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” [QS. Luqman : 34]. Kalau dalil tentang kematian, sudah disepakati oleh para Ulama’. Tinggal bagaimana kita menilai esensi dari kematian yang pasti menimpa setiap manusia. 

Advertisement

Imam Syafi’i menarasikan kematian melalui gubahan syair yang bisa ditemui dalam Diwan lil Imam As-Syafi’i;
وَمَن نَزَلَت بِساحَتِهِ المَنايا
فَلا أَرضٌ تَقيهِ وَلا سَماءُ
وَأَرضُ اللَهِ واسِعَةٌ وَلَكِن
إِذا نَزَلَ القَضا ضاقَ الفَضاءُ
دَعِ الأَيّامَ تَغدِرُ كُلَّ حِينٍ
فَما يُغني عَنِ المَوتِ الدَواءُ

“Siapapun yang pelatarannya dihampiri oleh kematian,
Maka tak ada belahan bumi maupun bentangan langit manapun mampu melindunginya. 
Bumi Allah teramat luas memang. 
Namun tatkala kematian menjemput, sempitlah semua ruang. 
Biarkan hari-hari berkhianat setiap saat, 
Karena mati tak ada pelipurnya”

Pada bait puisi di atas, seakan Imam Syafi'i berkata kepada kita, “Kematian adalah puncak dari agenda manusia di dunia yang akan menjadi plot klimaks dari panjangnya rangkaian kehidupan sebelumnya dan apabila (kematian) datang tidak ada yang bisa menghindarinya.”  Kematian menyulap bumi yang terbentang luas menjadi sempit, tinggal bagaimana hari-hari yang kita tinggalkan itu kelak menjadi penyesalan atau kenangan yang setia dalam ingatan. 

Saya teringat dengan petuah“Setiap orang tahu mereka akan mati, tapi tak seorang pun percaya bahwa itu bisa terjadi pada mereka dalam waktu dekat.” (Novel Tuesday With Morrie, hal; 85) konklusi singkat yang diutarakan Morrie Schwartz adalah sekelumit tragedi memilukan yang ia alami. Adalah kesimpulan final dari penantian panjangnya memerangi Lou Gehrig atau amyotrophic lateral sclerosis (ALS) penyakit ganas yang tak kenal ampun menggerogoti sistem saraf. Yang saya kagumi dari novel Morrie adalah caranya untuk berdamai dengan kematian disisa umur pendeknya. Baginya kematian hanyalah parodi. Kematian disambut dengan riang gembira. Kematian hendak dipeluk dengan manja. Kematian menjadi sesuatu yang menggairahkan untuk dijalani. “Sesungguhnya,” kata Morrie, “begitu kita tahu kapan kita akan mati, itu sama dengan belajar bagaimana kita akan hidup.” 

Dari sinilah sebuah hadis populer dalam Islam berbunyi, “cukuplah kematian sebagai nasehat” bisa kita jadikan refleksi bersama untuk tetap santai menggempur kehidupan. Tanpa harus mencemaskan kematian. Kalau sudah waktunya, kriiing, pasti mati, sekalipun berkerumun. Jujur saja, bagi saya mati berkerumun adalah rahmat tuhan pada umatnya untuk tidak sendirian menghadapi sakralnya kematian. Karena umur yang gratisan ini tidak bisa kita tebak masa tenggangnya. Kematian memang klasik tapi asyik. Yang harus itu ingat mati. Bukan takut mati.

***

*) Oleh: Mohammad Iqbal Imami, Mahasantri Abadi Mahad Aly An-Nur II Malang. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Bambang H Irwanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES