Independensi Kebijakan Pendidikan Kementerian Agama

TIMESINDONESIA, PURWOKERTO – Penulis teringat saat Musyawarah Nasional Ikatan Sarjana Pendidikan (ISPI) VIII dan Seminar Nasional Pendidikan Tahun 2022 yang digelar secara Hybrid di Jakarta, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pernah mengatakan bahwa seluruh kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional harus mengikuti regulasi yang selama ini disusun dan diterbitkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Itu artinya, bahwa penyelenggaraan pendidikan bagi semua lembaga pendidikan yang ada di bawah binaan dari Kementerian Agama (Kemenag) harus ber”makmum” pada kebijakan Kemendikbudristek. Selain itu, hanya dalam hal tertentu, maka dibutuhkan aturan spesifik yang lantas membuat peraturan diskresi jika dibutuhkan. (15/6/2022)
Advertisement
Padahal, bahwa pembangunan nasional dibidang pendidikan adalah upaya demi mencerdaskan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan masyarakat maju, adil dan makmur.
Bahkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Sehingga Kemenag dan Kemendikbudristek dalam menyelenggaraan pendidikan Indonesia memang harus disesuaikan dengan kebijakan yang telah dikeluarkan masing-masing kementerian. Selama ini, khusus kebijakan Kemenag hanya untuk madrasah, sedangkan kebijakan Kemendikbudristek untuk sekolah umum.
Kesenjangan Pendidikan
Mencermati lebih dalam, bahwa sekolah dan madrasah sesungguhnya sama-sama mempunyai visi mencerdaskan kehidupan bangsa. Ironisnya, justru seringkali ada kebijakan daerah dari Dinas Pendidikan dan Kantor Kementerian Agama daerah yang masih tidak seimbang atau belum selaras.
Permasalahan kebijakan Pendidikan menyebabkan kesenjangan sosial antara sekolah umum dan madrasah. Misalnya, kebijakan kualifikasi jarak pendirian sekolah dengan Madrasah. Pada persoalan ini, baik Dinas Pendidikan dan Kementerian Agama mempunyai peraturan tersendiri.
Imbas dari jarak tersebut, menimbulkan banyak terjadi ketimpangan dari salah satu lembaga pendidikan yang mengalami penurunan jumlah siswa. Selama ini tentang persoalan mengenai jarak antara sekolah dan madrasah belum ada peraturan dari Pemerintah Daerah yang mengaturnya.
Permasalahan jarak antara sekolah dan Madrasah, ternyata tidak ada kebijakan manapun yang menjadi pedoman untuk mengatasinya. Dari sisi regulasi, kebijakan yang dikeluarkan Kemendikbudristek hanya untuk sekolah dengan sekolah dan kebijakan Kemenag juga hanya berlaku antara sesama Madrasah.
Selain itu, misal kebijakan Kemenag dalam penyelenggaraan Pendidikan Profesi Guru (PPG) bagi Guru Madrasah pengampu dari mata pelajaran agama/keagamaan, dimana kebijakan Kemendikbudristek dalam hitungan aktif berlangsung selama 58 hari.
Sebaliknya, Kemenag melalui Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 743 Tahun 2020 menyelenggarakan PPG Keagamaan dalam durasi waktu 96 hari. Perbedaan tersebut mempertimbangan guru madrasah perlu mendapatkan sentuhan familiarisasi teknologi informasi dalam proses pembelajaran.
Artinya, bahwa madrasah merupakan sekolah umum berciri khas agama dan masuk kategori sekolah, sehingga standar lembaganya adalah standar yang ditentukan secara nasional sehingga peran Kemenag hanya melakukan pengembangan sesuai kewenangannya, yakni pengembangan ciri khas keagamaan. Sebaliknya, dari aspek standar utama pendidikan yang ada dibawah Kemenag harus mengikuti kebijakan Kemendikbudristek.
Rasanya, begitu tampak kesenjangan pendidikan dalam hal layanan operasional di Indonesia, bidang pendidikan yang ditangani dua kementerian ini, yakni Kemenag dan Kemendikbudristek.
Dalam pelaksanaannya Kemendikbudristek membawahi lembaga pendidikan yang dimulai dari tingkat PAUD, TK, SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi Umum. Sebaliknya, Kemenag mengurusi lembaga pendidikan dari RA, MI, MTs, MA hingga Perguruan Tinggi Agama Islam (UIN/IAIN/STAIN) dan PTAIS.
Potret manajemen pendidikan ini menghadirkan pemahaman adanya dualisme dan dikotomi penyelenggaraan pendidikan, yakni adanya sekolah umum dan sekolah agama yang semestinya harus segera diakhiri.
Independensi Kebijakan
Kalau mau jujur, kedua lembaga penyelenggara pendidikan ini semua diakui, sah dan merupakan bagian sistem pendidikan nasional. Meskipun dari sisi pengelolaan pendidikan agama diserahkan sepenuhnya kepada Kemenag dan tidak diserahkan kepada Kemendikbudristek, yang tentunya menjadi kasak-kusuk nasional hingga saat ini. Sebaliknya, kebijakan Kemendikbudristek memiliki cakupan lebih luas dari aspek regulasi daripada Kemenag yang dalam hal tertentu membuat menjadi tidak leluasa dalam pengelolaannya.
Reformasi Kemenag barangkali menjadi solusi bagi layanan Kemenag agar mulai mengelola lembaga pendidikan Islam secara mandiri. Seringkali kembali pada soal klasik dari penyelenggaraan pendidikan di madrasah, antara lain terkait dengan pengelolaan madrasah yang berada di bawah pembinaan dua kementerian yaitu Kemendikbudristek dan Kemenag yang mengakibatkan terjadi kesenjangan antara madrasah negeri dan swasta, serta mutu madrasah yang masih rendah.
Dualisme pengelolaan ini seringkali menimbulkan kecemburuan, terutama dari segi pendanaan, perhatian, bantuan, yang kadang mendapat perlakuan berbeda antara sekolah umum dan madrasah. Anggaran pendidikan untuk madrasah diambil dari anggaran pendidikan langsung yang dikelola Kemenag. Seringkali jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah madrasah yang ada, sehingga dari kucuran dana yang diberikan menjadi terbagi dan lebih kecil dibandingkan dengan sekolah umum
Reformasi tidak boleh dimaknai secara radikal, tetapi tetap mempertahankan sisi eksistensi supra struktur Kemenag. Sehingga Kemenag memang harus dan tetap memegang kewenangan mengelola pendidikan agama dan pendidikan keagamaan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat muslim. Dari sisi pembinaan pendidikan agama dan keagamaan secara operasional sudah layak diberlakukan sama dengan pembinaan pendidikan sekolah umum dibawah Kemendikbudristek.
Banyak yang berharap Kemenag memiliki kekuatan yang sama terkait wewenang dan bahkan eksistensi secara mandiri, mulai dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Mengingat dari sudut pandang daerah, pemerintah daerah memiliki ruang otonomi untuk mendistribusikan sumber dana secara efektif dan efesien ke seluruh jenis dan jenjang pendidikan di wilayah setempat sehingga melalui pemerintah daerah dapat menghilangkan diskriminasi terhadap madrasah dan memperlakukan sama dengan sekolah umum.
Indepensi kebijakan pendidikan Kemenag kedepan bermakna tidak lagi tergantung Kemendikbudristek dalam penyelenggaraan pendanaan dan kualitas pendidikan agama dan keagamaan yang kelak membuat madrasah sama dan sejajar dengan sekolah umum.
Integrasi pendidikan agama dan keagamaan ke dalam sistem pendidikan nasional membuat tidak ada lagi dikotomi kelembagaan dan substansial antara pendidikan agama dan keagamaan dengan pendidikan umum.
Terakhir, tidak ada lagi diskriminasi yang selama ini ada pada pendidikan agama dan keagamaan karena sudah ada indepensi terhadap kebijakan lembaga mengelola pendidikan.
***
*) Oleh : Prof. Dr. H. Sunhaji, M.Ag (Direktur Pascasarjana UIN SAIZU Purwokerto).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Rizal Dani |