Kopi TIMES

Makna Khalifah dan Tugas Kemanusiaan

Rabu, 12 April 2023 - 11:09 | 72.48k
Wiwin Siti Aminah Rohmawati, S.Ag., M.Ag, Direktur Direktorat Gender Equality and Social Inclusion, UNU Yogyakarta.
Wiwin Siti Aminah Rohmawati, S.Ag., M.Ag, Direktur Direktorat Gender Equality and Social Inclusion, UNU Yogyakarta.

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Tulisan ini sebagian besar diambil dari kajian terhadap Surat Al Baqarah ayat 30 di dalam Kitab Tafsir Marah Labid, karya Muhammad Nawawi Albantani, yang diampu oleh Ahmad Rafiq, Ph.D di acara Ngaji Kitab di Mardliyyah Islamic Center, UGM. 

Di dalam surat Al Baqarah ayat 30, Allah berfirman: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” 

Ayat ini bercerita tentang konsep penciptaan manusia sebagai khalifah. Sebelum menciptakan manusia, Allah telah menciptakan malaikat dan jin. Mengutip riwayat Ad Dhahak dari Ibnu Abbas, Imam Nawawi dalam kitab ini menjelaskan bahwa Allah pertama kali menempatkan jin di muka bumi ini. Tetapi jin malah berbuat kerusakan, bahkan menumpahkan darah dan saling membunuh. 

Oleh karena itu Allah mengutus Iblis, yang merupakan bagian dari barisan Malaikat. Tugas Iblis adalah menghentikan kerusakan yang dibuat oleh Jin. Alhasil Jin diasingkan oleh Iblis ke pulau-pulau terpencil dan gunung-gunung.

Namun demikian, Iblis yang ditugaskan melanjutkan keberadaan Jin di bumi malah menjadi sombong (ujub). Kesombongan Iblis muncul karena Ia mendapat priviledge untuk beribadah di bumi, di langit atau di surga. Oleh karena itu, Allah berkata kepada para malaikat bahwa Ia akan menciptakan khalifah di muka bumi. Para Malaikat kemudian bertanya (bukan keberatan) maksud penciptaan manusia, karena mereka berasumsi bahwa khalifah ini juga akan merusak bumi dan menumpahkan darah, seperti apa yang dilakukan oleh penghuni bumi sebelumnya.  

Ahmad Rafiq dalam penjelasannya menyebutkan bahwa menurut Tafsir At Thabari, setidaknya ada 3 makna khalifah dalam ayat ini. Pertama, meneruskan Jin dan Iblis untuk menghuni bumi. Keduanya telah telah berbuat kerusakan sebelumnya, dan Adam sebagai khalifah memperbaikinya dan menegasikan kerusakan sbelumnya. Kedua, menggantikan Jin dan Iblis menghuni bumi untuk memeliharanya. 

Ketiga, mewakili Allah untuk memelihara bumi dengan hukum-hukum Allah. Adapun yang dimaksud dengan menghukumi dengan hukumnya Allah itu adalah bahwa Allah menciptakan alam ini dengan aturan-Nya. Maka dalam rangka memelihara bumi ini, Adam dan keturunannya, harus mengikuti sunnatullah. Manusia tidak boleh menentang sunnatullah yang berlaku di alam ini.  

Semua ulama sepakat bahwa kata “khalifah” tidak merujuk pada satu orang (apalagi pada laki-laki) dan tidak ditemukan satu mufassirpun yang memaknai khalifah sebagai “pemimpin,” tetapi mengartikannya sebagai “pengganti” atau “penerus.” Dengan demikian, khalifah merujuk pada tugas kemanusiaan itu sendiri, yaitu menjaga dan memakmurkan bumi. Tugas manusia, baik laki-laki maupun perempuan, sebagai seorang khalifah adalah mencegah dan menghentikan perilaku buruk penghuni bumi sebelumnya. 

Namun demikian, anak keturunan Adam bisa jadi berbuat kerusakan di bumi ini. Dan realitasnya memanglah demikian. Tidak sedikit manusia saat ini yang telah merusak bumi karena kesombongan dan kerakusannya.

Dari ayat ini kita dapat mengambil ‘ibrah” bahwa tanda awal orang berbuat kerusakan di bumi ini adalah ujub, yakni merasa diri paling baik, paling mulia, dan paling pintar. Oleh karena itu, seperti disinggung dalam ayat ini juga, penting sekali untuk terus mensucikan dan memuji Allah. Yakni menempatkan semua sifat-sifat mulia dzat Allah dan menempatkan kita sebagai makhluk yang tidak sempurna pada dzat Allah. Karena manusia terkadang menempatkan dirinya sebagai orang yang paling suci dan paling benar. 

Padahal, pemilik kebenaran yang mutlak hanyalah Allah. Orang yang senang bertasbih dan memuji Allah tidak akan berbuat kerusakan di bumi atau menyakiti manusia yang lain. Dengan demikian, salah satu penyebab kerusakan di bumi ini adalah gagalnya manusia bertasbih. Jika manusia berbuat kerusakan atau kerusuhan, maka jangan jadikan Iblis sebagai alasan, tetapi dari dalam diri manusia itu sendiri. 

Quraish Shihab dalam karyanya Tafsîr al-Mishbâh (Volume 1) menegaskan bahwa kekhalifahan meniscayakan manusia melaksanakan tugasnya sesuai dengan petunjuk Allah. “Kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah adalah pelanggaran terhadap makna dan tugas kekhalifahan itu sendiri.” Pada momen bulan puasa ini, mari kita merefleksikan diri sendiri apakah kita sudah menjadi khalifah seperti yang dimaksudkan Sang Pencipta? yakni manusia yang mampu menghindari dan menghentikan kerusakan, kekacauan dan pertumpahan darah, sekaligus mewujudkan kemaslahatan seluas-luasnya di muka bumi ini. Atau jangan-jangan kita melakukan hal yang sebaliknya. Jika demikian realitasnya, maka keberadaan kita di muka bumi ini tidak layak disebut sebagai khalifah. (bersambung)

***

*) Penulis adalah Wiwin Siti Aminah Rohmawati, S.Ag., M.Ag, Direktur Direktorat Gender Equality and Social Inclusion, UNU Yogyakarta.

*) Artikel rubrikasi Kajian Ramadan Bersama UNU Yogyakarta (KAMANDANU) ini merupakan hasil kerjasama TIMES Indonesia dengan UNU Yogyakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Amar Riyadi
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES