Kopi TIMES

Keseimbangan Laki-Laki dan Perempuan Menurut Imam Nawawi

Selasa, 18 April 2023 - 14:36 | 82.45k
Wiwin Siti Aminah Rohmawati, S.Ag., M.Ag, Direktur Direktorat Gender Equality and Social Inclusion, UNU Yogyakarta.
Wiwin Siti Aminah Rohmawati, S.Ag., M.Ag, Direktur Direktorat Gender Equality and Social Inclusion, UNU Yogyakarta.

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya. Yakni, mengenai kajian terhadap Surat Al Baqarah ayat 35-36 yang ada di dalam Kitab Tafsir Marah Labid karya Muhammad Nawawi Albantani. Kajian ini diampu oleh Ahmad Rafiq, Ph.D di acara Ngaji Kitab di Mardliyyah Islamic Center, UGM. 

Pada ayat sebelumnya (ayat 31-34) Imam Nawawi menjelaskan bahwa dari sisi kuantitas, betapa sangat kecilnya kedudukan manusia di hadapan makhluk lain di alam semesta ini. Jika manusia menyadari posisinya, maka tidak ada alasan dan sangat tidak layak bersikap dan berprilaku takabbur.

Selanjutnya, Allah menyebut posisi Adam sebagai manusia yang dikaruniai pasangan dan Allah memberikan batasan kepada mereka. Batasan tersebut, menurut Rafiq yang justru berfungsi untuk menjaga kemuliaan manusia itu sendiri. 

Di dalam surat al-Baqarah ayat 35-36 Allah berfirman: “Dan Kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim. Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kalian ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan".

Menurut Rafiq, ayat-ayat di atas sangat jarang disentuh oleh para pegiat isu perempuan. Karena ayat-ayat tersebut terlanjur diprasangkai sebagai ayat yang misoginis, yang digunakan untuk melegitimasi bahwa Hawa-lah yang menjadi penyebab Adam terusir dari surga. Misalnya, Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini mengutip sebagian cerita Israiliyat (kisah-kisah yang merujuk pada ingatan-ingatan orang Bani Israil) yang mengisahkan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam dan bahwa yang digoda oleh Iblis itu adalah Hawa. Karena nafsunya lebih tinggi dari Adam, maka Hawa tergoda dan kemudian Hawa membujuk Adam untuk memakan buah khuldi yang terlarang itu.

Model penafsiran misoginis yang berdasar pada kisah-kisah Israiliyat seperti yang terjadi pada ayat di atas kerap kali memojokkan perempuan. Perempuan dianggap sebagai sumber masalah. Jadi kalau laki-laki tergoda, maka perempuanlah yang pasti menggodanya. 

Sebagaimana Adam yang tergoda oleh Hawa. Padahal realitasnya tidak jarang laki-laki yang menggoda perempuan. Penafsiran seperti itu sangat bias gender, misoginis, dan menempatkan perempuan pada posisi yang salah. Hal tersebut memunculkan keyakinan bahwa penyebab utama dari problem kemanusiaan itu adalah perempuan. Adam terusir dari surga karena godaan Hawa. 

Bahwa yang selalu disoroti adalah Hawa sebagai perempuan yang kemudian menggoda Adam yang seorang laki-laki. Perempuan sejak awal dianggap sudah berdosa sehingga ia pantas untuk dihukum dengan berbagai stigma yang ditempelkan kepadanya. Stigma-stigma tersebut semakin mendapatkan legitimasinya dengan sebuah hadits yang populer bahwa sebagian besar penduduk neraka kelak adalah perempuan. Perempuan dipandang sebagai sumber fitnah, sehingga wajar ia menjadi penduduk neraka terbanyak.

Imam Nawawi menafsirkan kedua ayat ini secara berbeda. Ia konsisten mengikuti struktur ayat ini, dimana semuanya menggunakan dhomir mutsanna (mengacu pada keduanya yaitu Adam dan Hawa). Mulai dari bunyi ayat di awal “Wakulna ya adamuskun anta wa zaujukal jannah, wa kula minha,” sampai pada lafadz “fa azallahuma asysyaiton” yang bermakna menggelincirkan keduanya. Dengan demkian, godaan itu datang kepada keduanya, dan keduanya sama-sama tergoda, untuk kemudian keduanya digelincirkan. 

Laki-laki dan perempuan pada ayat ini digambarkan sebagai makhluk yang seimbang dalam konteks keduanya berpotensi untuk salah, juga berpotensi untuk benar. Untuk memperkuat argumentasinya, Imam Nawawi mencuplik Surat Al-A’raf [07] ayat 20 yang artinya “Mengapa Tuhan kalian itu melarang kalian berdua untuk memakan buah ini, itu agar supaya kalian tidak berubah menjadi malaikat.” Inilah bentuk godaan syaitan yang ditujukan kepada Adam dan Hawa. Di sini Imam Nawawi tidak menggunakan riwayat Israiliyat yang relatif menyudutkan perempuan seperti contoh di awal. 

Keseimbangan posisi Adam dan Hawa tersebut berlanjut sampai mereka tinggal di bumi, yang tersirat dalam bagian akhir ayat ke 36, “dan bagi kalian ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan." Mereka berdua mendapatkan mandat dari Allah sebagai khalifah. Dalam hal ini Imam Nawawi memberi tekanan pada kedzaliman dan kesalahan yang dilakukan oleh manusia, bukan pada masalah gendernya. Dengan demikian, tafsir yang populer dan cenderung misoginis itu terbantahkan oleh tafsir ini. (17, habis)

***

*) Penulis adalah Wiwin Siti Aminah Rohmawati, S.Ag., M.Ag, Direktur Direktorat Gender Equality and Social Inclusion, UNU Yogyakarta.

*) Artikel rubrikasi Kajian Ramadan Bersama UNU Yogyakarta (KAMANDANU) ini merupakan hasil kerjasama TIMES Indonesia dengan UNU Yogyakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Amar Riyadi
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES