Fenomena Posh Trut Era Terhadap Suburnya Radikalisme

TIMESINDONESIA, MALANG – Membanjirnya informasi pada era saat ini tentunya berdampak pada pola kehidupan manusia sebagai imbas dari percepatan teknologi membuat internet menjadi kanal informasi yang hampir tidak dapat dikontrol. Namun dibalik semua kemudahan akses informasi tersebut, pada saat yang sama, manusia justru kesulitan untuk mendapatkan makna dari banjirnya informasi yang didapatkannya karena kecenderungan untuk memilah dan memilih berita dan bacaan yang benar belum sepenuhnya dipahami.
Peran media sosial semakin menjadi salah satu kebutuhan pokok yang penting bagi manusia. Bahkan tidak bias dipungkiri bahwa setiap smartphone pasti memiliki penggunaan media sosial, bahkan bisa jadi dalam satu platform media sosial satu orang memiliki beberapa akun yang digunakan untuk berbagai kepentingan berbeda.
Advertisement
Pada sisi lain Media sosial memang sejak awal dirancang untuk mengumpulkan dan menjangkau banyak orang secara virtual dari berbagai kalangan usia dan latar belakang sosial. Selain digunakan sebagai sarana komunikasi keberadaan social media juga bisa menjadi ladang baru untuk menghasilkan keuntungan dengan cara bisnis online.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Era post-truth, sebagai salah satu fenomena yang saat ini terjadi membuat manusia hidup dalam bayang-bayang yang dianggap nyata namun sebenarnya hal inilah yang membuat media sosial begitu mempengaruhi, apalagi realitas yang dianggap benar namun sebenarnya sebuah kebohongan.
Mengutip teori hiperealitas Jean Baudrillard dalam simulations, bahwa manusia hidup dalam simulacra, situasi simulasi berupa gambar, citra dan penanda yang menggantikan realitas pengalaman.
Padahal gambar, citra maupun penanda bukanlah kenyataan sebenarnya. Identitas dan citra diri menjadi hal yang utama, dan orang rela meniru bahkan membeli apapun demi mendapatkan identitas dalam ruang digital, sebuah realitas identitas maya seperti yang disaksikannya dalam layar smartphone. Inilah yang disebut sebagai hiperealitas, realitas yang seolah-olah, dunia maya yang berdampak nyata.
Tentu tidak menafikan sisi positif media sosial yang terbukti mampu mengangkat dan menggerakkan sektor ekonomi dengan proses yang cukup maksimal. Mulai dari mempertemukan penjual dan pembeli secara digital dalam marketplace, promosi produk dengan biaya hampir gratis, pemetaan kelompok dan kecenderungan konsumen yang disediakan dalam report insight media sosial menjadi pijakan data dasar yang sangat berguna bagi produsen dan masih banyak lagi yang bisa dikembangkan bagi pebisnis digital dalam media sosial, sehingga arus ekonomi kerakyatan bisa lebih melejit, tidak hanya didominasi oleh perusahaan besar.
Akan tetapi pada sisi lain kualitas social media juga bisa berimbas pada mekanisme penyalahgunaan kebebasan. Perlu diketahui bahwa kebebasan ruang yang diberikan kepada semua pengguna social media tentunya bisa memberikan dampak negative, sebab semua orang dengan latar belakang yang berbeda-beda memiliki kesempatan sama dalam mengatakan dan berkomentar terhadap suatu hal.
Kebebasan mengunggah informasi yang disediakan media sosial kerap kali disalahgunakan untuk menyebarkan informasi kontra produktif berupa hoax, informasi palsu maupun informasi keliru yang memiliki daya rusak sosial yang dahsyat karena melibatkan sisi emosi target sebagai pemicu ledakannya. Kecenderungan masyarakat milenial adalah menerima informasi secara sekilas tanpa adanya penelaahan lebih dalam terhadap sumber dan jenis informasi yang diterimanya. Aspek inilah yang akhirnya juga sangat berpengaruh pada suburnya perkembangan radikalisme di Indonesia.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Saat ini, paham radikal tersebut tidak lagi melalui buku-buku dan literasi, namun dengan menggunakan media internet, seperti Facebook, Twitter, Telegram, WhatsApp, dan Instagram. Berbagai strategi dilakukan oleh kelompok radikal untuk melakukan propaganda dan penyebaran isu terorisme. Mulai dari penyebaran paham radikal secarang langsung maupun sembunyi-sembunyi hingga menggunakan aplikasi media sosial dan pesan instan.
Kecepatan serta kemudahan akses informasi membuat media sosial semakin efektif dalam membuat konten radikal secara mudah dan masif. Beredarnya konten radikal ini di media sosial, menjadi ‘ancaman’ yang serius bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang sangat akrab dengan media sosial. Salah satu aplikasi yang digunakan untuk penyebaran informasi radikal adalah Telegram, Instagram, dan WhatsApp.
Upaya penyebaran secara massif paham radikal ini setidaknya perlu diperhatikan secara serius bagi semua pihak untuk mengambil tindakan tepat terkait proses penggunaan social media pada era posh trut yang juga begitu pesat saat ini. (*)
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*)Penulis: Muhammad Nafis S.H,. M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |
Konten promosi pada widget ini bukan konten yang diproduksi oleh redaksi TIMES Indonesia. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.