
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Viral di tanah air tentang protes keras Menteri Agama, Gus Yaqut Cholil Qumas, yang menunjuk buruknya pelayanan terhadap jamaah haji Indonesia saat mengikuti rangkaian wukuf di Arafah, mabid di Musdalifah dan Mina yang dilakukan oleh Mashariq, penyedia layanan konsumsi, akomodasi, dan transportasi. Gus Men memprotes keras dengan mengatakan “tidak usah bicara kompensasi dengan kami. Kami tidak butuh kompensasi”. Di tempat lain beliau juga mengatakan “kalau jamaah haji saya belum makan, saya enggak makan”.
Sebuah tradisi menarik protes pejabat publik yang dilakukan secara langsung dan terbuka, tanpa kemasan dan upaya pencitraan. Protesnya dilakukan secara "on the spot", berhadapan langsung dengan penyedia fasilitas yang tidak memenuhi pelayanan prima. Protes ini juga menunjukkan sebuah nyali dari seorang pemimpin yang biasanya tidak lazim dilakukan ke pihak Arab Saudi sebagai tuan rumah penyelenggaraan Haji. Dari bahasa protes Gus Men yang beredar di medsos terlihat sangat orisinil dan sama sekali tidak dihinggapi motif untuk memenangkan hati publik medsos. Spontanitasnya menyampaikan protes terbaca sangat jelas, langsung menyentuh persoalan yang sesungguhnya.
Advertisement
Protes keras Gus Men bukan hanya menunjukkan kualitas dirinya sebagai pemimpin, tetapi menjadi sesuatu yang niscaya. Protesnya bukan hal yang berbau remeh-temeh, tehnis, ataupun periferal. Protes Gus Men menyangkut hajat hidup jamaah haji kita. Protes itu terkait sesuatu yang mendasar untuk keberlangsungan hidup. Bukan hanya saat melaksanakan ibadah haji, tetapi kebutuhan yang harus terpenuhi untuk keberlangsungan hidup di mana pun berada. Protes ini patut disaluti dengan pertimbangan bahwa puncak pelaksanaan haji ketika wukuf di Arafah serta mabit di Musdalifah dan Mina. Bagi Gus Men, sejatinya pelayanan di tempat ini harus maksimal.
Pertama, Gus Men memprotes penyediaan makanan di tenda jamaah yang bukan hanya terlambat tetapi tidak terdistribusi dengan baik. Bahkan saat mengunjungi tenda jamaah, Gus Men menyaksikan sendiri jamaah berada dalam keadaan lapar karena belum makan malam. Tentu yang sudah melaksanakan haji bisa merasakan sendiri dalam keadaan lelah dan situasi hidup di bawah tenda, sangat dibutuhkan asupan makan yang cukup untuk mempertahankan kebugaran untuk melaksanakan prosesi haji selanjutnya. Itulah, protes Gus Men bukan hanya mewakili perasaan jamaah tetapi mengetuk rasa kemanusiaan yang menjadi salah satu pesan moral dari ibadah haji.
Kedua, Gus Men memprotes penyediaan air yang bukan hanya tidak lancar tetapi aliran air terkadang berhenti selama di tenda. Selain makanan, tentu kebutuhan pasokan air bersih menjadi niscaya. Air dibutuhkan jamaah untuk menjaga kebersihan raga jamaah agar bisa beribadah dengan nyaman. Bahkan bisa dibayangkan betapa merananya jamaah bila pasokan air berhenti sementara mereka butuh untuk masuk ke kamar mandi atau ke WC setiap saat.
Ketiga, Gus Men memprotes pelayanan transportasi jamaah yang terlambat terangkut dari Musdalifah ke Mina. Dalam konteks prosesi haji saat di Arafah, Musdallifah, dan Mina, Kelancaran transportasi mempengaruhi kelancaran ibadah. Gus Men dan kita semua paham bahwa ketersediaan transportasi menjadi kunci kelancaran prosesi di Armuzna.
Salah satu pangkal masalah terlambatnya makanan bagi jamaah adalah tidak terangkutnya para jamaah dari Musdalifah ke Mina secara teratur, dan akibatnya banyak dari mereka yang tidak kebagian makanan. Protes Gus Men pada aspek transportasi ini sangat terkait dengan kondisi banyak jamaah haji Indonesia yang sudah berusia lanjut, pelayanan transportasi secara terukur memang sejatinya menjadi prioritas, bukan justru mereka terabaikan.
Saya membaca bahwa protes Gus Men terhadap Mashariq di atas adalah hal yang bisa ditangani langsung dan berdampak pada langkah penyelesaian yang relatif lebih cepat. Namun sebenarnya, Gus Men melancarkan protes tentang tradisi yang harus dibangun untuk menghadirkan pelayanan prima terhadap jamaah. Disinilah esensi protes sesungguhnya dari Gus Men.
Pertama, penawaran kompensasi yang ditawarkan oleh mashariq, bukanlah penyelesaian masalah. Itulah dengan keras Gus Men menolaknya. Kompensasi hanya meminimalisir rasa ketidaknyamanan tetapi tidak bisa dipakai untuk membangun sistem yang andal. Gus Men melempar sinyal tentang perlunya meninjau model pelayanan yang ada dari Mashariq terhadap ratusan ribu jamaah Indonesia saat berada di tenda Armuzna.
Kedua, penolakan Gus Men saat ditawari makanan dan secara tegas menyatakan bahwa dirinya juga tidak mau makan kalau masih ada jamaahnya yang belum makan, memberi pesan kepada penyedia layanan bahwa untuk mengatasi masalah penyediaan layanan tidak bisa serta merta dengan menggembirakan pemimpinnya. Ia juga ingin menunjukkan kepada mereka bahwa bahwa jamaah haji Indonesia itu adalah satu, satu hati dan satu rasa. Pelayanan adalah harga diri bagi kita, marwah dan kehormatan yang tidak bisa dibayar dengan kompensasi.
Gus Men menawarkan pelajaran moral kepada penyedia bahwa pelayanan itu identik dengan pengorbanan. Bagi Gus Men, pengorbanan itu adalah dengan merasakan apa yang sesungguhnya terjadi pada jamaah. Pengorbanan adalah metode yang menghasilkan substansi kedekatan, seperti dalam ajaran ibadah Qurban. Itulah caranya Gus Men untuk selalu menjadi bagian dari jamaahnya, bukan mempertontonkan kemarahan, lalu pergi makan di tempat yang nyaman. Saat mencoret masalah penolakan makan dari Gus Men, saya jadi terenyuh, karena juga membaca berita bahwa ternyata Gus Men terkadang mengalami gangguan asam lambung. What a sacrifice! (*)
*) Penulis: Hamdan Juhannis, Rektor UIN Alauddin Makassar.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |
Konten promosi pada widget ini bukan konten yang diproduksi oleh redaksi TIMES Indonesia. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.