Kopi TIMES

Neil Postman: Teknologi, Teman atau Musuh?

Rabu, 05 Juli 2023 - 20:12 | 113.86k
Abdur Rohman, mahasantri ponpes Luhur Baitul Hikmah sekaligus mahasiswa STF Al-Farabi Kepanjen, Malang.
Abdur Rohman, mahasantri ponpes Luhur Baitul Hikmah sekaligus mahasiswa STF Al-Farabi Kepanjen, Malang.

TIMESINDONESIA, MALANG – Apa yang tergambarkan di kepala kita ketika mendengar kata teknologi? Guruh mesin berlalu-lalang mengeruk emas di Freeport? komputer jinjing yang menemani mahasiswa menggarap skripsi? alat berat yang tengah sibuk mengerjakan proyek di Jakarta? berbagai aplikasi yang menjernihkan wajah kita? Atau aplikasi pelacak nomor telepon?

Padahal, makna dari teknologi tidak hanya hal yang bersifat perangkat keras (hardware), dan perangkat lunak (software). Lebih jauh, Johan Vincent Galtung, salah seorang sosiolog Norwegia, mengatakan bahwa komponen diatas yang ada pada teknologi memang penting, tapi hal tersebut hanya penampakan luar saja, seperti kita melihat penampakan puncak gunung Fuji di jepang, yang terlihat hanya es saja. Hampir dari kita, cenderung melupakan hal yang fundamental dari gunung.

Advertisement

Ada hal lebih esensial dari teknologi yakni sesuatu yang berasal dari dalam, kondisi mental, harmonisasi kolektif antar manusia, sehingga konsepsi serta pengetahuan baru dapat tumbuh subur dan berbuah untuk kemudian dinikmati oleh umat manusia.

Perkembangan teknologi tidak pernah lepas dari transformasi yang terjadi dalam ranah revolusi industri. Saat ini kita masih memasuki revolusi industri 4.0. Menurut salah seorang pakar pendidikan Prof. Yudi Latif, memberikan gambaran akan revolusi ini, yakni didasarkan atas tranformasi digital yang mengombinasikan berbagai varian teknologi. Big data, IoT (Internet of Things), virtualistik, dan sebagainya.

Bagaimana kita melihat fenomena konteks sekarang, berupa Artificial Intelligence (kecerdasan buatan) misalnya. Ia sedemikan mempermudah pekerjaan bernuansa komputer dan digital. Hampir semua orang bisa menjadi editor fotografi, video, penulis, dan lain-lain berkat jasanya.

Namun secara tidak sadar, kecerdasan alami yang dimiliki manusia perlahan  memudar. Instan-isasi berpikir kian merebak serta mental kreatif dan inovatif berkurang. Karena orang sekarang, untuk mencari sesuatu sangat mudah diakses. Alih-alih mempermudah suatu pekerjaan-memang di satu sisi, tetapi di sisi lain berdampak pada interaksi sesama manusia yang semakin kabur.

Senarai dengan konsep pemikiran yang disampaikan oleh pakar pendidikan asal New York, Amerika Serikat, yakni Neil Postman.

Dia seorang filsuf kontemporer, yang mana fokus beliau adalah pada term komunikasi dan pendidikan. Lebih kurang dari 200 Artikel dan 20 buku ia abadikan, dan menjadi bahan diskusi serta objek perdebatan di masanya. 

Teknologi yang gandrung di Amerika saat itu adalah televisi. Bagaimana “sihir” televisi mengambil alih peran sekolah, merampas kecakapan, tradisi bahkan hal sederhana berupa berpakaian. Televisi ujarnya, dalam buku “Amusing Ourselves to Death, Public Discourse in the Age of Show Business”, yang terbaik hanyalah sampahnya. 

Jika kita menarik benang merah dari Grand narasi yang diutarakan oleh beliau adalah dimana teknologi pada masa ini; internet, komputer, artificial intelligence (kecerdasan buatan), berbagai macam fitur aplikasi di gawai dan sebagainya, menjadikan peserta didik di Indonesia saat ini sudah sangat kecanduan terhadap teknologi berupa internet dan kawan-kawannya. 

Sihir berupa internet sedikit demi sedikit merenggut rasa sosial yang dimiliki oleh manusia, bahkan diusia belia. Kita lihat, tak jarang para orang tua ketika mengasuh anaknya dengan cara memberikan gawai, bahkan selama berjam-jam.

Pandangan Postman tentang teknologi melihat bahwa, terdapat dua kemungkinan yang didapat darinya yakni teman atau musuh bagi kita.

Menjadi teman, lanjut Postman, adalah manakala teknologi dijadikan untuk memotivasi para guru serta orang tua agar memanfaatkan teknologi dengan mensyaratkan; (1) informatif dan edukatif, (2) diskriminatif serta (3) kreatif.

Informatif dan edukatif bermakna, ketika dapat mengantarkan seorang guru atau murid mendapatkan suatu pengalaman pelajaran yang baru; diskriminatif, disini bukanlah berkonotasi negatif, melainkan kita menjadi nahkoda yang mengendalikan kapal besar bernama teknologi untuk mampu membedakan arah laju kapal yang mengarahkan ke pelabuhan keselamatan; kreatif artinya memunculkan berbagai macam gagasan yang bersifat baru ketika mendapatkan inspirasi dari teknologi tersebut.

Sedangkan menjadi musuh, ketika teknologi dijadikan sebagai tujuan mutlak, maksudnya adalah dengan menghilangkan esensi dari proses belajar seorang anak. Seorang manusia yang baru lahir menurut Ki Hadjar Dewantara, bagaikan kertas putih polos yang dapat dengan mudah digores dengan berbagai macam tinta. Sehingga peran guru dan orang tua sangat krusial, untuk menentukan teknologi yang kompatibel serta bermanfaat bagi proses belajar anak untuk menjalani kehidupannya kelak.

Sebab pembentukan mental kreatif dan inovatif yang timbul dari kecerdasan seorang manusia, dalam konteks ini seorang anak, tidak hanya bertumpu pada IQ (Inteligence Quotient) semata, melainkan dapat dilihat atas dasar EQ (Emotional Quotient), SQ (Spiritual Quotient) serta CQ (Civic Quotient). Alhasil, intelegensi atau kecerdasan seorang anak tidak terfokuskan pada satu sisi saja.

Lantas sejauh mana kita sebagai orang tua, kakak, wali murid ketika mendayagunakan teknologi di era disrupsi saat ini? Apakah menjadikannya teman, atau jangan-jangan musuh bagi anak-anak kita?


*) Abdur Rohman, mahasantri ponpes Luhur Baitul Hikmah sekaligus mahasiswa STF Al-Farabi Kepanjen, Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

Konten promosi pada widget ini bukan konten yang diproduksi oleh redaksi TIMES Indonesia. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES