Menuju Negara Ramah Anak, Trade-Off Antara Inklusi dan Birokrasi

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Situasi buruk yang menimpa anak-anak saat ini memang mengkhawatirkan, jika ditelisik dari data statistik yang menggambarkan kondisi ketimpangan yang melingkupi. Lebih dari 260 juta anak di seluruh dunia tidak mengenyam pendidikan formal. Anak-anak dari keluarga miskin memiliki kemungkinan 4 kali lebih rendah untuk menghadiri sekolah dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga kaya.
Lebih dari 385 juta anak hidup di bawah garis kemiskinan ekstrem. Hampir setengah dari seluruh kematian anak di bawah usia lima tahun disebabkan oleh kelaparan dan malnutrisi.
Advertisement
Sekitar 149 juta anak hidup di negara-negara terdampak konflik bersenjata. Dan setiap hari, ratusan anak menjadi korban kekerasan fisik, pelecehan seksual dan eksploitasi di seluruh dunia. Sekitar 160 juta anak tinggal di daerah dengan risiko bencana alam yang tinggi.
Setiap tahun, lebih dari 175 juta anak terkena dampak langsung dari bencana alam. Seperti banjir, gempa bumi dan badai. Lebih dari 1 miliar anak mengalami kejahatan online dan eksploitasi, menjadi pengguna internet aktif, meningkatkan risiko mereka terhadap eksploitasi online. Kasus eksploitasi seksual online terhadap anak meningkat sebesar 50 persen selama pandemi Covid-19.
Di Indonesia, meski tidak separah situasi seperti di negara dengan gencatan senjata, tetapi terdapat data statistik yang menggambarkan tingkat kerentanan yang memprihatinkan. Sekitar 26 juta anak hidup dalam kondisi kemiskinan, mereka memiliki akses terbatas terhadap pendidikan yang berkualitas, dengan tingkat kelulusan yang lebih rendah dan tingkat putus sekolah yang lebih tinggi.
Sekitar 14 persen dari anak perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun dan kondisi tersebut menghambat kesempatan pendidikan mereka serta meningkatkan risiko kesehatan yang serius. Hampir sekitar 1,6 juta anak di Indonesia yang terlibat dalam pekerjaan anak yang cukup mengganggu akses mereka terhadap pendidikan dan mengancam kesehatan serta perkembangannya.
Menurut Laporan Nasional Survei Kesehatan Reproduksi Remaja 2019, sekitar 1 dari 3 anak di Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik, psikologis, atau seksual. Kekerasan terhadap anak berdampak negatif pada kesehatan mental, perkembangan dan kesejahteraan mereka.
Tren kekerasan tampak nyata, Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020 mencerminkan situasi buruk yang menimpa anak-anak, seperti 25,9 persen mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan 4.698 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang dilaporkan, memberikan gambaran yang mengkhawatirkan.
Ditambah hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 tentang prevalensi stunting di Indonesia yang mencapai 27,7 persen dan 17,7 persen anak mengalami kekerasan di sekolah, 37,4 persen anak mengalami kekerasan dalam dunia digital. Betapa tantangan dan risiko yang dihadapi oleh anak-anak semakin kompleks.
Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) mencatat sekitar 40.000 hingga 100.000 anak jalanan di Indonesia rentan menjadi korban kekerasan dan eksploitasi. Survei Nasional tentang Perilaku Penggunaan Internet oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika pada tahun 2019 menemukan bahwa 37,4 persen anak-anak di Indonesia pernah mengalami kekerasan dalam dunia digital, seperti perundungan online atau penipuan. Sebagaimana dilansir dari data-data ini menggambarkan betapa pentingnya melindungi anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan.
Komitmen pemerintah Indonesia dengan meratifikasi beberapa konvensi terkait perlindungan anak sejak tahun 1990. Konvensi Hak-hak Anak atau Convention on the Rights of the Child (CRC) - Tahun 1990 adalah instrumen internasional yang paling penting dalam menjaga dan melindungi hak-hak anak. Konvensi tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya atau International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) - Tahun 2005 yang melindung hak-hak dasar anak seperti hak atas pendidikan, kesehatan dan standar hidup yang layak.
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) - Tahun 1984: yang menetapkan hak-hak perempuan dan perlindungan terhadap diskriminasi gender termasuk ruang lingkup perlindungan anak perempuan. Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas atau Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) - Tahun 2007 sebagai upaya untuk melindungi hak-hak anak penyandang disabilitas.
Komitmen penting ini perlu kita dukung bersama, bahwa negara menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang. Serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Saat ini kekerasan seksual terhadap anak dari tahun ke tahun semakin meningkat dan mengancam peran strategis anak sebagai generasi penerus masa depan bangsa dan negara, sehingga perlu memperberat sanksi pidana dan memberikan tindakan terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak dengan mengubah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2OO2 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2Ol4 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2OO2 tentang Perlindungan Anak yang telah mengalami revisi berulang-ulang.
Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 7 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal Perlindungan Anak juga mengatur tentang standar pelayanan minimal yang harus dipenuhi oleh Lembaga atau instansi yang memberikan pelayanan langsung kepada anak dalam rangka perlindungan anak.
Upaya perlindungan anak tidak hanya menjadi komitmen pemerintah pusat, tetapi sampai ke pemerintah daerah, meskipun hanya dan baru pada bentuk kebijakan, kelembagaan dan regulasi yang bertumpuk-tumpuk dan berserakan di berbagai kementerian dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
Jika merunut pada pemikiran Bromley, fenomena tumpukan kebijakan tersebut membutuhkan pola interaksi (Pattern of Interaction) antar regulasi hingga level operasional. Daron Acemoglu dalam bukunya “Why Nations Fail”, juga telah mengisyaratkan faktor-faktor yang mendasari kesuksesan atau kegagalan suatu negara karena kegagalan kebijakan dan kelembagaan adalah dengan mengabaikan inklusifitas. Yang artinya meminggirkan potensi pengetahuan kelompok basis atau rakyat jelata.
Kerangka kerja inklusif di level basis, didukung oleh Elinor Ostrom melalui konsep dan pendekatan policentris-nya yang mengakui bahwa berbagai entitas lokal memiliki pengetahuan dan informasi yang unik yang selama ini terbukti sanggup menghadapi berbagai kerentanan. Melibatkan kelompok basis dalam pola interaksi kebijakan dan kelembagaan antara entitas-entitas sebagai pusat pembelajaran bersama menjadi keniscayaan.
Kolaborasi dan inovasi tak bisa dihindari. Banyak fakta kegagalan kebijakan dan kelembagaan di level bawah karena memperlakukan misi perlindungan anak hanya sekedar pemenuhan “Project Wal Program”. Tantangan kebijakan “Ramah Anak” adalah bagaimana clear antar level policy, antar organisasi pelaksana di level kementerian sampai OPD (Organisasi Perangkat Daerah) lalu bersedia membangun argumentasi tentang situasi yang sedang mengancam anak-anak sampai di kelompok basis, sekolah-sekolah, surau-surau, kelompok-kelompok warga, wilayah yang bersentuhan langsung dengan kerja-kerja nyata hingga lembaga yang paling dasar yaitu rumah tangga.
Ada kerangka konseptual yang ditawarkan dan dikembangkan oleh UNICEF untuk meningkatkan kualitas perlindungan kepada anak-anak yaitu Sekolah Ramah Anak, dan diadopsi oleh banyak aktor menjadi Masjid Ramah Anak, Desa Ramah Anak, Kabupaten Ramah Anak dan seterusnya. Konsep negara ramah anak mencakup keseluruhan kehidupan anak-anak dan menempatkan mereka di pusat kebijakan dan praktik yang diadopsi oleh negara dan masyarakat. Tujuannya adalah untuk menciptakan lingkungan di mana anak-anak dapat tumbuh dan berkembang dengan aman, bahagia, sehat dan memiliki akses yang setara terhadap kesempatan dan sumber daya.
Rasanya terlalu naïf, jika konflik rumit yang melilit dan isu-isu krusial yang mengancam masa depan anak-anak tersebut harus sim-salabim diselesaikan melalui jargon keramahan. Tetapi sebagai ummat beragama, haram dan pantang putus asa…
Kita semua harus optimis menabuh dan menggaungkan genderang mimpi lingkungan yang ramah bagi anak, untuk menjadi pemantik irama yang efektif dalam mewujudkan hak-hak anak dan menciptakan dunia yang lebih baik bagi mereka. Arena keramahan tidak hanya mencakup aspek pendidikan, tetapi juga melibatkan kesehatan, lingkungan, perlindungan, partisipasi dan inklusi.
Mereka akan merasa dilindungi, didengar dan dihormati. Mereka akan mendapatkan hak-hak berkehidupan yang berkualitas, tidak hanya formalitas pada naskah-naskah akademik dan jargon-jargon politis serta kerja-kerja korporatis, tetapi juga mengembangkan keterampilan sosial dan emosional yang diperlukan.
Sebagaimana dipesankan dalam Hadist Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian menginjak-injak (menghinakan) anak kecil, memandang rendah anak kecil, dan menolak memberikan salam kepada anak kecil”, (HR. Abu Dawud). Dikuatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak mengasihi dan tidak menghormati anak-anak, maka dia bukan dari golonganku”, (HR. Bukhari). Senada dengan pesan moral para alim, antara lain Imam Al-Ghazali yang berpesan bahwa “Hormatilah anak-anak dan jangan meremehkan mereka, karena mereka adalah bunga-bunga surga yang disebarkan di dunia ini”. Dan Imam Syafi'i yang ikut menerjemahkan. “Aku mengasihi anak-anak karena mereka adalah masa depan yang harus dihargai”. (*)
***
*) Oleh: Emi Hidayati M.Si, Dosen Prodi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI), kampus Institut Agama Islam (IAI) Ibrahimy Genteng, Banyuwangi.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Faizal R Arief |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |
Konten promosi pada widget ini bukan konten yang diproduksi oleh redaksi TIMES Indonesia. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.