Nilai Lokal, Budaya Politik dan Etika Berdemokrasi di Kalangan Elit Lokal Ternate

TIMESINDONESIA, MALANG – Reformasi memberikan ruang bagi elit-elit lokal, baik yang berbasis tradisional (Bangsawan) maupun elit politik (Birokrat-Politisi) untuk berkontestasi di arena demokrasi lokal. Di arena itulah nilai budaya politk elit lokal diuji apakah dapat memperkuat demokrasi atau sebaliknya melemahkan demokrasi. Dalam perspektif Gadamer. Elit Lokal dalam menafsirkan realitas sosial dan politik tersituasi oleh kesejarahan dimana elit lokal tersebut berada. Karena itulah perspektif relasi elit lokal di Ternate terbentuk oleh prasangka (Pra-pemahaman) Tradisi dan otoritas sejarah dan Kebudayaan setempat.
Basis budaya dan kebudayaan masyarakat seperti nilai Jou Se Ngofa Ngare di Kota Ternate digunakan sebagai ruang relasi dan legitimasi politik para elit lokal. Jou Se Ngofa ngare adalah nilai lokal Masyarakat Ternate yang menjadi dasar relasi manusia dengan Tuhan dalam pengertian Agama, serta relasi Rakyat dengan pemimpinnya dalam konteks sosial, budaya dan politik. Secara terminologi, Jou diartikan sebagai Tuhan dan Ngofa Ngare sebagai hamba. Falsafah “Jou Se Ngofa Ngare” kemudian disimbolkan dalam “Goheba dopolo romdidi” (Burung Garuda berkepala Dua) yang menjadi simbol kesultanan Ternate. Sekaligus menegaskan bahwa masyarakat Ternate sangat menghargai keanekaragaman kultural.
Advertisement
Rahmat Abd. Fatah yang merupakan salah satu mahasisawa program Doktor Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang melakukan sebuah penelitian yang mencoba menggunakan Fenomenologi-Hermeneutik Gadamer untuk melihat bagaimana Elit Lokal menafsirkan atau memaknai Nilai Jou Se Ngofa Ngare di arena Pilkada 2020 di Kota Ternate, Maluku Utara. Beberapa hasil temuan yang didapat diantaranya bahwa tindakan elit lokal di arena pilkada, tersituasi oleh realitas kesejarahan dan kebudayaan di Ternate seperti tradisi keislaman, Kepemimpinan para Sultan sebagai reference nilai elit lokal serta Simbol budaya Ternate sebagai tradisi dan ketersituasian sejarah yang mempengaruhi elit lokal. Bahwa Islam telah menjadi tradisi berfikir dan sejarah, yang tidak saja menjadi sejarah dalam ruang teks, tetapi juga di ruang konteks. Dimana Allah menjadi titik episentrum dari seluruh lingkar pemaknaan Jou Se Ngofa Ngare sebagai yang awal dan akhir dari semua proses pemaknaan relasi antara Allah dan manusia, pemimpin dan rakyat. Demikian Pula para Sultan dan identitas simbolik di Ternate telah mewarnai dan menjadi prasanga (pra-pemahaman) elit lokal dalam mentransformasi tindakan sosial politik para elit lokal.
Temuan berikutnya akan pemaknaan elit lokal tentang nilai-nilai Jou Se Ngofa Ngare yaitu; Pertama, Nilai lokal Dada Madopo (Nasi Kuning dan Telurnya) Bahwa Nasi kuning dan telur menggambarkan tumpukan piramida, dimana nasi kunuig adalah rakyat. Jika nasi kuning tersebut rapuh maka pemimpin tidak akan kuat. Hal tersebut mengandung makna bahwa sejatinya nilai-nilai lokal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi seperti partisipasi, kemitraan dan resposifitas sebagai faktor utama dalam kehidupan berdemokrasi.
Kedua. Nilai Lokal Goheba Dopolo Romdidi (Burung Berkepala Dua, berbadan Satu, berhati Satu). Bahwa Goheba ialah pengakuan tanpa syarat terhadap pendatang, juga pendapat yang berbeda (keragaman) tidak ada sekat. Itu sebabnya Goheba juga dapat dipahami sebagai lambang humanisme universal. Goheba tidak dominasi tidak tunggal. Memang secara fisik kepalanya cuman dua. Tetapi simbolik keragaman, lebih dari dua kepala.Dalam perspektif demokrasi lokal, Goheba menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan, partisipasi, responsifitas dan keragaman.
Ketiga, Nilai Lokal Tara No Ate (Turun dan Pikat Dia). Bahwa Tara No Ate tidak sekedar dimaterialkan menjadi aktifitas ekonomi semata. Tetapi sejatinya ialah tentang Etika Berdemokrasi. Yaitu penghargaan terhadap keragaman, keterlibatan Publik untuk menyampaikan problem dasarnya, serta responsifitas yang menyeluruh tentang kebutuhan riil masyarakat dengan senantiasa mengedapankan Bobaso Se Rasai. Yaitu komunikasi yang didasari kasih sayang dan cinta yang tulus kepada warga. Serta berabagai nilai budaya lokal lainnya seperti tujuh nilai dasar Budaya Ternate. Khusunya dalam rangka penguatan budaya politik dan etika berdemokrasi di aras lokal.
Sebagai peneliti Rahmat menyaranakan tujuh hal agar Nilai-nilai Jou Se Ngofa Ngare dapat menjadi panduan bagi tindakan sosial, politik dan dalam kehidupan keseharian. Pertama, Makna Nilai-nilai lokal harus terus hidup dan mewarnai politik lokal di Ternate. Sebab politik tidak sekedar kontestasi kekuasaan dan kepentingan sesaat tetapi politik sejatinya ialah perlombaan nilai tentang perbaikan dan keberpihakan pada kemanusiaan dengan segala kearifannya. Inilah Horizon idealitas elit lokal yang harus tetap hidup dan bertumbuh mewarnai realitas kesejarahan dan politik lokal di Ternate.
Kedua, Makna Burung Goheba Dopolo Romdidi ialah simbol demokrasi lokal yang syarat dengan nilai keagamaan, kebudayaan, kemanusiaan dan keindonesiaan. Sebaiknya dijadikan simbol di ruang publik. Baik fisik maupun nilai yang mendasarinya menjadi kurikulum bagi tingkat TK, SD dan SMP.
Ketiga, Makna nilai Tara No Ate sebaiknya tidak sekedar dimaterialkan menjadi aspek ekonomi semata. Tetapi menjadi laku tindakan sosial elit lokal yang selalu turun dan merasakan apa yang dirasakan (Bobaso Se Rasai, Bobaso Se Hormat dan Duka se Cinta) atas apa yang dirasakan oleh masyarakat, sembari memberi solusi berupa kebijakan, program dan anggaran yang memungkinakan keadilan bagi masyarakat, kemandirian dan bertumbuhnya harapan hidup.
Keempat, Nilai-nilai lokal Ternate sebaiknya menjadi symbol (Etalesa) dan substansi nilai di ruang-ruang publik. Bahwa Setiap mata, telinga, dan rasa saat memasuki Ternate ialah “rasa ternate”. Mulai dari memasuki tempat pelayaan public sampai pada prakteknya dimana semua kantor-kantor pelayanan publik dimodifikasi dari nilai-nilai lokal.
Kelima, Relasi pemerintah dan Kesultanan Ternate sebaiknya tidak sekedar Silaturahim biasa, atau perjumpaan spontan di suatu acara. Tetapi sebaiknya ada kepercayaan, penguatan relasi partisipatif, kemitraan dan keterbukaan dalam kebijakan dan program dalam rangka menjaga dan mengembangkan nilai-nilai lokal, baik yang bersifat fisik maupun non-fisik agar menjadi laku bagi warga Kota.
Keenam, Agar nilai-nilai lokal dapat berkehendak menjadi kesatuan yang tidak terpisah dari kehendak elit lokal dan masyarakatnya. Pemerintah sebaiknya membuat peraturan Daerah tentang Tata Nilai Kota Ternate berbasis 7 Nilai Dasar Budaya Ternate disertai penegasan pada aspek anggarannya.
Ketujuh, Meninjau kembali logo atau lambang Pemerintah Kota Ternate yang kurang memiliki keterpautan filosofis, sosiologis, budaya dan kesejarahan Ternate. Digantikan dengan Logo yang memiliki kekayaan kearifan akan nilai seperti Tara No Ate, Goheba dopolo Romdidi dan 7 dasar nilai, dimana ketiganya sarat akan makna nilai Agama, budaya, kemanusiaan dan keindonesiaan.
Menurut Rahmat. Penelitian ini adalah sebagai tantangan atas realitas politik yang “miskin” gagasan dibandingkan dengan “menonjolnya” citra” di dalam arena politik lokal. Keretakan hubungan antara Walikota dan Wakil Walikota terpilih 2020 dan berakhir pada pengunduran diri Wakil Walikota merupakan fakta bagaimana masyakrakat dengan segenap nilai simbolik hanyalah alat atau objek atas hadirnya kekuasaan. Basis nilai Jou Se Ngofa Ngare para elit tentu diragukan, sehingga Akronim Tulus pada kepemimpinan Walikota dianggap belum tulus.
***
*) Oleh: Rahmat Abd. Fatah, mahasisawa program Doktor Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Rochmat Shobirin |