
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Peringkat Pisa Indonesia tahun 2023 ini masih belum menunjukan peningkatan. Tes Pisa yang diikuti oleh Indonesia tahun lalu adalah tes Pisa yang kedelapan. Sejak tahun 2000 Indonesia memang tidak pernah absen mengikuti tes ini hingga tes teranyar di tahun 2022 lalu.
Hal ini dikatakan oleh wakil ketua komisi X yang mengaku telah melihat hasil tes ini dalam RDPU Komisi X melalui kanal YouTube Komisi X, Kamis, 6 Juli 2023. Indonesia masih berada diposisi yang buruk terutama untuk numerasi bahkan lebih rendah dari tiga tahun lalu.
Advertisement
Tentu saja ini bukan kabar baik, meskipun kita harus mengakui bahwa tes ini agak istimewa karna pelaksanaanya dilakukan setelah dunia babak belur dihajar Covid 19. Bahkan India memutuskan untuk membatalkan keikutsertaannya di detik-detik terakhir pelaksanaan tes.
India beralasan bahwa siswa-siswa mereka tidak akan maksimal dalam tes tersebut karena selama pandemi Covid, pembelajaran berlangsung secara daring sehingga hasilnya tidak maksimal. Hali ini, tentu masih bisa untuk dimaklumi.
Tahun 2009 India tidak bisa terima dengan hasil Pisa yang menempatkan negara tersebut sebagai peringkat kedua dari bawah yaitu 73 dari 74 negara. Itulah keikutsertaan India yang pertama dan terakhir pada tes Pisa sampai tahun 2022 kemarin.
Menelusuri problematika rendahnya skor Pisa Indonesia dari tahun ketahun memang ruwet. Mentri Pendidikan saat ini Nadim Makarim juga menerima hasil Pisa terakhir di tahun 2018 dengan skor yang tidak terlalu membanggakan kalau tidak bisa dikatakan hancur.
Peringkat Indonesia ada di sepuluh terbawah untuk tiga kategori yang jadi fokus tes ini yaitu literasi, Numerasi dan Sains. Tentu saja melihat tidak kunjung adanya perbaikan skor sejak tahun 2000 hingga saat ini, sebagai bangsa kita harus muhasabah dan mulai memikirkan apa yang salah dalam rencana pembangunan pendidikan kita.
Anggaran 20 persen untuk pendidikan nyatanya belum bisa mendongkrak mutu pendidikan dari tahun ke tahun. Saatnya melihat, peruntukan APBN untuk mendongkrak minat baca yang sudah rendah dan menunjukan gejala yang semakin akut dari tahun ketahun.
Mengapa harus minat baca yang ditelisik? Jawabannya sederhana saja. Jika siswa sudah cinta membaca maka minat terhadap Numerasi dan Sains akan berbarengan dan sejalan. Siswa yang gemar membaca akan gemar terhadap ilmu pengetahuan.
Minat baca siswa bukan hanya tanggung jawab sekolah. Namun lebih kepada masyarakat. Coba lihat dan amati, anak-anak yang suka membaca kebanyakan dari keluarga yang juga gemar membaca.
Mengapa siswa-siswa di negara maju gemar membaca? Karena kultur masyarakat membentuk. Hal ini terlihat dan disaksikan oleh siswa-siswa sejak mereka kecil. Anak-anak Finlandia, Jepang dll itu, keranjingan baca buku sejak SD bahkan sejak bisa membaca. Perpustakaan jadi tempat favorit warganya.
Tahun 2007 sastrawan Taufik Ismail mengeluarkan satu istilah yaitu “Tragedi Nol buku” siswa rabun membaca dan Pincang menulis” Hal itu didasarkan pada hasil penelitian yang merupakan hasil penelitiannya ke SMA di 13 negara tentang kewajiban membaca buku sastra di sekolah. Dimana siswa SMA di Amerika membaca 32 buku, disusul oleh Belanda dan Prancis dengan 30 buku. Sedangkan siswa Indonesia membaca nol buku.
Penelitian itu dilakukan oleh Taufik Ismail di tahun 2007, yang artinya sudah 16 tahun dan masih saja belum banyak yang berubah dalam budaya minat baca siswa dan masyarakat kita. Terlebih lagi perkembangan teknologi yang sangat dashyat makin terpuruk minat baca masyarakat dan siswa yang lebih memilih menghabiskan waktu bahkan sampai 8 jam di media sosial.
Banyak upaya yang telah digulirkan untuk meningkatkan minat baca dikalangan siswa ada gerakan literasi sekolah yang diluncurkan sejak tahun 2015 yang sudah berjalan tujuh tahun yang harusnya sudah mulai bisa terlihat hasilnya pada tingkat literasi siswa Indonesia. Program ini dilaksanakan dengan metode Siswa diminta untuk membaca buku masing-masing dengan tanpa bersuara setiap hari pada waktu yang telah ditentukan.
Jika bisa dilaksanakan durasi membaca waktu adalah 30 menit. Namun kalau tidak bisa 15 menit dengan frekuensi paling kurang 3 kali seminggu. Apakah semua sekolah sudah melaksanakan? Bagaimana hasilnya?
Saya pernah membuat kuesioner kecil-kecilan tentang minat baca di kalangan guru. Dari 50 guru hanya 5 orang yang membaca buku dan ke toko buku secara rutin. Kenyataan pahit ini, menunjukan rendahnya minat baca guru meskipun hasilnya tidak bisa digeneralisasi.
Namun cukup memberikan gambaran bahwa jangankan siswa guru pun tidak tertarik untuk membaca buku diluar buku pelajaran yang ditempuhnya sehari-hari. Jangan-jangan tidak minatnya siswa membaca karena melihat guru-guru juga tidak tertarik untuk membaca buku. Sehingga perlu dilakukan penelitian mendalam tentang minat baca buku dikalangan guru-guru ketimbang hanya menyoroti minat baca buku dikalangan siswa.
Sebab kita semua sebagi murid mengikuti kebiasaan guru. Guru kencing berdiri murid kencing berlari. Siswa butuh diberi contoh, bukan teori.
Melihat skor PISA yang belum menunjukan perbaikan dari tahun ke tahun, sudah saatnya pemerintah secara serius mencari dan melihat akar masalah pendidikan. Kita semua menghargai upaya Kemendikbudristek yang meluncurkan program episode buku bacaan siswa. Namun, hendaknya hal itu bisa dijadikan momentum dan tonggak sebagai kebangkitan gerakan literasi disekolah kita.
Sekolah wajib membentuk gen membaca pada siswa dengan memberikan contoh baik dimulai dengan guru dan kepala sekolah. Show not mention, perlihatkan bahwa kepala sekolah dan guru menjadi garda terdepan dalam literasi.
Sehingga nanti, jika kultur membaca sudah mengakar dan kuat tidak mustahil dimasa-masa yang akan datang rangking Pisa kita setara dengan nagara-negara OECD.
***
*) Oleh: Waode Nurmuhaemin, Doktor Manajemen Pendidikan, Penulis Buku dan Artikel Pendidikan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainor Rahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |
Konten promosi pada widget ini bukan konten yang diproduksi oleh redaksi TIMES Indonesia. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.