
TIMESINDONESIA, MALANG – Indonesia, negara yang terkenal dengan keanekaragaman budayanya yang kaya, keindahan alamnya, dan keanekaragaman hayatinya yang luas, menyembunyikan kebenaran yang menyakitkan di balik fasadnya yang semarak. Fenomena keterasingan telah lama membayangi masyarakat adat di negara kepulauan ini, membuat masyarakatnya terpinggirkan, terpinggirkan, dan tidak berdaya. Sementara Indonesia menampilkan dirinya sebagai tempat percampuran budaya, bahasa, dan tradisi, kenyataan pahitnya adalah banyak komunitas adat yang secara sistematis diasingkan dari tanah leluhur, warisan budaya, dan keberadaan mereka yang bermartabat.
Proses keterasingan tersebut didorong oleh berbagai faktor, antara lain pesatnya perkembangan industri, urbanisasi, dan lemahnya perlindungan hukum. Tanah adat, yang dulunya penting bagi penghidupan dan identitas budaya mereka, telah menjadi korban proyek pembangunan skala besar, operasi pertambangan, dan konsesi pertanian. Pengejaran pertumbuhan ekonomi oleh negara seringkali lebih diutamakan daripada hak-hak komunitas ini, yang menyebabkan penggusuran paksa, hilangnya mata pencaharian, dan gangguan parah terhadap cara hidup mereka.
Advertisement
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Kerangka hukum yang seolah-olah melindungi hak-hak masyarakat adat seringkali terbukti tidak memadai dalam praktiknya. Undang-undang Indonesia tahun 2003 tentang Masyarakat Adat, misalnya, dimaksudkan untuk melindungi hak-hak mereka atas tanah dan sumber daya. Namun, kerumitan birokrasi, korupsi, dan celah hukum telah membuat perlindungan ini sangat tidak efektif. Tidak adanya batas yang jelas dari wilayah adat dan kurangnya proses konsultasi yang tepat semakin memperburuk kerentanan mereka terhadap eksploitasi.
Selain pemindahan fisik, identitas budaya masyarakat adat terus diserang. Erosi tradisi, bahasa, dan sistem pengetahuan merupakan konsekuensi dari asimilasi paksa dan pemaksaan nilai-nilai eksternal. Sistem pendidikan sering mengabaikan sejarah dan perspektif pribumi, mengabadikan siklus penghapusan budaya yang mengasingkan kaum muda dari warisan mereka dan melanggengkan rasa rendah diri.
Kesenjangan ekonomi memperkuat keterasingan yang dialami masyarakat adat. Akses yang terbatas ke pendidikan dan perawatan kesehatan yang berkualitas, bersama dengan praktik ketenagakerjaan yang diskriminatif, membatasi mereka di pinggiran masyarakat. Pencabutan hak ekonomi ini tidak hanya memperlebar kesenjangan antara penduduk pribumi dan non-pribumi, tetapi juga mengintensifkan lingkaran kemiskinan yang melanda komunitas-komunitas tersebut.
Terlepas dari komitmen internasional terhadap hak masyarakat adat, seperti Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat, catatan Indonesia tetap bermasalah. Industri ekstraktif terus mengeksploitasi tanah adat, seringkali dengan dukungan diam-diam atau eksplisit dari pemerintah. Penderitaan masyarakat seperti Dayak di Kalimantan dan Papua di Papua Barat menunjukkan perjuangan berkelanjutan melawan perampasan dan marginalisasi.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Masyarakat sipil dan aktivis pribumi telah berjuang dengan gagah berani untuk meningkatkan kesadaran dan menuntut keadilan, tetapi upaya mereka menemui perlawanan dan represi. Kriminalisasi para pembela tanah dan pembungkaman perbedaan pendapat merusak prinsip-prinsip demokrasi yang dijunjung tinggi oleh Indonesia. Terbatasnya liputan media terhadap isu-isu ini semakin menghambat pemahaman dan empati publik, memungkinkan keterasingan masyarakat adat terus berlangsung dalam bayang-bayang.
Mengatasi keterasingan masyarakat adat di Indonesia membutuhkan pendekatan multi-aspek. Reformasi hukum harus diberlakukan untuk memperkuat jaminan penguasaan lahan, memastikan konsultasi yang bermakna, dan memprioritaskan hak-hak masyarakat adat di atas kepentingan ekonomi. Pendidikan harus inklusif secara budaya, memupuk kebanggaan akan warisan adat sambil membekali masyarakat dengan keterampilan untuk kehidupan modern. Inisiatif pemberdayaan ekonomi harus dirancang bekerja sama dengan komunitas-komunitas ini, bukan dipaksakan kepada mereka.
Selain itu, meningkatkan kesadaran di tingkat nasional dan internasional adalah yang terpenting. Platform dialog yang menyertakan suara masyarakat adat harus dibuat, memfasilitasi percakapan terbuka tentang tantangan yang mereka hadapi. Gerakan akar rumput dan tekanan internasional dapat memaksa pemerintah untuk mengambil langkah nyata untuk mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat.
Kesimpulannya, keterasingan masyarakat adat di Indonesia menjadi pengingat nyata akan perjalanan bangsa yang belum selesai menuju inklusivitas dan keadilan. Keretakan tatanan sosial yang disebabkan oleh marjinalisasi mereka melemahkan identitas kolektif Indonesia. Hanya melalui upaya bersama, empati, dan tindakan tegas, bangsa dapat memperbaiki ketidakadilan sejarah ini dan membuka jalan menuju masa depan yang lebih adil dan harmonis. ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*)Penulis: Dr. Adi Sudrajat M.Pd.I, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |
Konten promosi pada widget ini bukan konten yang diproduksi oleh redaksi TIMES Indonesia. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.