Kopi TIMES

Permasalahan Mental saat Pemilu

Rabu, 06 September 2023 - 08:55 | 54.09k
Ali Makhrus, S.Pd.I., M.A (Koordinator Divisi Kajian Strategis, Kepemiluan dan Demokrasi Poros Sahabat Nusantara (POSNU) Kab Madiun)
Ali Makhrus, S.Pd.I., M.A (Koordinator Divisi Kajian Strategis, Kepemiluan dan Demokrasi Poros Sahabat Nusantara (POSNU) Kab Madiun)

TIMESINDONESIA, MADIUN – Uang politik dan politik uang adalah hal jamak diketahui di setiap momentum pemilihan, baik di level desa sampai nasional. Terkhusus untuk pemilu, kedua isu tersebut ramai diperbincangkan, tidak hanya oleh politisi, akademisi, pengamatan, dan bahkan penyelenggara Pemilu itu sendiri. Bahkan di kalangan masyarakat sipil, ada adagium Jer Basuki Mowo Bea atau kemuliaan memerlukan biaya.

Menurut KBBI, biaya adalah uang, ongkos, belanja, pengeluaran. Sementara politik adalah pengetahuan tentang ketatanegaraan atau kenegaraan. Jika digabungkan, biaya politik adalah hal-hal yang harus dikeluarkan untuk pengelolaan negara atau pengaturan negara. 

Advertisement

Secara sederhana uang politik adalah budget yang diperlukan untuk suksesi distribusi kekuasaan, atau untuk meraih kekuasaan. Pada pengertian ini, menurut undang-undang pemilu dilegalkan.

Sementara itu, yang termasuk dalam pelanggaran atau larangan keras “politik uang”. Istilah ini dalam pengertian praktiknya adalah segala bentuk pemberian baik berupa uang atau barang untuk membeli suara pemilih. Pada konteks ini, proses memberi uang, menerima uang, lalu memberikan suara merupakan proses interaksi sosial dalam praktik politik.

Sejauh ini, praktik “politik uang” tersebut selalu dikaitkan dengan norma hukum, ekonomi dan politik. Norma hukum menyebut, sebagaimana orang bijak berkata, money politic is the mother of corruptions, politik uang adalah induk korupsi. 

Sementara norma ekonomi, suara adalah barang dagangan. Sedangkan norma politik mengatakan, politic is authority, power, tidak mengherankan lahir gerakan sosial berupa “serangan fajar”, “serangan dhuha” dan lain sebagainya.

Pada konteks di atas, penulis mencoba pemikiran Max Weber untuk menyoal interaksi sosial berupa politik uang. Apakah tindakan itu mengarah kepada tertib sosial atau justru penyimpangan sosial?. Hal ini diperlukan untuk melihat sejauh mana masyarakat melakukan berbagai tindakan yang (meaningfull), memberikan dampak bagi orang lain. 

Sebagai seorang sosiolog Max Weber, pernah mengeluarkan teori besar tentang etika atau nilai-nilai agama yang justru mendorong kapitalisme tumbuh subur di barat. Sebagaimana termaktub dalam The Protesthan Ethic and The Spirit Of Capitalism.

Sependek penulis ketahui Max Weber, hanya mengatakan empat tipe tindakan sosial; Pertama yaitu tindakan rasional instrumental, pemahaman penulis, politisi memberikan uang modus agar memperoleh suara pemilih. Semakin banyak uang yang diedarkan kepada konstituen, maka akan semakin banyak pula suara yang akan diraih. 

Ketentuan ini sebagaimana telah diatur dalam UU Pemilu No 07 Tahun 2017 tentang pengaturan dapil dan alokasi kursi. Dengan kata lain, tindakan para calon anggota legislatif tersebut dilakukan dengan sengaja. Dengan kesadaran penuh disertai perhitungan matang untuk menempuh jalan politik uang. Selain itu, mereka adalah orang-orang berintelektual.

Sementara itu, jika caleg memberikan uang atas norma agama misal sedekah, infaq, maka politisi tersebut bertipe rasional nilai. Sebab, bisa jadi politisi beralasan nilai utama dari tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah. 

Alasan religius lain Pada tipe kedua ini, para calon memiliki pertimbangan tujuan lain seperti dengan alasan sedekah, meskipun dalam makna “semu”. Secara lebih sederhana, berharap ridho tuhan, dengan level keilmuan tipe ini lebih di atas cukup.

Lebih lanjut lagi, jika para kandidat dapil mengeluarkan uang atas kasihan kepada pemilih, sebab telah mengorbankan waktu, meninggalkan pekerjaan, demi memenuhi panggilan demokrasi, maka masuk dalam kategori tipe afektif, atas nama perasaan. 

Calon tidak berharap imbalan suara, memberikan penyambung hidup karena tuna wisma seharian. Orang dengan tipe ini memiliki tenggang rasa dan kepedulian yang tinggi, meskipun dalam makna yang ambigu.

Namun apa bila yang dilakukan oleh para kandidat partai mengikuti para pendahulunya tanpa memikirkan motif atau modus tertentu, maka mereka tipikal manusia tradisional. Karena hanya ikut-ikutan dengan pendahulu mereka. 

Secara lebih sederhana kalau ingin menang dan menjadi anggota dewan atau berkuasa, maka ikutilah teladan senior. Orang tipe ini tidak didasari argumentasi yang kuat. Dia hanya peduli pada kebiasaan politis dalam menjalankan kegiatan tersebut.

Sayangnya, kalangan masyarakat bawah tidak memperdulikan motif ataupun modus dari para pelaksana politik uang, siapapun yang memberi tidak "ngefek" pada tindakan sosial mereka. Tidak heran, bila satu individu menerima lebih dari dua amplop serangan fajar. 

Masyarakat memiliki pandangan sendiri bahwa pesta demokrasi lima tahun sekali ini pesta suka ria. Maka tidak salah donk. Begitu kira-kira bahasa yang digunakan oleh wong cilik.

Deskripsi tindakan sosial caleg dan calon-calon pemegang kekuasaan tersebut di atas sangatlah memiliki makna berdasarkan pengalaman, tujuan, persepsi yang dimiliki atau dipahami oleh pelaku sosial atas obyek stimulus atau situasi tertentu. 

Pada pemahaman ini, Talcot Parson mengkritik gagasan Weber dengan menyebut, jika tindakan sosial peserta atau pemilu sebagaimana deskripsi di atas, tidak saja sebagai reaksi atau respon situasi secara mekanik, melainkan perilaku politik uang terjadi karena budaya, struktur dan sistem politik yang ada. 

Hal ini karena Parson meyakini bila individu berperilaku karena norma dan nilai-nilai sosial yang mengarahkan berperilaku sedemikian rupa. 

***

*) Oleh: Ali Makhrus, S.Pd.I., M.A (Koordinator Divisi Kajian Strategis, Kepemiluan dan Demokrasi Poros Sahabat Nusantara (POSNU) Kab Madiun).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainor Rahman
Publisher : Rochmat Shobirin

Konten promosi pada widget ini bukan konten yang diproduksi oleh redaksi TIMES Indonesia. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES