Kopi TIMES

Wahai Guru: Mari Kita Belajar Memanfaatkan Waktu

Rabu, 04 Oktober 2023 - 13:34 | 80.39k
Desi Fitria Wulandari, Guru SMPN 2 Cibalong.
Desi Fitria Wulandari, Guru SMPN 2 Cibalong.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dulu saat masih belajar di SMA saya pernah iri pada salah satu teman. Beliau ketua OSIS di sekolah yang punya julukan “school never dies” banyaknya kegiatan siswa di sekolah tersebut, beliau masih bisa dapat ranking bagus.  

Sebelum jadi ketua OSIS, beliau pula telah meraih juara kelas. Sedangkan saya yang bahkan tidak ikut apapun, mungkin berada di jajaran terakhir di kelas. Saya tidak pernah mendapatkan rangking saat sekolah SMA. 

Advertisement

Kuncinya memang ada di pengaturan waktu. Soal waktu ini yang membuat banyak mata menyorot sekolah. Pernah ada kejadian sekolah merasa “diteror wartawan” karena daftar hadir guru yang tidak tersedia. Saat wartawan datang ke sekolah dan menanyakannya daftar hadir itu, hanya sebuah dokumen. 

Ia tidak ada. Karena memang sejak awal dokumen itu tidak ada. Atau tidak ada saat dibutuhkan disebabkan dokumen itu hilang. Ini mungkin saja. Jika ada 30 guru di sebuah sekolah, ada 30 guru yang bergiliran menandatangani daftar hadir itu.

Bisa berpindah pindah  meja, bahkan saat beberapa guru honorer membutuhkan berkas sertifikasi. Bisa saja dokumen itu tertinggal di fotokopian. Maksud saya, guru honorer bisa mengajar di beberapa sekolah untuk memenuhi jam sertifikasi. Jadi kadang beliau lebih repot saat pemberkasan.

Masalah pemanfaatan waktu itu, bukan hanya sekedar sebuah dokumen daftar hadir. Saya menganggap Rasul saya orang yang luar biasa, terutama karena beliau sangat pandai memanfaatkan waktu. Akhlak beliau adalah Al-Qur’an, terutama Al Mu’minun ayat 1-11, begitu kata Aisyah, istri beliau. 

Di ayat 3 nya, terkait pemanfaatan waktu. Beliau tidak pernah melakukan kegiatan yang tidak penting. Beliau selalu efektif dan efisien dalam hal waktu. Sangat disayangkan di sekolah-sekolah saat ini terjadi hal sebaliknya. 

Sekolah tempat pembentukan karakter mulia, justru menjadi tempat dimana pemanfaatan waktu itu tidak dilakukan. Mari kita bicara tentang waktu libur sekolah atau masa masa dimana kegiatan belajar mengajar (KBM) tidak terjadi di sekolah. Libur sekolah atau KBM tidak ada, bisa terjadi karena beberapa hal.

Pertama, hari libur sekolah yang benar-benar libur. Akhir semester, akhir tahun pelajaran, awal Ramadhan, dan masa sekitar Idul Fitri. Itu memang benar-benar waktu libur. Meski pada beberapa waktu kadang dikatakan, hanya muridnya yang libur guru diberikan beberapa waktu liburan. Kemudian sisanya guru harus ke sekolah. Ini liburan wajib bagi siswa.

Kedua, hari libur nasional dan  hari perayaan umat beragama. Dimana liburnya akan mencakup semua orang di lembaga atau instansi. Ini terlihat dengan tanggal merah di kalender. Hari Minggu? Jangan ditanya lagi. Ini juga liburan wajib bagi siswa.

Bisa juga KBM tidak efektif karena sekolah sedang musim ujian. Ada ujian akhir semester dan ujian akhir tahun, ujian sekolah dan assessment nasional. Untuk asesmen nasional (AN) sebaiknya tidak libur juga kan? Toh yang AN tidak semua siswa. Hanya siswa representasi yang dipilih oleh pusat.

Ketiga, hari-hari tidak efektif setelah ulangan akhir dan sebelum pembagian rapot. Seharusnya ini tidak menjadi libur sekolah. Seharusnya sekolah punya agenda untuk kegiatan pengembangan diri, ekstrakurikuler, remedial, pengayaan dan sebagainya. Ini menjadi liburan mubah  bagi siswa.

Ke-empat, hari-hari KBM tidak efektif karena ada peringatan hari raya tertentu. Hari besar nasional atau hari besar umat beragama. Setelah libur wajib yang kalendernya merah, biasanya di sekolah diadakan kegiatan untuk memperingatinya. Kegiatannya beraneka ragam, bisa lomba, apapun lah. 

Terkadang lomba atau kegiatan ini bisa berhari-hari. Di alokasikan untuk satu hari. Tetapi waktu pelaksanaannya hanya sekitar satu atau dua jam. Sebelum Agustusan misalnya. Ada sekolah yang mendapat tugas menjadi paduan suara atau pengibar bendera. Ini bisa belasan sampai puluhan orang. 

Mereka latihan kadang memakan waktu hampir satu bulan. Setiap hari, satu sampai dua jam. Masalahnya adalah, kenapa harus dilakukan di jam pelajaran? Kalau memang saat harus gladi bersih di lapangan, baiklah, siswa diminta kesana. Setelah selesai, bisa kan diminta kembali ke sekolah? Jika masih bisa dilakukan di sekolah, bisa kan meminta mereka yang bersedia agar latihan dilakukan di luar jam pelajaran?

Jika ada peringatan yang dialokasikan untuk satu hari, bisakah dirancang acara agar kegiatannya efektif seharian? Atau misal hanya untuk satu atau dua jam. Bisa kan dilakukan hanya dengan mengambil jam pelajaran satu atau dua jam saja saat itu. Bukannya seharian tidak ada KBM?

Kelima, KBM tidak ada karena ada kegiatan rutin yang waktunya tidak bisa dipastikan di kalender pendidikan. Rapat orang tua misalnya. Dengan alasan kursi dipakai, mungkin KBM memang tidak bisa berjalan efektif. 

Meski mungkin saja, dilakukan sebuah kegiatan yang tidak memerlukan kursi. Kelas luar, perpustakaan, lapangan, kerja praktik, laboratorium, atau duduk lesehan di kelas. Kenapa tidak? Toh para guru, biasanya juga tidak ikut rapat orang tua atau komite.

Ke-enam, KBM tidak ada karena ada kegiatan insidental. Misal kejadian seperti; pembinaan dari Kepolisian, Dinas Kesehatan, yang dialokasikan satu hari. Ternyata dalam pelaksanaannya hanya berlangsung 40 menit. Setelah beres, bangku-bangku dikembalikan ke kelas. Apakah para guru kembali mengajar ke kelas? 

Itu karena kepala kita sudah diberikan informasi akan libur seharian. Ketika tidak jadi libur, maka otak kita akan berat sekali mengubahnya. Itu manusiawi. Tetapi sebenarnya, KBM itu bisa terjadi dalam banyak bentuk. Saat kita capai atau cukup sakit untuk berdiri di kelas, kita bisa membawa siswa ke perpustakaan. 

Kita duduk bersama mereka disana. Kita bisa meminta mereka mencari buku-buku pengayaan sesuai mata pelajaran yang kita ampu. KBM berjalan dan mungkin literasi siswa akan bertambah.

Ketujuh, KBM terganggu karena kegiatan rutin terkait administrasi guru. Coba dihitung. Berapa kali dalam setahun terjadi rapat sekolah, pembinaan dari pengawas? Pembinaan pengawas paling satu atau dua jam dan tidak sering juga. Tapi rapat guru? Bisa kan, semua hal direncanakan di awal tahun. Sehingga jika kelak terjadi perubahan cukup diinformasikan via WA grup? 

Kedelapan, KBM beberapa orang terganggu karena ada kegiatan organisasi di sekolah. Pengumpulan uang kencleng oleh pengurus OSIS membuat mereka harus berkeliling kelas, mengumpulkan, menghitung nanti setor ke bendahara OSIS memakan waktu 1-2 jam pelajaran. 

Ini dilakukan seminggu sekali. Di setiap kelas ada pengurus OSIS. Biasakan pengurus OSIS di kelas tersebut yang mengumpulkan kencleng dan langsung dikumpul di seseorang atau dititip dulu di kantor? 5-10 menit juga bisa. 

Banyak juga rapat-rapat OSIS yang dilakukan di dalam jam pelajaran. Bisa kan kalau sebelum mereka jadi calon pengurus, ditanya kesediaan mereka meluangkan waktu di luar jam pelajaran?

Saya pernah punya pengalaman. Saya memiliki seorang siswa yang sangat luar biasa menurut saya. Beliau ketua OSIS, mengikuti segala kegiatan atau organisasi sekolah, sangat pandai dalam segala hal sehingga sering menjadi perwakilan lomba atas nama sekolah. 

Suatu waktu bertemu kembali saat di kuliah. Beliau mengatakan: “Bu, saya mengambil jurusan bahasa, karena kalau IPA-mah saya merasa tidak berbakat.” Saya mengampu IPA. Saya ingat beliau sangat luar biasa. Sangat-sangat berbakat dalam IPA. Namun beliau berkata demikian. 

Saya ingat mungkin karena saya tidak memberikan nilai maksimal kepadanya. Bagaimana bisa? Karena saat pelajaran saya, beliau sangat jarang hadir, karena kesibukannya. Tugas-tugas tidak masuk, karena saya memberikan tugas untuk dikerjakan di kelas, bukan untuk dibawa ke rumah. 

Kesembilan. KBM tidak efektif karena adanya siswa yang didukung atau dibiarkan guru. Setiap hari ada shalat dhuhur berjamaah di sekolah. Budaya sekolah ini sangat bagus. Namun ini menjadi peluang beberapa orang untuk terlambat ke kelas, dengan alasan mau shalat dulu. Saya melarang shalat? Nauzubillah. Menurut saya, mereka bisa melakukannya seperti saya. 

Istirahat dzuhur itu setengah jam. Saya masih bisa makan siang. Kemudian shalat dzuhur berjamaah dengan siswa pada kloter pertama. Masih bisa juga bersantai-santai sejenak saat waktu istirahat tersebut. Mirisnya adalah, shalat berjamaah dhuhur kloter pertama itu masih kosong. Sekitar tiga saf siswa atau guru agar musholla itu penuh. 

Jika seseorang memang berniat untuk shalat, mereka bisa shalat di kloter yang pertama. Mereka yang mengambil waktu setelah kloter pertama, bukan berniat shalat tetapi lebih ke berniat memperlambat waktu untuk masuk kembali setelah istirahat siang. Ini terjadi pada murid juga terjadi pada guru. 

Bahkan saya mempunyai pengalaman yang sangat membuat trauma. Saya tidak ingat berapa tahun saya di sekolah mengalami hal seperti ini. Tapi ini minimal satu tahun ajaran, di kelas tiga SMP. Sekolah saya waktu itu, hanya berlangsung dari jam delapan sampai jam sepuluh. Kenapa? Karena banyaknya guru yang tidak hadir. 

Jika ada guru yang tidak hadir. Maka ada istilah "digeser". Dimajukan waktunya. Dimajukan itu, belum tentu gurunya ke kelas, mungkin hanya memberikan tugas menulis saja. Buku-buku sekolah tahun 97-an masih jarang. Kami kekurangan bahan ajar. 

Traumanya adalah setelah masuk ke sekolah cukup bagus di kabupaten saya. Saya satu orang dari kecamatan saya (nem saya tertinggi) dan saya masuk ke sekolah terfavorit se provinsi Jawa Barat bagian timur. Saya kemudian sama sekali tidak bisa beradaptasi di SMA. 

Hal itu mungkin tidak hanya faktor sekolah SMP. Bisa juga karena memang kebodohan pribadi. Tetapi sebagai guru saya tidak ingin murid-murid mengalami seperti yang saya alami. Selain itu, gaji yang saya terima kurang ditunaikan. Itu akan mengurangi keberkahan hidup saya.

Kebanyakan orang mungkin berkata: “ya, lakukanlah sendiri. Mulai dari diri sendiri, jangan bergantung pada orang lain.” Pertanyaannya, “bisa kah saya masuk kelas sendirian? Bisakah saya dan murid-murid saya berkonsentrasi untuk tetap melakukan KBM. Sementara di luarnya siswa-siswa lain ribut, bermain atau bahkan pulang sekalian?” Saya tidak sanggup.

Wahai Guru, mari kita Kita belajar untuk terus belajar. Seburuk itukah sistem pendidikan di Indonesia saat ini?

Beberapa hari lalu, saya menonton sebuah video. Saya menonton sekilas, karena kontennya memang membosankan, dalam arti saya sudah sangat hafal dengan ulasan Pendidikan Indonesia, yang ada di video itu. Intinya adalah degradasi moral  pelajar semakin merosot, disebabkan gurunya yang terlalu sibuk mengurusi masalah administrasi. 

Video tersebut tidak menyalahkan guru. Guru dipaksa oleh sebuah sistem yang mengharuskannya demikian. Video itu menyalahkan sistem. Jika sekarang semakin merosot, berarti dulu lebih baik. 

Sebagai seorang guru, saya selalu beranggapan; Guru lah yang salah, murid tidak pernah salah dengan sendirinya. Jika ada kesalahan pada murid, berarti guru lah yang bertanggungjawab. Akan menerima bahwa degradasi moral pelajar itu, adalah kesalahan guru. 

Tetapi video itu tidak menyalahkan guru, melainkan sistem. Benarkah sistem yang semakin salah?

Saya ingin mengurai beberapa hal yang menurut saya menunjukkan perbedaan sistem antara sekolah dulu dan sekarang.

Satu, masalah PR. Saya ingat dulu waktu masih sekolah saya pernah menangis saat mengerjakan PR. Sering menangis.

Sebagai anak tunggal dengan ibu seorang guru, namun tidak punya waktu mengajari anaknya di rumah. Saya bertanggung jawab sendiri terhadap PR-PR saya. Tentu saja, saya anak baik, karena itulah saya memasukan ke dalam hati, ketidak mampuan saya mengerjakan PR itu.

Kini, dikatakan: guru dianjurkan tidak memberikan PR kepada anak. Mengingat kejadian-kejadian saya waktu sekolah, saya sangat setuju dengan anjuran itu. PR menambah beban guru untuk memeriksa PR dan menambah beban anak untuk mengerjakannya. Saya merasa, saat di rumah, biarlah anak menikmati masa-masa selain kesulitan dalam belajar. 

Mereka harus bermain, menonton televisi, pergi mengaji, membantu ibu di rumah dan lain-lain. Belum lagi guru akan kena mental, kalau sekiranya diantara murid ada yang tidak mengerjakan PR, akan jadi apa anak ini? Jika banyak yang tidak mengerjakan PR itu, tambah lagi perasaan guru. 

Apakah saya tidak cukup baik sebagai guru. Sehingga banyak murid saya yang tidak mengerjakan PR yang saya berikan? Jadi saya sangat setuju, jika guru dianjurkan tidak memberikan PR kepada anak.

Masalah RPP bagian dari administrasi guru. Saya ingat saat pengawas kami datang ke sekolah, bertanya: mana RPP anda? Saya jawab: ada di laptop. Itu benar. Saya membawa laptop setiap hari ke sekolah. Tidak mungkin saya tidak merencanakan pembelajaran yang akan saya lakukan. Kadang saya membuat perencanaan untuk waktu seminggu.

Setidaknya setiap hari, saya akan mencatat hari ini sampai sini, besok saya akan ini dan ini. Atau hari kemarin saya sudah itu, hari ini saya akan itu dan itu. 

Kalau yang dimaksud membuat RPP itu adalah punya dokumen RPP yang diprint satu tahun, yang kadang hampir menghabiskan kertas satu rim, tentu saya tidak melakukan itu. 

Di katakan, guru harus punya/membuat RPP, bukannya guru harus punya dokumen RPP yang diprint, lengkap dengan segala lampirannya. Saya merasa sangat terbebani jika ada pengawas atau kepala sekolah yang sok ideal seperti itu.

Kini, dikatakan: guru membuat RPP satu lembar. Bagus bukan? Beban saya terangkat.

Tiga, masalah ujian. Saya anak baik. Tepatnya lagi, saya anak tidak populer di kelas apalagi di sekolah. Jika ada PR, ada ujian, sangat sulit bagi saya untuk bisa mencontek kepada teman. Tetapi karena ada batas minimal nilai ujian nasional, saat UN SMA tahun 2000, terpaksa nyontek kimia ke rekan saya yang duduk di belakang saya. 

Daripada tidak lulus, iyakan? Kegugupan karena takut tidak lulus itu, telah mengubah kepribadian saya. Kini, dikatakan tidak ada UN, hanya ada AN (assessment nasional). Mungkin jika sejak dulu tidak ada UN, saya akan lebih belajar untuk berintegritas.

Empat, masalah konten. UN dan AN itu berbeda. UN terdiri dari mata pelajaran tertentu, ada 4, 5 atau 6. Di AN yang ada adalah literasi dan numerasi (non bidang studi) dan survey lingkungan sekolah.

Perbedaannya jelas, jika dulu untuk UN tentu saya harus belajar, sama dengan menghafal, konten bidang studi yang akan di UN-kan, kini karena tidak terkait bidang studi, saya tidak perlu belajar apapun.

Masalahnya adalah dulu pernah ada kejadian seorang guru geografi saya, sangat rajin. Beliau membuat rangkuman materi yang akan di uji. Asal bisa hafal rangkuman itu, nilai akan bagus. Benar. Seluruh siswa di kelas saya nilainya 100. Kecuali saya, cuma 80. Saya memang rangking terakhir di kelas (mungkin). Tetapi saya juga pernah menjadi siswa satu-satunya yang dapat nilai ulangan fisika 100 sementara teman-teman lain di kelas saya, ya begitu-begitu nilainya.

Namanya juga fisika. Problemnya di mana? Saya tidak bisa menghafal, apalagi mengingat begitu banyak fakta, data, istilah di bidang geografi yang saya kurang menyukainya. Ulangan fisika itu, saya hanya perlu mengingat phytagoras, yang nanti bisa diaplikasikan di kasus interferensi cahaya. Siapa yang tidak hafal phytagoras? 

Jadi jika sekarang ada AN yang tidak mengharuskan siswa belajar materi tertentu, saya sangat setuju. Saya pasti akan merasa sangat senang, jika dulu saya sebagai siswa tidak perlu menghafal apapun.

Lima, ujian masuk universitas. Dulu, UMPTN jurusan IPA dan IPS, dengan mata pelajaran tertentu sesuai jurusan. Kini, tes potensi akademik (mirip psikotes), TKD (kompetensi dasar seperti bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, penalaran), dan lain-lain. Menyesuaikan dengan AN lah (tidak ada tes khusus bidang studi jurusan tertentu) yang lebih dulu diaplikasikan di sekolah, sementara UTBK model begini, baru tahun ini. 

Anda tahu keberuntungan saya? Anak saya baru masuk kuliah tahun ini. Sebelum UTBK model ini diaplikasikan, saya sudah pesimis dengan putra saya yang sangat tidak rajin dalam belajar. Ia bukan tipe akademisi, meski saya yakin, potensi akademik atau penalaran matematikanya jauh di atas saya. Pas putra saya mau kuliah, pas sistemnya diganti.

Keberuntungan berpihak kepada saya. Dengan bantuan portofolio, nilai UTBK pas-pasan, putra saya lulus di PTN.

Enam, mau jadi kepala sekolah atau pengawas harus lulus PPGP (Program Pendidikan Guru Penggerak). Saya tahu, katanya ada pihak yang sedang mengupayakan pengajuan ke Mahkamah Konstitusi, terkait hal ini. Saya menghormatinya. Apalagi mereka-mereka ini, saya pikir, para senior yang mungkin tidak mendapatkan kesempatan mengikuti PPGP. 

Tapi tahukah anda perasaan saya? Saya akan berusia 41 pada akhir tahun ini. Bukan tenaga gres, hanya mungkin belum termasuk senior seperti mereka yang akan menyetujui ajuan PPGP ke MK. Dan saya pastinya sudah lulus PPGP.

Masa kerja saya sudah 17 tahun, namun belum pernah punya jabatan di sekolah. Baru pernah jadi PKS kurikulum selama setengah tahun, itupun karena tidak ada orang yang mau melaksanakannya, karena di sekolah sedang ada konflik. Kemudian saya pindah instansi. Baru setengah tahun itu.

Saya tidak ingin jabatan, saya hanya ingin belajar sesuatu. Di sekolah, kita hanya dapat belajar, jika kita memegang jabatan tersebut. Pertama, tupoksinya memang sudah dibagi-bagi. Kedua, karena transparansi adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Jangankan ke orang luar, ke orang di sekolah-pun demikian. Hanya mereka yang ada di lingkaran PKS (pembantu kepala sekolah, kepala sekolah dan bendahara) yang akan saling berdiskusi terkait berbagai kebijakan sekolah.

Apalagi seolah-olah jabatan-jabatan tersebut berlaku seumur hidup. Sangat sedikit sekolah yang bisa melakukan regulasi penggiliran terkait masa jabatan ini. Saya mungkin tidak cukup kompeten sehingga tidak pernah diberikan kepercayaan. Atau saya tidak cukup punya kompetensi sosial dan leadership yang akan membuat saya diberikan amanah tersebut. 

Mungkin saya terlalu idealis dan sangat ambisius sehingga saya juga tidak pernah dipilih untuk jabatan tersebut. Menurut saya, guru itu harus belajar. Bagaimana mungkin seorang guru yang tidak mau belajar, dapat menyuruh atau memberi contoh murid-muridnya untuk belajar? Keingintahuan adalah hal yang dimiliki semua makhluk hidup. Apalagi manusia. 

Saya merasa tidak berdosa jika saya ingin belajar segala hal terkait tupoksi saya sebagai guru selain dari kegiatan pembelajaran terhadap murid. Tahukah Anda para senior, jikalau misalkan anda cukup berbesar hati membimbing dan memberi kesempatan kepada kami generasi menengah ini untuk mengembangkan diri.

Saya merasa tidak perlu jadi antagonis hanya untuk bertanya, alokasi BOS untuk kegiatan ini bagaimana? Atau mengapa  dalam kurun waktu 7 tahun, saya tidak pernah diajak kegiatan kepanitian tertentu di sekolah? Saya tidak bermaksud balas dendam. Tapi PPGP ini selain dari konsep pendidikannya yang memadukan teori dan praktek yang menurut saya sangat bagus, juga karena PPGP ini sampai saat ini, sangat fair. 

Tidak ada senior, tidak ada junior. Asesor di Jakarta yang menilai essay, mewawancarai atau menguji praktek mengajar para CGP tidak berasal dari lingkungan CGP. Saya tidak perlu bergantung kepada rekan-rekan saya hanya untuk meminta kesempatan belajar di PPGP ini.

Saya hanya menyampaikan yang bagus-bagusnya saja mengenai sistem saat ini, dan anda pasti banyak yang tidak setuju dengan saya. Tapi intinya yang ingin saya sampaikan. Perubahan itu keniscayaan. Mari kita para guru belajar untuk terus belajar.

***

*) Oleh: Desi Fitria Wulandari, Guru SMPN 2 Cibalong.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES