Kopi TIMES

Pendidikan Tanpa Kekerasan

Senin, 09 Oktober 2023 - 18:33 | 73.79k
Ikrima Maulida, Aktivis pendidikan dan perempuan asal Bali.
Ikrima Maulida, Aktivis pendidikan dan perempuan asal Bali.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, BALI – Pendidikan di Indonesia sedang menghadapi banyak tantangan. Salah satunya mengenai kekerasan seksual yang kerap terjadi di sekolah. Padahal sekolah seharusnya menjadi ruang aman dan nyaman untuk siswa belajar dan bersosialisasi. Tetapi ternyata banyak kasus mengenai kekerasan seksual terjadi di sekolah.

Berdasarkan data hasil survei Asesmen Nasional tahun 2022 sebanyak 34,51 persen peserta didik (1 dari 3) berpotensi mengalami kekerasan seksual. Lalu 26,9 persen peserta didik (1 dari 4) berpotensi mengalami hukuman fisik, dan 36,31 persen (1 dari 3) berpotensi mengalami perundungan. 

Advertisement

Selain itu, data aduan yang diterima oleh KPAI pada perlindungan khusus anak tahun 2022 juga menyebutkan kategori tertinggi anak korban kejahatan seksual yakni anak korban kekerasan fisik dan atau psikis serta anak korban pornografi dan kejahatan siber sebanyak 2.133. Data tersebut menunjukkan bahwa dunia pendidikan kita sedang dalam situasi darurat kekerasan. 

Pemimpin dunia lainnya pun juga menyorot mengenai kekerasan sebagai isu prioritas yang harus segera diatasi. Perdamaian masuk dalam target 16 tujuan Pembangunan berkelanjutan yaitu perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh. 

Untuk itu, beberapa tahun terakhir pemerintah dalam hal ini Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melibatkan berbagai pihak untuk merancang sebuah regulasi yang dapat mencegah dan menangani kekerasan di satuan pendidikan.

Permendikbud Ristek Nomor 46 tahun 2023 lahir dan sah sebagai payung hukum untuk seluruh warga sekolah atau satuan pendidikan. Peraturan ini lahir tentu sebagai upaya tegas menangani dan mencegah terjadinya kekerasan seksual, perundungan, serta diskriminasi dan intoleransi. 

Selain itu juga, sebagai upaya yang membantu satuan pendidikan untuk mencakup kekerasan dalam bentuk apapun dengan perspektif pada korban.
Permendikbud Ristek ini mengatur beberapa kekerasan, diantaranya; kekerasan fisik, kekerasan psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi dan intoleransi, kebijakan yang mengandung kekerasan dan bentuk kekerasan lainnya. 

Bentuk kekerasan tersebut dapat dilakukan secara fisik, verbal, nonverbal, dan atau melalui media teknologi informasi dan komunikasi. Kekerasan merupakan bukan cara yang tepat untuk mendidik mental peserta didik. 

Menggunakan unsur kekerasan dalam proses pendidikan tidak hanya melatih anak untuk terbiasa dan memaklumkan kekerasan. Tetapi juga menumpuk trauma yang akan berdampak secara psikologis dan justru bisa menghambat kemampuan anak dalam mengembangkan dirinya. 

Upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan merupakan tanggung jawab bersama. Jika terjadi kasus kekerasan di sekolah, Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) yang akan betugas untuk menangani kasus tentu berpedoman pada kebijakan Kementrian terkait pencegahan dan penanganan kasus kekerasan di lingkungan pendidikan. 

Jika kasus kekerasan tersebut tidak dapat ditangani oleh TPPK, maka nantinya akan diteruskan ke Satuan Tugas untuk selanjutkan ke Dinas Pendidikan bekerja sama dengan Dinas PPPA agar dapat menangani kasus tersebut secara optimal. 

Menteri Nadiem juga menjelaskan bahwa Permendikbud Ristek PPKSP menjadi bagian penting dalam memenuhi amanat Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang bertujuan untuk melindungi anak. Peraturan ini juga tegas menyebutkan bahwa tidak boleh ada kebijakan yang berpotensi menimbulkan kekerasan baik dalam bentuk surat keputusan, surat edaran, nota dinas, imbauan, instruksi, pedoman, dan lain-lain. 

Perlu adanya monitoring dan evaluasi di setiap sekolah untuk melihat sejauh mana implementasi pencegahan dan penanganan di lingkungan satuan pendidikan. Untuk hal ini tentu perlu adanya kerjasama dari masyarakat sipil baik secara perseorangan seperti orang tua atau organisasi.

Sehingga dapat memberikan dorongan kepada satuan pendidikan untuk memperbaiki dan meningkatkan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan. Terutama memastikan TPPK dan Satgas sudah terbentuk.

Selain itu, perlu adanya program yang berfokus pencegahan dan penanganan di satuan pendidikan dengan bekerja sama dengan perwakilan organisasi masyarakat sipil atau bidang profesi yang berkaitan dengan anak. Program tersebut bisa dalam bentuk kampanye, pelatihan, sosialisasi, pendampingan, dan pemulihan. 

Sudah saatnya dunia pendidikan Indonesia menjadi ruang aman bagi peserta didik dalam menjalankan aktivitas di sekolah. Seperti yang kita ketahui bersama sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan mendapatkan jaminan pendidikan.

Semoga dengan adanya peraturan ini dapat melindungi peserta didik untuk mendapatkan pendidikan yang aman, nyaman, dan menyenangkan. Bagi pendidik dan tenaga pendidikan, peraturan ini memberikan perlindungan dalam bekerja. 

Mari terus bersama-sama dalam memberi perhatian yang optimal mengenai berbagai kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan di seluruh Indonesia.

***

*) Oleh : Ikrima Maulida, Aktivis pendidikan dan perempuan asal Bali.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES