Kita Sibuk Mencari Semut tanpa Menyadari Gajah Didepan Kita

TIMESINDONESIA, JEMBER – Kata krisis belakangan ini banyak ditemukan. Entah itu di headline media massa atau postingan influencer di dunia maya. Krisisnya pun bermacam-macam. Krisis kemanusiaan, krisis air bersih, krisis moralitas, krisis kepemimpinan dan krisis-krisis lain yang (Sekali lagi) mudah kita temukan belakangan ini.
Banyak headline media massa, cetak maupun digital menyoroti berbagai krisis yang tengah terjadi. Baik krisis itu berupa isu lokal, nasional bahkan internasional. Sebut saja krisis air bersih di puncak musim kemarau, krisis moralitas dan pendidikan akibat banyak bullying di sekolah, krisis kemanusiaan akibat peperangan Rusia Ukraina dan Palestina Israel.
Advertisement
Di tengah banyaknya krisis itu, jiwa kemanusiaan kita terpanggil, kita saling bersatu, Mengutuk bersama-sama pihak yang kita anggap salah dan bersama-sama mengulurkan bantuan kepada korban krisis yang tengah terjadi.
Tetapi, apakah kita benar-benar memahami apa makna sebenarnya dari krisis? Atau, jangan-jangan kita hanya ikut-ikut saja tanpa paham mana realita mana persepsi?
Memahami Kata Krisis
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memaknai kata krisis; Pertama, keadaan yang berbahaya. Kedua, keadaan yang genting, kemelut. Ketiga, keadaan suram tentang ekonomi, moral, dan sebagainya.
Dari uraian di atas, kata krisis dimaknai sebagai sebuah kondisi genting atau berbahaya yang dapat menciptakan dampak parah serta menggambarkan suatu hal yang sedang dalam keadaan suram.
Mata krisis ini secara psikologis penuh dengan aura pesimisme dan ketakutan. Lalu, dengan banyaknya kata krisis yang bermunculan dan digoreng luar biasa oleh media, apa hasilnya? Ketakutan, kepanikan dan pesimisme berlebihan di tengah masyarakat.
Lupa kah kita tentang Pandemi Covid 19 yang cukup seram? Berapa banyak korban jiwa dan besarnya pesimisme di tengah masyarakat? Pemberitaan beraura negatif memenuhi kanal media massa membuat pesimisme di tengah masyarakat selayaknya bom waktu. Membuat pandemi Covid 19 sebagai sebuah episode kelam umat manusia.
Semuanya telah selesai, semuanya telah kembali. Berkat apa? Berkat optimisme yang dibangun dan mendorong kita semua untuk melawan dan bangkit dari rasa pesimisme dan ketakutan selama pandemi berlangsung.
Kendati pandemi telah berlalu dan optimisme masyarakat kian naik setelah masa-masa sulit itu. Namun, kenyataannya kita dihadapkan dengan tantangan lain. Tantangan bernama krisis diberbagai sektor kehidupan dan sosial masyarakat.
Lalu, Haruskah kita pesimis kembali selayaknya masa awal pandemi? Mengulang kembali sejarah kelam itu? Tidak kawan. Kita harus bangkit dan memaknai kembali kata krisis yang banyak terjadi di sekitar kita.
Memaknai Ulang Krisis
Perlu diketahui dan diingat kembali, kata krisis tidak hanya bermakna keadaan genting dan suram. Kata krisis yang berasal dari Bahasa Yunani, krisis memiliki makna lain yang berarti turning point atau titik balik.
Sederhananya, seperti orang sakit dan memasuki masa kritis, jika ia bisa bertahan maka ia akan sembuh. Sebaliknya, jika pasien itu tidak bisa melewati masa kritis maka kemungkinan besar dia akan meninggal (kecuali ada keajaiban).
Kata krisis yang banyak kita temui belakangan ini seyogyanya perlu kita tanggapi sebagai titik balik untuk menjadi lebih baik. Bukan pasrah dan menyerah sembari memupuk pesimisme. Kita harus melawan dan memberikan respon positif untuk memperoleh output terbaik.
Ingatlah, hasil akhir atau output tidak ditentukan oleh stimulus atau realita yang ada. Namun, hasil akhir ditentukan oleh respon yang kita berikan atas segala stimulus tersebut.
Krisis ada untuk membuat kita lebih kuat dan tangguh. Krisis artinya ada sesuatu yang tidak benar dan harus diperbaiki bersama-sama sebagai respon kita untuk memperoleh output yang lebih baik.
Dengan memahami makna krisis dengan lebih baik, saya berharap kita bisa memberikan respon lebih baik untuk memperoleh output yang tentunya jauh lebih baik. Mari mulai memberikan respon terbaik untuk krisis-krisis yang terjadi di sekitar kita. Membuang sampah pada tempatnya, menanam pohon untuk melawan karhutla, membaca buku untuk menambah wawasan serta hal-hal kecil nan sederhana lainnya.
Mari mulai dengan langkah-langkah sederhana untuk memberikan respon terhadap krisis yang terjadi di sekitar kita. Think Globally, act locally! Bukan sibuk mencari semut tanpa menyadari ada gajah besar di depan kita.
Definisi Krisis Menurut Ahli:
Pertama, Menurut Karl Marx. Krisis dalam perspektif Marxisme adalah konflik antara kelas buruh (proletar) dan pemilik modal (kapitalis), yang dipicu oleh ketidaksetaraan ekonomi dan eksplorasi buruh. Krisis ini bisa mencakup perubahan struktural dalam masyarakat.
Kedua, Menurut Sigmund Freud. Freud melihat krisis sebagai peristiwa yang memicu perubahan psikologis individu. Dalam psikoanalisis, krisis seringkali terkait dengan ketegangan emosional yang dapat mempengaruhi perkembangan individu.
Dalam epistemologi (ilmu pengetahuan) dan aksiologi (etika atau filsafat nilai), konsep krisis memiliki makna yang berbeda. Dalam epistemologi, krisis pengetahuan merujuk pada saat-saat ketika keyakinan atau paradigma yang ada diuji, dan masyarakat atau komunitas ilmiah mencari pemahaman yang lebih baik. Contohnya adalah "krisis paradigma" dalam teori ilmu pengetahuan Thomas Kuhn.
Dalam aksiologi, krisis nilai adalah saat-saat ketika nilai-nilai etika atau moral yang mendasari masyarakat diuji atau diragukan, dan masyarakat berusaha untuk mendefinisikan kembali atau merumuskan kembali nilai-nilai tersebut. Ini bisa terjadi dalam konteks perubahan sosial atau politik yang signifikan.
Tentu, berikut adalah penjelasan secara umum tentang bagaimana epistemologi dan aksiologi menangani konsep krisis.
Pertama, Epistemologi dalam Krisis. Dalam epistemologi, krisis sering kali merujuk pada "krisis pengetahuan" atau "krisis paradigma." Ini adalah saat-saat ketika keyakinan atau paradigma yang ada dalam ilmu pengetahuan diragukan atau terbukti tidak memadai.
Contoh terkenal adalah teori Thomas Kuhn tentang perubahan paradigma dalam sains. Menurut Kuhn, ketika paradigma ilmiah yang ada tidak dapat menjelaskan sejumlah besar bukti baru, masyarakat ilmiah menghadapi krisis dan mencari paradigma yang lebih baik.
Kedua, Aksiologi dalam Krisis. Dalam aksiologi, krisis nilai sering terjadi ketika nilai-nilai etika atau moral dalam suatu masyarakat dipertanyakan atau ditantang.
Krisis nilai dapat muncul dalam konteks perubahan sosial atau politik yang signifikan. Misalnya, ketika masyarakat menghadapi konflik etis dalam masalah seperti hak asasi manusia, hak-hak LGBT, atau perang, ini dapat menghasilkan krisis nilai.
Baik dalam epistemologi maupun aksiologi, krisis menciptakan kesempatan untuk refleksi, perubahan, dan transformasi dalam cara kita memahami pengetahuan dan nilai-nilai kita. Krisis ini dapat memicu diskusi mendalam, peninjauan kembali, dan pencarian solusi yang lebih baik untuk tantangan yang dihadapi oleh masyarakat dan komunitas ilmiah.
***
*) Oleh: Agus Miftahorrahman, Mahasiswa pascasarjana UIN KHAS Jember dan kontributor TIMES Indonesia Kabupaten Situbondo.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |