Antara Politik Dinasti dan Hak Politik di Era Demokrasi

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Politik dinasti bukanlah hal baru di Indonesia. Model politik yang berbasis keluarga ini merupakan bagian dari sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia, ketika saat itu masih di sebut wilayah Nusantara. Kita pernah melewati sitem monarki atau kerajaan. Dimana pemimpinnya disebut Raja atau Sultan.
Dalam sistem ini pemimpin dan kepemimpinan ditentukan melalui garis keturunan atau pertalian darah. Setidaknya mempunyai ikatan keluarga. Di era monarki ini lah, politik dinasti menjadi barang pasti.
Bangsa kita pernah digdaya dengan sistem monarki ini.
Advertisement
Semisal kerajaan Majapahit yang dikenal sangat digdaya dengan kekuasaannya meliputi sebagian besar wilayah Indonesia hingga ke Semenanjung Malaya, Filipina, dan Papua Nugini, dengan sang raja Hayam Wuruk. Kurang lebih 12 wilayah pusat kerajaan Majapahit dikelola oleh keluarga atau kerabat dekat sang raja Hayam Wuruk saat itu.
Salah satunya wilayah Mataram, yang dipimpin oleh sang keponakan, Wirakramawardhana. Setelah Hayam Wuruk, Wirakramawardana ini lah yang menggantikannya sebagai Raja Majapahit.
Selain itu, ada juga kerajaan Demak, yang merupakan kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Kerajaan ini pertama kali dipimpin oleh Raden Patah. Lalu, digantikan oleh anaknya, Pati Unus. Setelah Pati Unus, dilanjutkan oleh kakaknya yaitu Sultan Trenggana. Dimana di periode inilah wilayah kerajaan Demak meluas hingga ke Jawa Timur.
Tentu masih banyak lagi kerajaan lainnya di wilayah Nusantara dengan sistem monarki. Saat itu politik dinasti menjadi suatu hal yang mahfum, bahwa pemegang kekuasaan dan pengelola pemerintahan berada dalam satu ikatan kekeluargaan.
Setalah bangsa Indonesia berada dalam masa penjajahan dan Indonesia menyatakan diri sebagai suatu negara yang merdeka, sistem monarki telah kita tinggalkan. Kita memilih sebagai suatu negara republik yang dipimpin oleh seorang presiden dengan sistem demokrasi.
Di masa Reformasi 1998, kita kembali mempertegas dan memperkuat pengaplikasian sistem demokrasi di bangsa kita. Dengan demikian, sistem monarki berakhir. Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah politik dinasti yang identik dan melekat pada sistem monarki ikut berakhir ketika bangsa kita memilih dan memperkuat sistem demokrasi?
Politik dinasti sejatinya merupakan paket dari sistem monarki. Dimana ada sistem monarki, maka di situ ada politik dinasti. Pemimpin dalam sistem monarki akan melanggengkan dan melanjutkan kekuasaannya melalui regenerasi keturunannya atau dalam garis kekeluargaannya.
Raja menentukan penggantinya dengan pertimbangan garis keturunan atau kekeluargaan. Dengan kata lain, pergantian kekuasaan dilakukan dengan cara menerapkan politik dinasti.
Beda halnya dengan sistem demokrasi, dimana rakyat menjadi pemegang kedaulatan tertinggi. Setiap pergantian kekuasaan dilakukan melalui pemilihan umum, dimana rakyat yang memilih dan menentukan pemimpin selanjutnya.
Jika dalam pergantian kekuasaan pada sistem monarki, raja yang memiliki kedaulatan, maka dalam demokrasi rakyatlah yang memiliki kedaulatan. Seperti apa kata Mohammad Hatta, demokrasi sebagai pergeseran dan pergantian kedaulatan raja menjadi kedaulatan rakyat.
Dengan demikian, secara teoritis, politik dinasti telah berakhir dalam sistem demokrasi. Tidak adalagi raja atau penguasa yang dalam proses pergantian kekuasaan menunjuk anak atau keluarganya untuk melanjutkan kekuasaan dalam sistem demokrasi.
Semua melalui proses demokratis yang dipilih oleh rakyat. Meminjam kata Abraham Lincoln, government of the people, by the people and for the people.
Isu politik dinasti ini kembali mencuat ke publik, ketika Gibran anak Presiden Jokowi diusung sebagai Cawapres dari Prabowo. Presiden Jokowi dianggap oleh sebagian orang telah memainkan politik dinasti untuk melanggengkan kekuasaannya, dengan merestui anaknya maju sebagai Cawapres.
Persepsi publik coba dibangun, bahwa langkah yang dilakukan Presiden Jokowi itu adalah suatu yang salah dan bertentangan dengan demokrasi.
Hemat saya, anggapan ini tidak melihat dari sisi hak politik seseorang yang dijamin dalam negara demokrasi.
Ada yang terlupakan bahwa dalam prosedural demokrasi seperti Pemilu dan Pilpres, kita mengenal prinsip, right to vote and right to be candidate, bahwa setiap orang punya hak untuk memilih dan dipilih.
Sejalan dengan itu, jika kita masih mempercayai suatu asas equality before the law, maka menjadi sah anak siapa pun, keturunan siapapun untuk mengikuti kontestasi Pemilu atau Pilpres karena kita semua sama di depan hukum. Jadi, anak siapapun, keluarga siapapun mempunyai hak politik yang sama dalam negara demokrasi.
Secara teoritis politik dinasti memang telah berakhir ketika kita beralih dari sistem monarki ke sistem demokrasi. Namun, secara praksis peluang dipraktikkannya politik dinasti masih ada dan terbuka. Apalagi bangsa kita, secara historis memiliki sejarah panjang tentang praktik politik dinasti selama ratusan tahun di era monarki (kerajaan) yang menjadikan kita bangsa yang digdaya seperti dijelaskan pada awal tulisan ini.
Hal ini menunjukkan kehidupan sosial dan politik masyarakat kita memiliki “dna” politik dinasti. Sehingga bayang-bayang politik dinasti tidak bisa dihilangkan begitu saja.
Sekalipun demikian, dalam negara demokrasi, rakyat lah yang menentukan pemimpin selanjutnya sebagai pemilik kedaulatan, bukan dinasti kekuasaan dengan praktik politik dinastinya. Ada proses demokratis yang harus dilalui oleh setiap warga negara yang ingin menjadi pemimpin negara atau daerah.
Di negara demokrasi, jangankan anak Presiden, hal yang mustahil saja semisal jika ada anak Tuhan, lalu ingin jadi Presiden maka harus melalui proses demokratis dalam pemilihan umum.
Terkait ketakutan sebagian orang terhadap dampak buruk dari terbangunnya politik dinasti, misalnya kecenderungan penyelewangan dan penyimpangan kekuasaan, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.
Maka disini peran kontrol dan pengawasan civil society mesti dikuatkan untuk mengawal setiap proses dan produk dari demokrasi. Karena menurut Beetham, hanya civil society yang demokratis lah yang dapat mempertahankan negara demokrasi.
***
*) Oleh: Falihin Barakati (Pemerhati Pemilu dan Demokrasi yang juga merupakan Pengajar di Universitas Nahdlatul Ulama Sulawesi Tenggara)
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |