
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pada akhirnya terjawab sudah, hasrat politik anak kandung presiden yang siap menjadi cawapres bukan lagi enigma. Bagi sebagian publik yang kontra, barangkali ini terlalu licik dan jijik. Sebagian lainnya, ini waktunya memuluskan kepentingan politik.
Karena hasrat politik itu, norma dan etika bernegara harus dibuat berantakan tanpa mempertimbangkan kerugian konstitusional warga negara lainnya. Etika tidak lagi menjadi pandu, terpenting kekuasaan harus selalu maraton dan sistematis. Melahirkan kekuasaan baru yang terus berkesinambungan, dari bapak turun ke anak, dari anak turun ke cucu, turut juga seorang paman harus memberi andil di dalamnya.
Advertisement
Mula-mula kita bergembira ketika terbentuk institusi negara bernama Mahkamah Konstitusi (MK), yang semaksimal mungkin bisa menjaga batas ideal konstitusi, dan melakukan interpretasi yang wajar tanpa tersandera oleh kekuasaan manapun. Sayangnya, semua kegembiraan itu baru saja dilemahkan oleh standar ambisi karena hubungan kekerabatan yang mengental.
Perihal itu, harapan untuk menemukan tipologi pemimpin yang lahir dari embrio yang matang terganjal oleh obsesi dan birahi kekuasaan. Tidak terseleksi dalam batas logika konstitusi. Akibatnya, sampai kapanpun kekuasaan akan terus me-reproduksi ketidakcukupan kapasitas intelektual bagi setiap calon pemimpin yang muncul dari generasi ke generasi.
Sampai di sini, putusan MK terkait perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 beberapa waktu lalu, memicu trauma politik dalam kesamaan hak bagi setiap warga negara. Ada tiga poin paling kontroversial yang hendak saya soroti di sini. Pertama, timbul kerancuan yang sangat menohok dalam perkara a quo, karena subjek yang bertindak sebagai pemohon justru mengkhawatirkan kerugian konstitusional yang akan dialami oleh orang lain.
Kedua, setelah permohonan dikabulkan, ternyata tidak in general. Tetapi hanya untuk melanggengkan syarat pencalonan satu orang yang bernama Gibran Rakabuming Raka yang namanya tercantum dalam permohonan. Ketiga, ada dugaan terkait misi terselubung yang nantinya menimbulkan kepentingan yang menguntungkan secara sepihak, dan ternyata itu benar adanya.
Dari poin pertama, pemohon dalam permohonannya harus beralasan bahwa, hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh undang-undang yang diuji. Kerugian tersebut juga harus bersifat spesifik dan aktual, atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi. Sebab, alasan ini harus terpenuhi sebagai syarat kerugian (Pasal 51 ayat 1 UU MK).
Kemudian poin kedua terkait putusan menguntungkan satu pihak, maka menyimpang dari cerminan asas erga omnes. Asas ini mempunyai definisi terkait suatu putusan peradilan memiliki kekuatan yang mengikat, karena sifatnya berlaku secara publik atau bagi semua orang, tidak terbatas hanya kepada pihak yang berperkara.
Lantas, bagaimana putusan yang menguntungkan satu pihak harus dipatuhi oleh semua orang, termasuk lembaga negara atau badan pemerintahan? Sedangkan hakim dalam mengabulkan perkara tersebut cenderung menggunakan perspektif individual?
Selanjutnya, permasalahan ketiga ialah dugaan terselubung yang disebut oleh banyak pakar memunculkan benturan kepentingan, menabrak batas ideal konstitusi, dan dapat menimbulkan despotisme. Bahkan cacat secara asas, karena MK tidak boleh melanggar asas nemo judex in causa sua, yakni memutus hal-hal dalam perkara yang berkaitan dengan kepentingan dirinya sendiri.
Saya mengutip pandangan Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, bahwa putusan MK yang mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan telah menggoyahkan posisi etik dan merusak kepercayaan publik, karena ada hubungan kekeluargaan yang mengikat antara Gibran Rakabuming Raka dan Anwar Usman selaku ketua MK (Kompas, 2023).
Dalam konteks kekuasaan kehakiman, mulai dari ketua majelis, hakim anggota, panitera wajib hukumnya untuk mengundurkan diri dari sebuah persidangan sepanjang terdapat ikatan kekeluargaan, baik sedarah, semenda, atau suami istri yang meskipun sudah bercerai (Pasal 17 ayat 4 UU Nomor 8 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Kemudian ayat berikutnya, menegaskan perlunya pengunduran diri itu karena atas permintaan sendiri atau pihak yang berperkara (Ayat 5).
Jika ayat (5) tidak dipatuhi, maka konsekuensinya putusan menjadi tidak sah, sebagaimana Ayat (6) dalam pasal yang sama, menyebutkan putusan yang dikabulkan dinyatakan tidak sah dan hakim yang menangani perkara tersebut dapat dikenai sanksi administratif atau pidana.
Akan tetapi, dalam konteks perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, putusan MK bersifat final dan mengikat, tidak dapat diganggu gugat, kecual nanti suatu waktu ada pihak yang mengajukan atau memohon perkara yang sama (Bivitri Susanti, 2023).
Dari ulasan di atas, saya jadi teringat dengan pandangan Felix Frankfurter yang dikompilasikan oleh American Bar Association (1948). Mantan Hakim Mahkamah Agung Amerika ini mengutip Elihu Root dan Charles Evans Hughes dalam menggambarkan masalah yang dihadapi pengadilan, bahwa sangat berbahaya jika memiliki seorang hakim yang berpikir melampaui pertimbangan yudisial karena ambisi pribadinya.
Karena itulah, sejatinya seorang hakim harus bebas dari pengaruh apapun, menjunjung imparsialitas, melepaskan ambisi pribadi, dan memiliki moral dan etika yang melekat pada nyali atau keberaniannya. Karena ini adalah tolok ukur dasar yang menjadi atribut yudisial untuk membuat putusan yang adil walau dibenci politisi, media, ketua umum partai, relawan, maupun tidak berpihak kepada keluarganya.
***
*) Oleh : Igrissa Majid, Alumni STH Indonesia Jentera.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |