Kepentingan Oligarki dan Konglomerasi Media dalam Sistem Demokrasi di Indonesia

TIMESINDONESIA, BOGOR – Aksi protes menolak amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat usia Capres dan Cawapres, oleh beberapa tokoh advokat dan masyarakat Indonesia yang merasa sarat unsur kepentingan politik dinasti. Merupakan puncak dari akumulasi rentetan Isu wacana tiga periode jabatan presiden republik indonesia yang menurut sebagian pengamat politik sudah direncanakan dan digulirkan menjadi isu bola liar di tengah-tengah masyarakat.
Namun, sangat disayangkan semua rentetan gerakan aksi menolak amar putusan MK tersebut minim sekali dari liputan media nasional. Malah sebaliknya semakin ramai di media sosial. Padahal jelas sekali aksi protes menolak putusan MK tersebut mengangkat isu terkait politik dinasti, yang menjadikan lembaga MK terjerumus pada konflik of interest politik dinasti keluarga presiden.
Advertisement
Wacana penundaan pemilu presiden, dilanjutkan isu tiga periode masa jabatan presiden, jelas sekali hal ini melanggar konstitusi negara. Tentunya isu-isu tersebut sangat berkaitan dengan kelangsungan sistem demokrasi rakyat Indonesia yang sedang mengalami pasang surut kepercayaan rakyat terhadap sistem demokrasi yang belum terlihat sesuai seperti sistem sebelumnya, orde lama dan orde baru.
Miris sekaligus menyedihkan ketika kebebasan, kritik, dan berpendapat dimuka umum sudah mulai dibelenggu. Berita seheboh apa pun tidak akan pernah muncul di media nasional. Karena pemilik media sudah menjadi bagian dari kepentingan pemerintah (oligarki), hanya media sosial (medsos) lah alternatif sarana penyebaran informasi tersebut. Sehingga khalayak mengetahui berita tersebut.
Pasca reformasi tahun 1998, Indonesia merupakan salah satu Negara yang lebih dulu menikmati kebebasan media pers di kawasan Asia Tenggara. Kebebasan pers yang sebenarnya mulai dinikmati oleh awak media pers tahun 1998 setelah pemerintahan orde baru tumbang. Kebebasan pers di Indonesia bisa berhasil dan dirasakan sampai saat ini berkat gerakan reformasi tahun 1998.
Ini merupakan langkah awal gerakan reformasi 98 mendorong DPR ketika itu untuk menyetujui pencabutan Undang-undang No. 21 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers melalui Undang-undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang merupakan produk hukum legislatif yang dinilai sangat demokratis.
Indonesia sebagai Negara yang menganut sistem demokrasi, semestinya sistem pers yang diberlakukan adalah pers liberal. Namun, sistem demokrasi yang diterapkan Negara Indonesia adalah demokrasi pancasila. Kenapa pancasila? Karena pancasila sebagai landasan dasar ideologi Negara Indonesia.
Sistem pemerintahan demokrasi yang dilaksanakan Negara Indonesia saat ini merupakan estafet pemerintahan sebelumnya. Orde lama dan orde baru yang lebih identik dengan karakter pemerintahan yang otoriter tetap merujuk kepada landasan ideologi Negara Indonesia yaitu Pancasila.
Sistem pers pancasila saat ini masih tetap disesuaikan dengan nilai-nilai yang terdapat dalam rangkuman lima sila pancasila. Hal ini ada kaitannya dengan teori pers dari Siebert, yang cenderung mengadopsi dari teori pers tanggung jawab sosial (social responsbility pers). Tentunya nilai kesesuaian, keselarasan dan keseimbangan adalah dasar daripada sistem pers pancasila.
Karena hubungan antara pers, masyarakat (society), dan pemerintah (government) adalah seiring sejalan. Idealnya sistem pers Indonesia merupakan sistem pers yang harus memperhatikan kepentingan rakyat (civil), terutama dalam tata kelola dan menerima informasi.
Dan kebebasan pers sebenarnya sudah ada semenjak Negara Indonesia merdeka. Melalui undang-undang dasar 1945 pasal 28 yang dengan jelas menyatakan tentang “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan”.
Berkaitan dengan sistem pers, UUD 1945 pasal 28 tersebut diperjelas lagi dalam pasal 28F UU 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Dari penjelasan undang-undang dasar 1945 pasal 28 tersebut, jelas sekali bahwa sebenarnya kebebasan dalam pers sudah ada sejak Negara Indonesia diproklamirkan merdeka. Dengan dicabutnya undang-undang no.21 Tahun 1982 kebebasan pers benar-benar dirasakan sepenuhnya oleh semua kalangan, karena sebelumnya undang-undang tersebut dianggap membelenggu kemerdekaan pers.
Tidak akan ada lagi sensor dan pembredelan terhadap kantor pemberitaan pers. Penerbit pers tumbuh diberbagai tempat. Tentunya hal ini memungkinkan setiap warga masyarakat biasa dan professional untuk mendirikan penerbitan. Hadirnya kebebasan pers ditengah masyarakat bertujuan untuk menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia (human right) serta menghormati keberagaman (pluralis).
Tetapi dalam prakteknya telah terjadi banyak penyimpangan dan penyelewengan dalam pemberitaan pers. Misalnya, pers lebih memilih bungkam dalam memberitakan aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa ataupun oposisi. Pers lebih memihak terhadap pemodal dan penguasa dalam hal sengketa yang berkaitan dengan masyarakat kecil, kepentingan untuk organisasi tertentu, pencitraan bagi pemilik media, dan masih banyak lagi kasus lainnya.
Akhirnya kebebasan pers menimbulkan kekhawatiran, kegelisahan bagi masyarakat, terutama tampak dengan adanya kritikan dari pemerintah dan kelompok masyarakat tertentu. Awak pers sendiri dinilai cenderung mengutamakan konsep berita yang kurang obyektif, sensasional, dan sangat partisipan.
Dalam lingkup kode etik pelaku pers, kebebasan pers dinilai telah banyak melanggar nilai dan norma moral masyarakat dan meruntuhkan kaidah-kaidah jurnalistik. Dengan terbukanya kebebasan pers sebagaimana diuraikan di atas akan berakibat kemunduran kualitas pemberitaan pers serta menipisnya kepercayaan masyarakat terhadap pers.
Banyak pengamat media dan sebagian masyarakat yang mengkhawatirkan kebebasan pers di Indonesia akan berakibat bagi kemunduran solidaritas berbangsa dan bernegara. Proses pembodohan akan ter kristalisasi melalui dunia pers. Pembenaran terhadap suatu kasus yang jelas kebohongannya akan mengubah paradigma pola pikir masyarakat karena tergiring oleh opini yang beredar di masyarakat.
Berawal dari hal semacam inilah akan muncul berbagai ancaman terhadap pers seperti isu, intoleransi, suku, ras, dan agama. Tekanan massa bisa terjadi kapan saja, bahkan ancaman gugatan (legal resentment) dan perilaku korupsi (suap) terjadi dalam setiap pemberitaan sudah dianggap hal biasa.
Kini semakin menonjol kekecewaan masyarakat terhadap pers yang tentu merupakan suatu ancaman yang sangat jelas terlihat sekali dalam berbagai opini di media yang beredar di masyarakat. Pers nasional bebas memiliki hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi tanpa gangguan maupun sensor dari pemilik media maupun dari pemerintah yang sedang berkuasa melalui kebijakan regulasi.
Pers Pasca Reformasi Tahun 1998
Peristiwa reformasi di tahun 1998 meninggalkan banyak cerita euforia bagi bangsa khususnya kalangan mahasiswa aktivis 98. Reformasi memberikan keleluasaan kepada siapa saja untuk membuat media cetak, surat kabar koran, majalah, ataupun tabloid.
Pertumbuhan pers nasional yang menggembirakan itu memberikan dampak positif bagi masyarakat saat itu. Namun seiring telah disahkannya undang-undang kebebasan pers, pers nasional cenderung tidak terkendali semakin liar tidak sebanding antara kuantitas dengan kualitas yang diberikan pers nasional terkait pemberitaan di masyarakat.
Saat ini regulasi dalam bentuk undang-undang tentang pers, khususnya yang membatasi ruang gerak pers sejatinya sudah tidak ada, namun disisi lain telah lahir juga peraturan terkait Informasi tekhnologi elektronik (UU ITE) yang sudah banyak menjerat korban dari awak media dan masyarakat umum. Ini bisa menjadi alat bagi pemerintahan yang sedang berkuasa untuk melakukan diskriminasi dan kriminalisasi terhadap kebebasan pers yang sudah berjalan, bisa disebut juga sebagai ancaman terhadap kebebasan pers di era digital.
Pengertian diskriminasi dan kriminalisasi pers bukan dimaksudkan dari sesuatu yang sengaja diadakan (make), melainkan dalam arti ancaman pidana yang makin keras terhadap awak media pers. Pers nasional berasumsi cara mengendalikan pers dengan ancaman pidana yang lebih berat dipandang sebagai sesuatu usaha sistematik untuk membelenggu (limited) kembali kebebasan dan kemerdekaan pers.
Konglomerasi Media Massa di Indonesia
Pada masa orde baru, pertumbuhan pers cukup marak. Hal ini cukup menggembirakan. Tetapi perlu diwaspadai. Pertumbuhan pers yang bebas menandakan bahwa demokrasi terjamin. Penggunaan hak kebebasan pers yang kurang wajar dan bertanggung jawab, masih banyak surat kabar yang terdorong oleh tujuan komersialisasi dan industrialisasi semata ataupun motif lainnya dengan menyajikan berita-berita sensasional yang dapat merusak stabilitas nasional.
Pemerintah waktu itu memberikan sanksi tegas berupa Surat Izin Terbit dan Surat izin Usaha Penerbitan Pers (SIUP-P) bagi lembaga pers yang dianggap merongrong dan mengganggu stabilitas nasional sekaligus berbeda haluan dengan pemerintah.
Pers di Negara demokrasi seperti Indonesia merupakan pilar ke empat setelah lembaga eksekutif, legislative, dan yudikatif. Sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, selain sebagai elemen penting demokrasi, pers juga menjadi entitas yang memiliki fungsi kontrol sosial (watch dog).
Agar fungsi tersebut dapat berjalan secara maksimal, institusi pers harus menjadi sebuah entitas yang imparsial dan nonpartisan. Dalam konteks Negara Indonesia yang beragam secara suku, agama, ras, dan budaya, tidak dipungkiri lagi bahwa pers memegang peran super vital di tengah masyarakat.
Di samping memiliki fungsi untuk menyampaikan informasi (to inform), pers juga harus mampu menjalankan fungsi mendidik (to educate) dan menghibur (to entertain) bagi masyarakat. Oleh karena itu, setiap unsur pemberitaan yang disiarkan pers Indonesia harus dapat mencerdaskan kehidupan seluruh elemen bangsa.
Cita-cita untuk mewujudkan pers Indonesia yang minus kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu yang bisa merusak stabilitas nasional dan keberagaman Indonesia, maka jalan yang harus ditempuh adalah melalui insan jurnalis yang memiliki spirit jurnalisme damai (peace journalism) bukan malah sebaliknya insan jurnalis (wartawan) bekerja sesuai pesanan pemilik modal (konglomerat) atau pemerintah yang berkuasa.
Hal seperti ini bisa membahayakan, sekaligus membuat minim kepercayaan masyarakat terhadap pers itu sendiri. Timbul pertanyaan dalam benak kita, mengapa harus jurnalisme damai? karena Indonesia Negara yang heterogen, tidak lain karena pers sudah terbukti menjadi instrument sangat penting dan efektif untuk menginformasikan berbagai ide yang menjadi motivasi bagi masyarakat luas.
Namun, kalau dilihat kembali kepada fungsi sekunder surat kabar adalah untuk mengkampanyekan proyek-proyek yang bersifat kemasyarakatan, yang diperlukan sekali untuk membantu kondisi-kondisi tertentu, memberikan hiburan bagi pembaca, sebagai konselor yang ramah, dan menjadi agen informasi sekaligus membantu memperjuangkan hak-hak masyarakat yang di abaikan oleh pemerintah.
Dan jika dikaitkan dengan fungsi utama media massa yaitu: informasi, edukasi, hiburan, dan persuasif. Fungsi yang paling menonjol pasca reformasi tahun 1998 pada surat kabar adalah informasi. Berbeda halnya dengan media elektronik seperti stasiun TV dan Radio swasta lebih menonjolkan hiburan semata.
Walaupun ada penyampaian informasi terkait berita nasional terkadang porsinya cenderung lebih sedikit itupun masih sempat di sesuaikan dengan pesanan pemilik media demi satu tujuan pemilik media yaitu, pencitraan untuk mendapatkan keuntungan pribadi semata. Memang industrialisasi dan komersialisasi dalam pers Indonesia sudah tidak bisa dipungkiri lagi.
Sebagai contoh saat ini, hampir semua media massa swasta baik cetak maupun elektronik hanya dikuasai segelintir pengusaha papan atas saja, itupun hanya terbagi dalam beberapa korporasi yang jumlahnya masih bisa dihitung jari. Sebut saja, stasiun TV RCTI, MNC, Global TV, iNews, dan surat kabar Seputar Indonesia (sindo), hanya dimiliki oleh satu orang.
Begitu juga media massa lain, Metro TV & koran Media Indonesia, dimiliki oleh satu orang juga. Surat kabar (Radar) pun, dikuasai Jawa Post Group pemiliknya satu orang pula, begitu juga dengan media tribunnews yang miliki oleh satu group perusahaan saja. Dengan demikian, tentunya ada pula pergeseran fungsi media massa tersebut apabila dikatakan tidak adanya kepentingan pemilik modal di setiap program acara yang disuguhkan kepada masyarakat rasanya sangat mustahil.
Hal seperti ini, sudah bisa dikategorikan bagian dari konglomerasi media massa di Indonesia. Kenapa bisa dikatakan seperti itu? karena hanya pemilik media saja yang dengan jelas akan mendapatkan keuntungan lebih besar dibandingkan masyarakat, keuntungan bagi pemilik media mulai dari iklan, penjualan rating program acara, dan tentunya yang paling besar adalah meningkatnya saham perusahaan media massa tersebut.
Secara otomatis, konglomerasi media bagi pemilik media bukan sesuatu yang tidak mungkin terjadi seketika mana kala regulasi dan perundang-undangan pers di Indonesia terlalu pro konglomerat tanpa peduli sedikit pun terhadap masyarakat kecil hal ini akan berdampak tidak sehat pada sistem demokrasi.
Sudah menjadi kewajiban jurnalis dan pemilik media harus mempertimbangkan dampak dari program acara dan pemberitaan yang disampaikan. Karena setiap program acara dan segmen pemberitaan yang telah dipublikasikan akan menjadi domain publik.
Oleh karena itu, kepentingan yang diusung oleh pers Indonesia harus senantiasa lebih mengutamakan kepentingan rakyat Indonesia (public interest) dan kepentingan kemanusiaan (humanity interest) yang sesuai dengan sila kelima pancasila yaitu “Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia” dan sifat universal yang adil tanpa adanya niat diskriminasi sosial terhadap masyarakat kecil.
Maka dewan pers nasional memegang peranan penting terhadap segala bentuk regulasi dan peraturan yang terkait penyampaian informasi dan program acara yang akan disuguhkan bagi masyarakat. Intinya jurnalis dan pemilik media harus bisa mentaati segala bentuk regulasi yang sudah ditetapkan dan disepakati.
Karena apabila kode etik jurnalistik dan kode etik wartawan Indonesia mampu direalisasikan oleh rekan-rekan pelaku media dan pemilik media di Indonesia akan terjadi sinergitas antara masyarakat (civil society), pemilik media dan pemerintah dalam membangun Indonesia yang demokratis sesuai sila keempat. Maka akan tercipta kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi persatuan Indonesia yang utuh sesuai cita-cita founding father kita semua.
***
*) Oleh : Teddy Khumaedi (Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam, Institut Ummul Quro Al-Islami Bogor)
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |