
TIMESINDONESIA, SURABAYA – Setiap 10 November, kata Pahlawan menjadi lebih akrab dengan kita. Di tanggal itu, berbagai institusi kompak mengunggah poster Selamat Hari Pahlawan.
Lewat peringatan itu, kita dapat menilik kembali peta historis Indonesia. Kita dapat menengok perjuangan rakyat dalam pertempuran 10 November 1945. Meski hanya dengan senjata seadanya, rakyat Surabaya tak gentar menghadapi kekuatan militer Inggris.
Advertisement
Ir. Soekarno lalu menetapkan peristiwa heroik itu sebagai Hari Pahlawan. Penetapan itu dilakukannya lewat Keputusan Presiden No. 316 Tahun 1959.
Dalam hal ini, pahlawan bukan saja mereka yang tampil di barikade terdepan. Seluruh rakyat yang turut berkorban juga patut disebut pahlawan. Mereka berhasil meloloskan Indonesia dari perangkap asing yang ingin merampok kembali kekayaan tanah air.
Gelar pahlawan disini berbeda dengan gelar akademik seperti sarjana atau profesor yang didapat secara prosedural. Gelar pahlawan didapat karena penilaian kolektif. Pada peta historis kita, siapa yang ikut berjuang dalam kemerdekaan, kita nilai layak disebut pahlawan.
Tentu hal semacam ini juga menyesuaikan zaman. Dulu ikut bertempur merupakan bentuk kepahlawanan. Itu karena dulu permasalahannya adalah rakyat yang tertindas oleh penjajah. Dan pintu keluarnya adalah dengan pergi ke medan pertempuran.
Lalu pertanyaannya, apakah masalah yang kita hadapi sekarang masih sama? Kalau memang berubah, bukankah juga akan merubah penilaian kita tentang siapa yang saat ini bisa menjadi pahlawan? Let’s discuss.
Saat ini, zaman mengantar kita ke era disrupsi. Derasnya arus perubahan di era ini tentu menjadi ancaman. Pasalnya, perangkat perubahan yang hadir dapat menenggelamkan rasa keindonesiaan kita.
Disrupsi mengancam hilangnya kesadaran bertanah air. Akses informasi yang mudah, tidak diimbangi kedewasaan bernegara yang cukup. Masih sering kita melihat fenomena debat kusir di kolom komentar media sosial. Tak jarang debat itu mengandung unsur rasisme yang mengendurkan persatuan masyarakat.
Tak hanya itu, kita sekarang juga berhadapan dengan globalisasi. Globalisasi disini dapat menjadi ajang kapitalis dunia (pemilik modal) mencari untung.
Dalam hal ini, pengeluaran masyarakat bisa menjadi sangat tinggi. Hal itu disebabkan para kapitalis telah mengatur tren dan selera masyarakat demi meraup keuntungan. Akibatnya, masyarakat seperti dituntut secara sosial untuk memenuhi kebutuhan eksistensialnya, dan nominal rupiah yang dikeluarkan tidak sedikit.
Sama seperti era sebelum kemerdekaan, ekonomi kita saat ini sejatinya sedang diperas. Bedanya, dulu pemerasan dilakukan terang-terangan, sedangkan sekarang pemerasan terjadi begitu halus. Kita seperti dininabobokan oleh tren dan daya beli yang sebenarnya telah diatur pemilik modal.
Siapa pahlawan kita hari Ini?
Permasalahan itu faktanya masih terjadi. Meski sudah merdeka secara de facto, bukan tidak mungkin jika kita mengalami penjajahan dalam bentuk baru. Maka dari itu, jangan kaget dengan kriteria baru untuk menilai kepahlawanan seseorang.
Berdasarkan kondisi sekarang, kriteria pahlawan Indonesia paling tidak mencakup tiga hal; Pertama, mampu beradaptasi dengan situasi zaman dan kondisi politik internasional. Jangan sampai kita dibodohi kapitalis dunia yang ingin meraup banyak keuntungan dari Indonesia.
Kedua, mampu mengubah paradigma konsumtif menjadi produktif. Dengan meningkatkan daya produksi, kita akan menjadi lebih mandiri dan tidak mudah termakan tren. Dalam hal ini, peningkatan daya produksi justru membuat kita berpeluang menciptakan tren.
Ketiga, mampu membangkitkan nasionalisme dengan terus merawat sejarah. Melihat sejarah perjuangan rakyat membuat kita lebih menghargai tanah air. Lewat hal itu, kita juga dapat lebih mencintai produk dalam negeri.
Kekuatan nasionalisme itulah yang dapat menghapus ketergantungan kita pada tren yang diciptakan kapitalis dunia. Nasionalisme juga menghindarkan kita dari pengaruh provokasi yang memecah-belah bangsa.
Berbekal tiga kriteria itu, setidaknya kita mampu menilai siapa pahlawan masa kini. Dengan selalu diawali kata mampu. Artinya tiga kriteria itu hanya ada pada dia yang berkemampuan, tidak sekedar berkemauan.
Lantas, pada siapa kemampuan itu ada? Pada musim politik ini? Setidaknya jawaban itu haruslah ada di ketiga calon Presiden dan Wakil Presiden kita.
***
*) Oleh : Ricky Rivaldi (Mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, Surabaya)
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |