Kopi TIMES

Lupa Menjadi Manusia

Senin, 06 November 2023 - 16:36 | 58.26k
Yusron Hafidzullah, Mahasantri Pondok Pesantren Luhur Baitul Hikmah dan Mahasiswa STF Al-Farabi Kepanjen, Malang.
Yusron Hafidzullah, Mahasantri Pondok Pesantren Luhur Baitul Hikmah dan Mahasiswa STF Al-Farabi Kepanjen, Malang.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Adakah di antara kita yang selalu ingat dan sadar diri setiap saat? Bukankah manusia sering luput dan lupakan tentang manusia dan kemanusian? Dan kerap kali lupa menjadi manusia?

Tak heran dalam peradaban yang paling kuno (peradaban Timur atau Filsafat Timur) telah mendidik dan mengajarkan tentang nilai-nilai diri dengan memasuki, menjumpai dan mengenal diri sendiri (inner journey). 

Advertisement

Karena kerap kali interaksi, kesibukan, rutinitas sehari-hari diwarnai dengan beragam cerita (sedih, bahagia, tawa, dan tangis) menyunat sisi kemanusiaan, melahirkan manusia yang mirip manusia (baca; bukan manusia), ber kesadaran mesin, lebih brutal dan bengis dari binatang buas, dengan saling memburu, mencabik, menerkam satu sama lain. 

Bahkan tak jarang kita temukan manusi menjadi hakim bagi yang lain dan melanjutkan keangkuhan Firaun (menganggap diri sebagai Tuhan yang punya otoritas dengan mengkafir-hakimi sesama manusia).

Oleh sebab itu, selayak-pantasnya kita terus-menerus bertanya-menanya. Apakah aku ini Firaun mini? yang berakhlak bukan seperti manusia, pekerti dan tingkah laku bagai binatang. Apakah aku ini masih manusia? Lalu seperti apa tingkah, akhlak dan pekerti manusia itu? Marilah kita belajar melayar-selami diri sendiri yang masih tak lekas puncak menjadi manusia. 

Peradaban Barat mempromosikan “Jalan kebenaran dan kebahagian” untuk manusia dengan pemikiran teoritis rasional-ilmiah. Karena meraka percaya bahwa manusia dan sejarahnya berasal dari bumi. 

Berbeda dengan pandangan Timur, tidak hanya “jalan kebenaran dan kebahagiaan” yang ditawarkan tapi juga “Jalan keselamatan”. Karena Timur sedari dulu menyadari memang asal usul manusia bukan dari bumi tapi meta-asalnya dari langit. 

Bumi adalah tanah rantau bagi manusia. Ia sejatinya adalah mahluk rohani-spritual. Mahluk langit yang menjadi wakil Tuhan di bumi. Diamanahi untuk memakmurkan, mengelola dan merawat bumi. Tak heran jika mula-mula Tuhan memperkenalkan diri-Nya dalam ayat yang pertama kali turun dengan nama Rabbun (Sang Pemelihara). Bacalah dengan nama Tuhan mu yang maha memelihara. Tidak hanya rasional-ilmiah seperti peradaban Barat, tapi peradaban Timur lebih membumi-alamiah. 

Sebagai wakil Tuhan di Bumi, manusia dianugerahi dengan beragam potensi yang dimiliki. Dengan potensi ini manusia mengurai-pisah kesemrawutan, kegalau-gelisahan yang selalu bergejolak dalam dada dan batok kepala. Besok makan apa? selesai kuliah apa bisa langsung kerja? nikah sama siapa? makna hidup ini apa? dan tanya demi tanya lainnya. 

Dengan akal budi manusia bisa menjawab, selesaikan keacakan hidup yang tak menentu. Menahkodai hidupnya menuju samudera pengetahuan dan sinar kebijak-arifan. Karena mula-mula Tuhan tidak memerintahkan untuk sholat, yang mana sholat adalah hubungan hamba dengan Tuhan (ibadah personal), bukan pula zakat (ibadah sosial).

Akan tetapi mula-mula manusia diperintahkan untuk mendayagunakan akal budi dengan segala potensinya. Iqra’ bismirobbik (bacalah dengan nama Tuhanmu). Jika diperhatikan dalam penggalan ayat al-a’alaq itu, secara gramatika bahasa Arab, ia tidak memiliki maful (objek) untuk dibaca. 

Artinya, kita diperintah membaca apa saja, bukan hanya sesempit membaca buku, tapi lebih luas lagi. Membaca alam semesta dengan segala macam isinya, manusia, flora, fauna bintang, planet-planet, hal-hal yang metafisik dan apa saja.

Lalu, apa hubungan semua yang dibaca dengan hidup, dengan diri? Tak lain untuk memperoleh terangnya kebenaran, menikmati indahnya kebahagian dan mendapatkan petunjuk keselamatan. 

Ada empat term “baca” yang digunakan dalam Qur’an. Selain qiraat, membaca untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Qur’an juga menggunakan istilah; tilawah, membaca dengan diikuti perilaku, bukan hanya berteori tapi dijadikan ahwal (tindakan).

Tartil, membaca dengan menghayati. Cara baca pada level ini bukan hanya  sekedar menjadi tindakan tapi ia sudah  menubuh-menyatu dan mengkristal dalam diri. Cara baca terakhir dan yang paling puncak adalah tadabbur, membaca dengan merenung nan jauh, mendaki sampai puncak tak terbatas, menyelami samudera yang tak terperi sampai menemukan diri yang paling diri. 

Tapi semua itu takkan berhubungan erat, tak berjalin-jemalin sebelum memperbaiki hubungan dengan diri sendiri. Dengan terus berperang dengan diri, dengan nafsu. karena nafsu lah yang menjerumus-bodohkan manusia.

Ia lebih jahat dari setan. Nafsu itu cengeng seperti bayi. Jika kau biarkan terus menyusu, sampai tua pun nafsu itu akan terus menyusu. 

Kehendak dan hasrat tak kalah berbahayanya. Manusia selalu dibodohi oleh hasrat, diracuni oleh kehendak diri, terkecoh oleh ketakut-khawatiran dan ancaman yang datang justru bukan dari orang lain melainkan dari sendiri. 

Ingin menjadi pemenang dalam segala hal, seolah kekalahan adalah kutukan yang menyakitkan, karena manusia sepenuhnya adalah kehendak untuk berkuasa.  

Terakhir, mari kita sowan dan ngaji ke Jean-Paul Sartre. Filsuf sekaligus tokoh eksistensialisme yang menuangkan ide-idenya dalam karyanya "Being and Nothingness" Dia mengkritik habis filsuf-filsuf terdahulu yang hanya sibuk merumus-bakukan hakikat manusia itu apa. Menurutnya, manusia hanya memiliki eksistensi 

Tanpa esensi. Manusia dapat dipahami dari caranya mengada, meruang mewaktu sekaligus bertumbuh. Manusia tak pernah punya definisi baku dan narasi tunggal lanjut teman mesranya Simon de Beauvoir itu. oleh karena itu manusia lah yang memberi makna pada diri dan hidupnya.

***

*) Oleh : Yusron Hafidzullah, Mahasantri Pondok Pesantren Luhur Baitul Hikmah dan Mahasiswa STF Al-Farabi Kepanjen, Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES