Kopi TIMES

Mendudukkan Media Sosial sebagai Wasilah

Rabu, 08 November 2023 - 21:28 | 61.10k
Alfan Jamil, Dosen Kajian Fiqh Ulama Nusantara di Ma'had Aly Nurul Jadid dan pengajar di PP. Darul Lughah Wal Karomah Kraksaan.
Alfan Jamil, Dosen Kajian Fiqh Ulama Nusantara di Ma'had Aly Nurul Jadid dan pengajar di PP. Darul Lughah Wal Karomah Kraksaan.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Media sosial seakan terus menjadi perbincangan publik. Hal ini dikarenakan penggunaan dan perkembangan media sosial dari masa ke masa semakin pesat, terutama dalam masa sekarang yang seolah-olah kaca buram terlihat sangat bening. Di sisi lain, media sosial tampak menjadi kebutuhan pokok yang tak dapat ditinggalkan. Bahkan orang yang kurang bersahabat dengan media sosial dikenal dengan istilah “gaptek”. 

Dalam tulisan ini penulis akan memaparkan sedikit tentang hubungan antara kebutuhan ber media sosial dengan salah konsep dalam ilmu ushul fiqh yang dikenal dengan sadd adz-dzariah dan fath adz-dzariah. Media sosial dalam perkembangannya seakan menjadi trend atau gaya hidup yang tak dapat dipungkiri. Tentu sebagai manusia yang berakal, kita harus mempertimbangkan dengan matang penggunaan media sosial. 

Advertisement

Hal ini didasari pada fakta bahwa media sosial memiliki dua sisi dalam penggunaannya. Satu sisi manfaat, maslahat dan sisi yang lain adalah mudharat atau mafsadat. 

Hal senada juga pernah dikemukakan oleh Menkominfo demisioner Rudiantara (Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia pada Kabinet Kerja 2014-2019) pada 2016 lalu yang dilansir dalam berita harian Menkominfo. Ia menyatakan "memang tidak dapat dipungkiri kehadiran medsos yang sangat ramai dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari sedikit banyak telah mengubah pola pikir penggunanya. Sehingga sebagai pengguna media sosial yang cerdas, kita harus tetap waspada dan berhati-hati dalam penggunaannya karena memang banyak mudharatnya dari pada manfaatnya". Oleh karena itu, Menkominfo saat itu mengumumkan gerakan cerdas dalam menggunakan media sosial.

Pada tahun 2013, Menkominfo melansir sebuah data bahwa sekitar 63 juta warga Indonesia menjadi pengguna internet. Baik dengan menggunakan Handphone, Laptop maupun alat elektronik lainnya. Dan 95 % dari angka tersebut menjadi pengguna media dan jejaring sosial. Oleh karena itu, tak heran untuk saat ini Indonesia menempati peringkat ke 4 dalam pengguna facebook terbesar di dunia setelah USA, Brazil dan India dan menempati peringkat ke 5 pengguna twitter terbesar setelah USA, Brazil, Jepang dan Inggris. 

Sedangkan, Menurut laporan We Are Social yang dilansir pada laman databoks.katadata.co.id, jumlah pengguna internet di Indonesia telah mencapai 213 juta orang per Januari 2023, ini adalah fakta yang sangat mengejutkan. Jumlah ini setara 77 % dari total populasi Indonesia yang sebanyak 276,4 juta orang pada awal tahun 2023. 

Dengan meningkatnya penggunaan internet dan media sosial ini, ada banyak tindak kejahatan yang terjadi mulai dari traficking, perdagangan ilegal, korban hoax, sexual dan lain sebagainya. Dengan demikian, kita perlu lebih cermat lagi dalam menggunakan media sosial ini. Salah satu konsep yang ditawarkan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan adalah Sadd adz-Dzariah.

Sadd dzariah adalah salah satu metode istinbath dan penetapan hukum yang secara eksplisit dikemukakan oleh Imam malik. Bahkan Imam asy-Syathibi menyebutkan dalam kitab al-Itishom bahwa Imam Maliklah yang paling banyak menggunakan kaidah ini. 

Dzariah menurut bahasa berarti wasilah (mediator atau penghubung). Sedangkan menurut ulama ushul, sadd adz-dzariah berarti menutup jalan yang menjadi mediator atau penghubung kepada sesuatu yang dilarang yang mengandung mafsadat (kerusakan). Mediator kepada perkara yang diharamkan berarti hukumnya haram begitupula mediator kepada perkara yang wajib maka hukumnya adalah wajib. 

Oleh karena itu, di dalam kitab at-Tathbiqot al-Muashiroh li sadd adz-Dzariah karya Dr. Yusuf Abdurrohman halaman 11, Imam al-Qorofi menuturkan "sesungguhnya hukum mengandung dua hal, pertama yaitu maqoshid (tujuan) yang mengandung maslahat dan mudlorot, kedua wasa’il (jama’ dari wasilah) yaitu mediator atau penghubung. Hukum wasa’il mengikuti hukum maqoshid, jika maqoshidnya wajib maka hukum wasa’il nya wajib, dan jika maqoshidnya haram maka hukum wasailnya haram”. 

Sebagaimana contoh yang telah dikemukakan para ulama’ seperti zina hukumnya haram. Maka melihat aurat perempuan hukumnya juga haram, karena melihat aurat termasuk kategori wasa’il atau wasilah (mediator atau penghubung) kepada zina. Demikian pula, sholat jumat hukumnya adalah wajib. Maka meninggalkan jual beli untuk melaksanakan sholat jumat juga wajib.

Konsep sadd adz-dzariah ini bermula dari prinsip pertimbangan konsekwensi atas suatu perbuatan yang sangat erat kaitannya dengan hukum sebab-akibat. Karena, konsekwensi suatu perbuatan merupakan hal yang dikehendaki dalam syariat Islam sehingga sangat diperhatikan dalam penetapan hukum. 

Dengan demikian, seseorang tidak akan mencapai tujuan syari’at dengan tanpa adanya wasilah (mediator). Sehingga segala perbuatan dan tindakan yang mengarahkan seseorang terhadap suatu kemaslahatan, maka orang itu dituntut untuk mengerjakannya (fath adz-dzariah). Sebaliknya segala tindakan yang mengarahkan seseorang kepada kerusakan maka dituntut untuk meninggalkannya (sadd adz-dzariah). 

Oleh karena itu, syari’at Islam menutup segala wasilah (mediator) yang dapat menyampaikan seseorang terhadap mafsadat (kerusakan) dan mudharat dan membuka segala wasilah (mediator) yang dapat menyampaikan kepada maslahat (kebaikan).

Dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu karya Syaikh Dr. Wahbah az-Zuhaili dijelaskan bahwa, membuka wasilah (fath adz-dzariah) dalam perkara yang kemungkinan menimbulkan mafsadat itu diperbolehkan dengan beberapa catatan. Pertama, apabila potensi untuk terjadi mafsadat atau mudharat sangat kecil. Kedua, apabila kemaslahatannya lebih besar dibandingkan dengan mafsadat yang ditimbulkan. 

Dalam beberapa kitab fiqh ada satu contoh yang diungkapkan oleh para ulama yaitu ketika ada dokter laki-laki mengobati seorang perempuan, maka diperbolehkan untuk melihat aurat sensitif ketika ada hajat untuk mengobati bagian tersebut dan kemaslahatan yang ditimbulkan itu lebih besar daripada mafsadatnya. Itu pun ketika memang sudah tidak ada lagi dokter perempuan yang ahli serta harus didampingi mahromnya atau suaminya.

Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa, seiring maraknya penyalahgunaan media sosial saat ini, penting bagi kita untuk menimbang kembali dua sisi penggunaannya, negatif dan positifnya, manfaat dan tidaknya, maslahat dan mafsadatnya. Konsep sadd adz-dzariah sangat sesuai untuk diaplikasikan dalam hal ini. Oleh karena media sosial ini termasuk kategori wasilah (mediator), maka apabila penggunaan media sosial dengan segala macam jenisnya seperti facebook, WA dan twitter bisa menjadi sebuah kebaikan dan digunakan untuk hal-hal positif lainnya maka penggunaannya diperbolehkan.

Akan tetapi apabila dalam penggunaannya menyebabkan jatuh kedalam kemaksiatan, tindak kejahatan dan lain sebagainya, maka hukumnya tidak diperbolehkan. Sehingga dengan inilah tujuan daripada syariat akan tercapai. Terakhir, saya teringat dawuh Gus Baha’ “Ya kalo rawan bahaya, lebih baik jangan”.

***

*) Oleh: Alfan Jamil, Dosen Kajian Fiqh Ulama Nusantara di Ma'had Aly Nurul Jadid dan pengajar di PP. Darul Lughah Wal Karomah Kraksaan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES