
TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Jangan remehkan Gen Z. Generasi yang tumbuh di era digital. Mereka terlahir pada masa teknologi informasi mendominasi di berbagai aspek kehidupan. Zaman ini mengantarkan Gen Z memiliki keterampilan tingkat tinggi menggunakan perangkat komunikasi melakukan gerakan moral, kritik atas kebijakan tidak berpihak arus bawah dan pembelaan hak rakyat karena diperlakukan tidak adil oleh penguasa.
Masih teringat dalam memori kolektif di ranah publik. Remaja bernama Bima. Melalui tiktok. Dia menebar konten kritik sosial. Bima berstatus pelajar di Australia mengevaluasi daerah asal. Tak beranjak dari ketertinggalan. Tidak ada kemajuan berarti. Terutama mengenai infrastruktur seperti jalan rusak dibiarkan saja. Tak terurus. Tak ada perbaikan. Kritikan Bima ini menjadi viral.
Advertisement
Kecaman dari Bima mendapat perlawanan dari penguasa setempat. Bima dilaporkan ke polisi atas tindakan membuat konten yang dianggap mencemarkan nama baik provinsi Lampung. Perlakuan aparat. Ingin memperkarakan Bima ke ranah hukum memperoleh simpati. Warga net berbondong-bondong membela Bima. Desakan ini menjadikan orang-orang yang bermaksud memenjarakan Bima mengurungkan niatnya.
Keberhasilan Bima. Bukan hanya terhindar dari jeratan hukum. Konten berisi pembangunan infrastruktur yang gagal. Memancing pejabat tinggi negara ikut cawe-cawe. Terbukti presiden sampai turun tangan. Jokowi langsung melewati jalan rusak yang di infokan oleh Bima via media sosial.
Tidak sekadar berhenti pada Bima. Victoria Lim. Gen Z satu ini menantang Kapolri untuk berdebat. Tantangan debat disampaikan melalui surat resmi dan media sosial. Nyali yang kuat siswi kelas 2 SMA ini dipicu oleh kasus hukum yang menjerat ayah. Masalah hukum menimpa ayah yang berprofesi sebagai advokat dianggap tidak memenuhi rasa keadilan. Realitas tersebut yang menjadikan remaja berusia 16 tahun berani berdebat dengan Kapolri.
Bagi Victoria Lim. Berdebat memberi kesempatan. Adanya keterbukaan mengenai ayah yang ditahan oleh aparat kepolisian gara-gara membela klien. Proses yang berlangsung dari debat. Antara dirinya dengan kapolri dapat dinilai oleh masyarakat secara obyektif. Ayah benar-benat bersalah. Atau ada niat yang tidak baik dari pihak-pihak tertentu untuk meruntuhkan karier ayah sebagai pengacara.
Ada lagi Syarifa. Dia mengkritisi pemerintah kota Jambi. Atas kebijakan pemerintah kota Jambi mengijinkan perusahaan beroperasi menyebabkan rumah nenek rusak. Untuk menyampaikan aspirasi. Syarifah menggugah protes di media sosial. Video yang diunggah oleh siswi SMP ini viral.
“Demonstrasi” yang dilakukan oleh Syarifa melalui media sosial bermaksud menarik perhatian pemerintah kota Jambi agar bertanggung jawab terhadap rumah nenek mengalami kerusakan akibat dari truk milik perusahaan yang lalu lalang di jalan depan rumah tersebut.
“Unjuk rasa” ini memperoleh tanggapan tidak seperti yang diharapkan oleh Syarifah. Dirinya justru dilaporkan oleh pihak yang dikritik. Meski belakangan pemerintah kota Jambi mencabut laporan ke pihak berwajib karena memperoleh desakan dari berbagai kalangan yang menaruh empati pada Syarifah.
Sekarang. Masih hangat. Geger di media sosial. Gadis cantik merupakan bagian dari Gen Z. Berani menuangkan gagasan di depan gambar Kaesang melalui karya video. Inti sari dari orasi gadis cantik adalah meresahkan adanya pemasangan baliho bergambar putera presiden. Berdiri di banyak tempat di Subang. Menurut gadis cantik. Ada 50 baliho berukuran besar. Terpampang di 30 kecamatan.
Selanjutnya dalam keluh kesahnya. Gadis cantik memperkirakan pemasangan baliho itu menelan biaya Rp 1 miliar. Dan sayangnya baliho tersebut tidak berpajak. Juga mengganggu keindahan. Melihat kenyataan Subang penuh sesak dengan baliho Kaesang. Gadis cantik mengungkapkan kegundahan hati dengan berkata: “Kami Muak.”
Menghimpun beragam cerita mengenai nalar kritis dari Gen Z sudah tidak diragukan lagi. Barangkali berbagai cerita yang sudah dikisahkan ini. Baru sejumput kisah. Tentu masih banyak episode-episode lain. Yang jumlahnya lebih banyak. Bertutur mengenai belia yang memiliki kepekaan terhadap beragam persoalan yang terjadi di sekelilingnya.
Sejatinya. mereka mempunyai kebeningan rasa. Hati yang jernih. Melihat realitas. Rasa yang lembut ini ditunjukkan oleh pemihakan terhadap orang-orang yang diperlakukan tidak adil. Nuraninya akan berontak. Bila orang di sekitarnya. Dianiaya oleh pihak lain. Yang memiliki kuasa.
Jiwanya akan tersentuh. Membantu. Bila dirinya menyaksikan orang-orang tak berdaya ditekan oleh pihak yang memiliki kekuatan politik maupun ekonomi. Pembelaan itu disalurkan melalui penciptaan karya kreatif yang diunggah ke media sosial. Karena bagi mereka. No viral. No justice.
Mereka juga berpikir secara obyektif melihat kenyataan. Bila benar katakan benar. Bila salah katakan salah. Realisasinya dapat ditunjukkan pada kemampuan mereka merawat akal sehat dengan membuat opini yang dipresentasikan melalui kanal media sosial. Tujuannya adalah menyampaikan pemikiran tentang kebijakan yang merugikan masyarakat. Dan sekedar menguntungkan orang-orang di seputar penguasa.
Atau mereka memainkan satire. Dikemas apik. Dan disajikan di twitter, youtube, tiktok atau jenis media sosial lain untuk memperlihatkan tindakan dari para petinggi negeri telah mengingkari kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat kepadanya.
Langkah yang ditempuh oleh barisan Gen Z untuk beroposisi itu. Sebenarnya mereka memilih caranya sendiri. Sesuai dengan kondisi. Mereka tumbuh pada situasi teknologi informasi berkembang dengan pesat. Sehingga melalui pemanfaatan teknologi informasi sebagai perangkat perjuangan mengingatkan pemimpin yang sedang diberi tugas menjadikan Indonesia menjadi lebih baik. Tidak salah arah.
Suasana lingkungan yang serba digital itu menuntun mereka menyalurkan aspirasi mengenai realitas sosial, politik, ekonomi maupun budaya ditumpahkan pada media sosial. Realisasinya bisa melakukan kritik tajam berkenaan dengan sisi kelam para pemangku kepentingan negeri ini.
Makanya kalau Gen Z menjaga kewarasan yang diungkapkan dengan kritik. Jangan merasa sakit hati. Dan jangan bungkam ekspresi mereka. Karena sesungguhnya. Mereka sedang mewujudkan rasa cintanya pada Indonesia. Percayalah.
***
*) Oleh : Hadi Suyono, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |