
TIMESINDONESIA, BOGOR – Islam sebagai sebuah “jalan hidup” tentu saja memiliki muatan ajaran yang mengarahkan pemeluknya pada cara-cara yang baik dalam menjalani hidup, baik secara individual maupun sosial. Secara individu setiap muslim harus memiliki pedoman yang memungkinkan dirinya dapat menjadi pribadi yang siap dalam menghadapi tantangan kehidupannya.
Islam memiliki wawasan holistik yang memberikan prinsip-prinsip dasar bagi tindakan pemecahan masalah kehidupan manusia, baik dalam membangun relasi terhadap diri sendiri, relasi terhadap orang lain, relasi terhadap lingkungan, dan relasi terhadap Tuhan. Dengan kata lain bahwa Islam dapat dipandang sebagai perangkat ajaran yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik ekonomi, sosial, politik, budaya, dan lain-lain. (Hamdan, Dialektika Wacana Islam Dan Politik, 2017).
Advertisement
Dialog agama dalam komunikasi politik menjadi tema yang terus berlangsung dalam lintasan sejarah manusia di berbagai dunia, termasuk di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti di Indonesia dan Malaysia dan negara lainnya. Dialektika tersebut semakin jelas dalam konteks perjuangan untuk melawan kolonialisme penjajah maupun dalam merespon modernitas. Sebab, implikasi dari perjuangan itu tidak hanya merdeka secara geografis, namun mandiri secara pandangan hukum.
Pembahasaan ini adalah menegaskan secara historis bahwa perubahan politik sangat terkait dengan konteks dinamika perkembangan umat Islam baik dari sisi pemikiran maupun gerakan sosial. (John L. Esposito, Islam and Politics, 2016). Implikasinya adalah semua produk pemikiran tadi menjadi tidak bebas nilai. (Bryan S. Turner, Religion and Modern Society, 2011). Misalnya, pemerintah melalui kekuasaannya berupaya memproteksi segala aktifitas yang dianggap dapat merongrong kewibawaannya. Sehingga pemerintah akan selalu menjaga melalui perangkat kekuasaan politiknya.
Setiap penafsiran agama agar menjadi bagian dari preferensi hukum masyarakat, tujuannya adalah untuk memperkuat otoritas kekuasaannya tersebut. Di Indonesia, satu dekade belakang ini, berdasarkan rilis beberapa lembaga survei telah menggambarkan dialektika antara agama dalam komunikasi politik yang dinamis. Misalnya hasil survei nasional bulan Maret 2021 yang dirilis oleh Indikator Politik menyebutkan bahwa anak-anak muda Muslim 62% tidak keberatan adanya pembangunan rumah ibadah di sekitar lingkungannya.
Selanjutnya, terdapat 65% yang juga tidak keberatan jika non-muslim melaksanakan acara keagamaan disekitarnya. Namun, berbeda dengan respon mereka terhadap urusan politik. Misalnya 39% mereka tidak setuju orang non muslim menjadi presiden (Burhanuddin Muhtadi, survei Indikator Politik, Jakarta, March 21, 2021). Sementara itu, berbeda dengan hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada bulan September 2019 yang menyebutkan terdapat 53,0% umat Islam pada umumnya keberatan jika non-Muslim membangun rumah ibadah disekitar lingkungannya.
Lebih jauh disebutkan juga bahwa terdapat 59,1% umat Islam keberatan non-muslim menjadi presiden. Namun sebaliknya, terdapat 71,0% non-muslim tidak keberatan orang Islam menjadi presiden. Pada aspek yang lain, terjadi dominasi mayoritas terhadap minoritas dalam urusan layanan publik. Setidaknya terdapat 67,4% orang Islam setuju bahwa pemerintah harus mengutamakan pemeluk agama mayoritas dalam mengambil berbagai keputusan berbangsa, bernegara hingga beragama (Lembaga Survei Indonesia, 03 November 2019).
Uraian data hasil survei tadi sekaligus memperkuat fakta bahwa terjadi ketegangan yang berkelanjutan antara dialog agama dalam ranah komunikasi politik. Satu sisi ada yang bersikap substansial yaitu tanpa memperhatikan aspek-aspek retoris dan simbol keagamaan. Namun sebaliknya ada juga yang bersikap formalistik dengan menekankan kepentingan formalisme keagamaan secara subyektif. (Din Syamsuddin, 2001:152-63).
Inilah realitas yang sangat mempengaruhi cara pandangan para ahli hukum Islam dalam merumuskan aktualisasi ajaran Islam terlebih lagi pada pengamatan pengaruhnya dalam persoalan politik dan hukum. Menurut Asghar Ali Engineer bahwa agama sejatinya memiliki spirit pembebasan atau yang dikenal dengan istilah teologi pembebasan (liberation theology).
Agama bagi Asghar adalah ajaran yang memperjuangkan kelompok tertindas dari tekanan serta merdeka dalam menentukan nasibnya sendiri. Sehingga, setiap individu harus mendapatkan jaminan keselamatan baik dari agama maupun konstitusi negara untuk bebas menentukan pilihannya (Asghar Ali Engineer, 1999:1-2).
Georg Wilhelm Friedrich Hegel, dalam ajarannya. Hegel yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang terdapat di alam semesta ini terjadi dari hasil pertentangan antara dua hal dan yang menimbulkan hal lain lagi. Kemudian Hegel menyempurnakan konsep dialektika dan menyederhanakannya dengan memaknai dialektika ke dalam trilogi tesis, anti-tesis dan sintesis.
Dialektika Hegel mengacu pada metode argumen dialektik tertentu yang digunakan oleh filsuf Jerman abad ke-19. Proses dialektik dengan demikian merupakan metode Hegel untuk berdebat melawan definisi atau pandangan yang sebelumnya, kurang maju dan untuk yang lebih maju nanti.
Hakekatnya "Dialektika" adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan metode argumen filosofis yang melibatkan semacam proses yang bertentangan antara pihak yang berlawanan. Hegel dikenal sebagai filsuf yang menggunakan dialektika sebagai metode berfilsafat, menurut Hegel adalah dua hal yang dipertentangkan lalu didamaikan, atau biasa dikenal dengan tesis (pengiyaan), anti tesis (pengingkaran) dan sintesis (kesatuan kontradiksi). Pengiyaan harus berupa konsep pengertian yang empiris indrawi.
Pengertian yang terkandung di dalamnya berasal dari kata sehari-hari, spontan, bukan reflektif sehingga terkesan abstrak, umum, statis dan konseptual. Pengingkaran adalah konsep pengertian pertama (pengiyaan) dilawan-artikan, sehingga muncul konsep pengertian kedua yang kosong, formal, tak tentu dan tak terbatas.
Menurut Hegel, dalam konsep kedua, sesungguhnya tersimpan pengertian dari konsep yang pertama. Konsep pemikiran kedua ini juga diterangkan secara radikal agar kehilangan ketegasan dan mencair. Kontradiksi merupakan motor dialektika (jalan menuju kebenaran) maka kontradiksi harus mampu membuat konsep yang bertahan dan saling mengevaluasi.
Kesatuan kontradiksi menjadi alat untuk melengkapi dua konsep pengertian yang saling berlawanan agar tercipta konsep baru yang lebih ideal. Karena pada umumnya, model berpikir eksklusif dan inklusif seringkali dihubungkan dengan pengaruh teologis dari agama lain, namun mengabaikan faktor situasi sosial politik.
Tujuan penulis membicarakan hal ini adalah untuk menunjukkan bahwa konsep eksklusif maupun inklusif adalah cara untuk merespon realitas agama dalam ruang komunikasi politik. Pengaruhnya terhadap perubahan pilihan calon presiden dan wakil presiden tidak bisa saling meniadakan, namun dipahami secara dialektik.
Adapun pengertian dialektika dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah berbahasa dan bernalar dengan dialog sebagai cara (metode) untuk menyelidiki suatu masalah. Dialektik (Dialektika) berasal dari kata dialog yang berarti komunikasi dua arah, istilah ini telah ada sejak masa yunani kuno ketika di introdusir pemahaman bahwa segala sesuatu berubah (panta rei).
Berbagai studi tentang hubungan antara perilaku penganut agama di ruang komunikasi politik telah dilakukan oleh banyak sarjana. Misalnya Sunaryo yang menggambarkan eksistensi agama dalam perkembangan demokrasi dan keadilan (Sunaryo, Hubungan Agama dan Politik, December 27: 2020).
Para Negarawan banyak yang menguraikan hubungan agama dan negara secara harmonis dalam bentuk hukum positif yang selalu berlandaskan ketuhanan yang maha esa, sebagaimana tertuang dalam sila ke 1 dalam rumusan Pancasila. Sebab, keberadaan kalimat ketuhanan yang maha esa juga berimplikasi pada pengakuan negara terhadap agama serta jaminan melaksanakan keyakinan terhadap ajaran agama tersebut (Ahmad Sadzali, Hubungan Agama dan Negara di Indonesia, Jurnal Hukum. Desember, 2020).
Studi yang lebih praktis tergambar dalam salah satu tulisan yang menunjukkan pengaruh politik praktis telah berhasil melahirkan identitas agama yang sangat kuat (M. Ridwan Effendi dkk, Pertalian Agama, Jurnal Ilmiah mimbar demokrasi, 2020). Pengaruh yang sama juga digambarkan oleh Sudirman tentang lahirnya pemimpin politik telah mempengaruhi hubungan agama dan negara yang sangat dinamis.
Hanya saja, masih terdapat ruang kosong tentang kecenderungan terkait dialektika antara agama dalam komunikasi politik yang menjadi rumusan dan pedoman dialektika agama di ruang komunikasi politik (Sudirman, Hubungan Negara Dan Agama, Scholastica: Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan, 2020). Itulah yang menjadi kontribusi penting dari tulisan ini.
Dalam ruang komunikasi politik idealnya segala bentuk komunikasi bisa terbangun secara utuh membicarakan apapun bahasannya, tentunya segala hal yang lebih identik dengan ruang politik, contohnya terkait perkembangan ekonomi, sistem tata Negara, kesejahteraan rakyat dan hal lainnya yang bisa dijadikan indikator kemajuan politik.
Islam sebagai sebuah agama yang murni diturunkan oleh Tuhan secara langsung kepada umatnya melalui seorang nabi yang bernama Muhammad, tentunya sudah by desain dari Tuhan karena agama ini jelas sekali di takdirkan sebagai sebuah agama yang bersifat universal mampu diterima oleh penganut agama apa pun dari sisi ajaran kemanusiaannya. Dalam agama Islam pula manusia di muka bumi ini diberikan contoh bagaimana ruang politik dan agama mampu berjalan beriringan sebagaimana yang telah di dapati dalam sosok Nabi Muhammad yang di daulat sebagai pemimpin umat ketika beliau membangun peradaban kota madinah.
Maka bagi umat Islam membicarakan agama dalam ruang komunikasi politik bukanlah hal yang tabu dan menjijikan. Tapi justru sebaliknya merupakan suatu keharusan yang wajib dipahami secara sempurna karena konsep kepemimpinan dalam agama merupakan satu kesatuan yang utuh dengan ajarannya.
Ajaran Islam tidak pernah men dikotomi antara pengetahuan agama dan pemerintahan khususnya strategi politik (syasiah) karena hal tersebut sudah jelas sekali dicontohkan oleh nabinya sendiri sebagai pemimpin umat dan pemimpin politik dalam pemerintahan. Jadi membangun dialog agama dalam komunikasi politik bagi umat Islam merupakan sesuatu yang harus dilakukan demi memberikan pemahaman secara utuh kepada siapa pun yang mencoba memisahkan agama dan politik.
Penulis memilik pandangan yang sama pula dengan beberapa tokoh agama, yang menyatakan bahwa agama adalah pedoman utama dalam membangun suatu pemerintahan yang sempurna menuju Negara yang adil makmur, sejahtera rakyatnya dan damai kondisinya, kekuatan agama sudah terbukti mampu menjadi benteng kokoh suatu pemerintahan yang sempurna apalagi kalau para pejabat negaranya juga meyakini secara sempurna pemahaman agamanya sudah bisa dipastikan Negara tersebut akan selalu ada dalam keridhoan dan lindungan Tuhan yang maha kuasa.
Semoga dialog agama dalam ruang politik di Negara kita Indonesia senantiasa menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan dan digiatkan oleh pemerintah agar pengelola Negara dan rakyatnya semakin mampu memahami secara mendalam antara keyakinan menjalankan ajaran agama dan menjaga kedaulatan Negara suatu bangsa merupakan bagian dari rukun iman setiap ajaran agama yang ada di Negara Indonesia.
***
*) Oleh : Teddy Khumaedi (Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam, Institut Ummul Quro Al-Islami Bogor)
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |