Kopi TIMES

Transformasi Digital dan Pendidikan di Indonesia

Selasa, 05 Desember 2023 - 14:22 | 88.27k
Mubasyier Fatah, Bendahara Umum Pengurus Pusat Mahasiswa Ahlith Thoriqoh Al-Mu'tabarah An-Nahdliyyah (PP Matan) dan Koordinator Bidang Ekonomi Kreatif Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU).
Mubasyier Fatah, Bendahara Umum Pengurus Pusat Mahasiswa Ahlith Thoriqoh Al-Mu'tabarah An-Nahdliyyah (PP Matan) dan Koordinator Bidang Ekonomi Kreatif Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU).
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kemajuan teknologi dan kapasitas transformasi virtual telah mengubah gaya hidup dan cara berkomunikasi umat manusia dan cara beroperasi aneka industri di seluruh dunia. Tidak terkecuali mengubah cara orang berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain di sektor pendidikan. 

Sebelum pandemi Covid-19 menyerang dunia pada awal tahun 2020, tercatat 70 persen akademisi Universitas di seluruh Eropa dan Amerika Utara belum pernah mengajar secara online. Namun, pada akhir tahun 2020, 87 persen institusi pendidikan mengeksplorasi cara-cara baru secara on-line dalam pengajaran. Kini, pada 2023, semua institusi disana telah memiliki software kuliah on-line dan memanfaatkan teknologi digital (digitalisasi pendidikan). 

Advertisement

Merebaknya pandemi Covid-19 selama tahun 2020-2021, memaksa semua negara di dunia menerapkan pembelajaran online. Kemudian, selaras dengan kemajuan teknologi virtual, semua institusi pendidikan pun mengarahkan diri ke transformasi digital dan mengembangkan literasi digital.

Bagi Indonesia, transformasi digital dalam proses pendidikan menjadi langkah yang sangat penting dan relevan supaya Indonesia dapat berkompetisi dalam kancah perekonomian internasional yang semakin bernuansa digital. 

Sekolah Lama ke Sekolah Baru

Penelitian dan analisis  ilmiah yang dilakukan di berbagai negara  mengenai digitalisasi pendidikan memungkinkan kita untuk membuat kesimpulan bahwa saat ini sedang terjadi transisi dari “sekolah model lama” ke “sekolah model baru”. Sekolah model baru berfokus pada konteks pembelajaran berbasis teknologi komputer dan internet serta jejaring sosial. 

Di dalamnya terjadi gaya interaksi dan komunikasi yang beraneka ragam, di mana interaksi tatap muka menjadi hanya sebuah alternatif, di antara berbagai bentuk interaksi artifisial yang dimungkinkan oleh teknologi informasi dan jaringan internet.

Pada sekolah versi baru, para siswa dibantu untuk merancang kegiatan atau pekerjaan mereka sendiri berkaitan dengan subjek yang diminati sehingga kemudian memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang dapat membawa keunikan sekaligus kemajuan untuk komunitas mereka sendiri. Sementara itu, guru memiliki akses ke sumber daya gratis untuk mengajar siswa membuat produk digital mereka.

Bahkan, di sejumlah negara maju, sekolah versi baru diperkuat oleh perusahaan mitra pemilik merek-merek ternama. Mereka memberikan dukungan finansial dan keahlian secara sukarela untuk memaksimalkan benefit dan menjaga proses pembelajaran di sekolah terjadi 100 persen tanpa biaya yang dibayarkan oleh orang tua atau wali.

Tidak Seindah yang Dibayangkan

Transformasi virtual di dunia pendidikan menjadi isu yang semakin menjadi sorotan banyak orang. Misal, berkenaan dengan peringatan Hari Guru Nasional 2023 pada 25 November lalu, Dr. M. Hasan Chabibie, Praktisi Pendidikan, Pengasuh Pesantren Baitul Hikmah, Depok Jawa Barat; Ketua Umum Matan Nahdlatul Ulama menulis sebuah artikel yang menyoroti tren digitalisasi pendidikan di Indonesia. Melalui artikel yang ditayangkan di Times Indonesia (Minggu, 26/11) itu, Chabibie mengemukakan bahwa di tengah tren digitalisasi pendidikan, guru memainkan peran penting. 

Chabibie berpendapat guru, terutama yang punya dedikasi dan memiliki kapasitas intelektual, kecerdasan emosional dan spiritual adalah kunci utama untuk melakukan akselerasi pendidikan. 

Menurut dia, di tangan guru yang memahami tren digitalisasi secara komprehensif, siswa-siswa mendapatkan petunjuk untuk menerka tanda-tanda zaman. Sebab, tulis dia lagi, guru dengan kapasitas intelektual yang terkoneksi dengan kapasitas intelektual dan spiritual, akan mampu mendidik peserta didik sehingga menjadi manusia yang mampu mengatasi berbagai tantangan hidup pada zamannya.

Tentu saja, apa yang disoroti Chabibie sangat tepat. Secara ideal, begitulah seharusnya profil guru di era digitalisasi pendidikan. Sayangnya, profil guru sebagaimana disebutkannya itu, masih jauh dari kenyataan. 

Berdasarkan Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) bertajuk ‘Statistik Pendidikan 2020’ Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengungkapkan jumlah guru di Indonesia pada tahun ajaran 2019/2020 adalah 2, 89 juta orang. 

Hasil penelitian Rosmalah dkk dari Universitas Makasar (2020), menunjukkan bahwa hanya 33,33 persen guru yang mengetahui Learning Management System (LMS) sebagai platfrom pembelajaran daring menggunakan media WhatsApp dan Zoom.

Juni 2023, Kemendikbudristek mengungkapkan bahwa pada semester ganjil tahun ajaran (TA) 2023/2024 terdapat 3,36 juta orang juta guru di Indonesia. Jumlah guru yang memiliki kompetensi virtual tidak diidentifikasi. 

Meski demikian, dapat diduga jumlah guru ber literasi virtual atau digital belum bertambah secara siginfikan dari tahun 2020 lalu. Betapa tidak, belum lama ini, Ketua Tim Literasi digital Sektor Pendidikan Bambang Tri Santoso mengemukakan bahwa Gerakan Nasional Literasi Digital sudah bergulir sejak 2019.

Menurut dia, tujuan dari literasi digital di segmen pendidikan tahun 2023 ini sebanyak 250 ribu pendidik (guru) yang meraih literasi digital. Dengan asumsi setiap tahun ada 250 ribu guru yang meraih kompetensi virtual, maka dalam periode empat tahun terakhir (2019-2023) baru ada sekitar 1 juta guru yang berkompetensi digital. Jumlah tersebut setara 30,36 persen dari three 36 juta guru seluruhnya, tak banyak bergeser dari kondisi tahun 2020 lalu.

Angka-angka tersebut, secara kasat mata memperlihatkan kepada kita  bahwa secara umum para guru di Indonesia belum dibekali kompetensi digital secara memadai dan merata. Hingga saat ini, para guru di daerah pedesaan masih identik dengan pendidik yang 'gagap virtual'. Mereka masih asing dengan metode cyberpedagogy dan bekerja pada platform online. 

Tantangan Lainnya 

Sebetulnya, tantangan atau kendala dalam mengembangkan transformasi digital pendidikan di Indonesia tidak terletak pada faktor guru semata. Memang benar, sebagian besar dari mereka belum ‘melek digital’. Namun, hal tersebut tejadi karena ada rentetan masalah lain yang belum ditangani secara baik.

Pertama, kesenjangan virtual yang sangat lebar. Banyak guru dan siswa serta orang tua atau wali di kota-kota tak mengalami kesulitan berarti dalam mendayagunakan perangkat teknologi virtual dan mengakses jaringan internet untuk mendukung proses pendidikan.

Namun, tidak demikian halnya dengan para guru dan siswa serta orang tua atau wali di daerah, terutama di tingkat Kecamatan dan Desa. Para guru, siswa dan orang tua atau wali di Desa masih sulit mengakses informasi melalui internet. Pasalnya,  infrastruktur telekomunikasi yang memfasilitasi komunikasi nirkabel antara perangkat komunikasi dan jaringan operator seperti Base Transceiver Station (BTS)  belum hadir di semua daerah. 

Sementara itu, perangkat teknologi digital pendidikan seperti komputer atau laptop tidak dimiliki oleh semua guru, dan handphone tidak dimiliki oleh semua siswa dan orang tua atau wali. Kalau pun internet, komputer dan handphone tersedia, pada umumnya para guru, siswa dan orang tua atau wali enggan membeli pulsa  karena harganya yang relatif mahal.

Tantangan berat lainnya adalah kelebihan informasi yang disajikan oleh teknologi informasi. Internet ibarat sebuah lautan informasi yang sangat luas. Oleh karena itu, upaya untuk menemukan data dan informasi yang akurat dan dapat diandalkan, menjadi suatu kegiatan yang sangat melelahkan. Dibutuhkan waktu dan energi ekstra serta keterampilan berpikir kritis untuk bisa membedakan fakta dari fiksi online.

Privasi dan keamanan adalah sebuah masalah tersendiri. Pada umumnya, publik, tak terkecuali mereka yang berada di sektor pendidikan, kurang peduli dengan  privasi dan risiko keamanan online. 

Banyak sekolah, berbagai informasi seperti soal ujian atau tugas dari guru, dan lembaran jawaban dari para siswa berseliweran tanpa ‘dipagari’ secara baik. Akibatnya, pada satu sisi soal ujian bisa bocor sebelum waktunya. Pada sisi lain, para siswa mengerjakan soal ujian atau tugas tanpa harus mengerahkan kemampuan berpikir, tetapi mengandalkan mesin pencari google, atau berbagi jawaban dengan sesama teman sekelas. Kejujuran, kemandirian, tanggung-jawab menjadi nilai-nilai dalam pembentukan karakter peserta didik, menjadi terabaikan.

Masalah berikutnya muncul karena kesadaran dan minat yang rendah terhadap pentingnya teknologi digital. Secara demografis dan kultural, lansia dan perempuan di wilayah tertentu memiliki kesadaran dan minat yang lebih rendah terhadap teknologi virtual dibandingkan dengan kaum muda dan pria. 

Terakhir adalah kesenjangan pendidikan. Hingga kini banyak institusi pendidikan yang tidak memprioritaskan literasi digital.  Akibatnya, para siswa tidak memiliki bekal literasi virtual yang memadai. Padahal, mengintegrasikan keterampilan digital ke dalam proses pembelajaran di sekolah adalah hal mutlak agar para peserta didik menjadi lulusan yang siap masuk ke masyarakat yang menyediakan lapangan kerja yang semakin bernuansa digital. 

Tentu saja, berbagai kendala atau tantangan sebagaimana disebutkan di atas tidak mudah untuk ditangani. Untuk menyelesaikannya membutuhkan program kegiatan yang menelan anggaran biaya besar. Selain itu, pemerintah perlu memiliki top will dan komitmen tinggi, dan seluruh elemen bangsa harus siap untuk berpartisipasi dan kolaborasi secara sinergis. 

Namun, bagaimanapun semua masalah tersebut harus dicarikan solusinya. Sebab, hanya dengan cara itu kita dapat lebih mudah melakukan transformasi digital di sektor pendirikan dan lebih cepat bergerak menuju masyarakat yang lebih melek digital secara berkeadilan, efektif dan bertanggung jawab. 

***

*) Oleh: Mubasyier Fatah, Bendahara Umum Pengurus Pusat Mahasiswa Ahlith Thoriqoh Al-Mu'tabarah An-Nahdliyyah (PP Matan) dan Koordinator Bidang Ekonomi Kreatif Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES