Kopi TIMES

Krisis Petani Muda

Selasa, 05 Desember 2023 - 16:36 | 52.75k
Ikhsan Aji Pamungkas, Sarjana Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Ikhsan Aji Pamungkas, Sarjana Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Berangkat dari artikel tirto.id berjudul Indonesia Krisis Regenerasi Petani Muda yang ditulis oleh Akhmad Muawal Hasan yang menceritakan pengalaman Nur Ainu Suthon, seorang mahasiswa Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada yang meresahkan generasi muda tidak memiliki ketertarikan menjadi petani. 

Suthon memilih menimba menjadi mahasiswa Agronomi karena kedua orang tuanya menjadi petani dan terkesima salah satu guru di sekolahnya lulusan pertanian. Setelah memasuki dunia perkuliahan, Sulthon merasakan keganjilan sebab orang tuanya menginginkan anaknya untuk bekerja di perkantoran yang sebelumnya bercita-cita setelah lulus akan kembali ke desa untuk meneruskan profesi petani dari orang tuanya. Suthon juga melihat pada teman-temannya yang banyak menyimpang dari profesi yang dicita-citakan oleh fakultasnya. 

Advertisement

Suthon mengatakan “Baru lima orang yang kukenal yang benar-benar jadi petani. Itu pun bukan dari angkatanku saja, tapi juga dari angkatan 2009, 2010, dan 2011. Masih di sektor perusahaan pertanian seperti sawit, sih, tapi yang lain ujung-ujungnya ke bank, karyawan kantor, dan lain sebagainya."

Dari permasalahan tersebut dapat dilihat bahwa Indonesia pada masa revolusi 4.0 memiliki masalah krusial mengenai regenerasi petani muda. Petani merupakan aset bangsa sangat berharga yang mampu menyediakan pangan bagi masyarakat seluruh Indonesia berupa butir-butir beras kemudian dimasak menjadi nasi. Nasi menjadi sebagai makanan pokok masyarakat sejak masa Orde Baru melalui intensifikasi pertanian dalam gebrakan Revolusi Hijau. Di mana pada saat itu padi berlimpah ruah menjadikan Indonesia sebagai negara swasembada pangan. 

Pada masa Orde Lama, masyarakat Jawa mengalami kekurangan pangan yang disebabkan produktivitas pertanian mengalami stagnan dan penduduk mengalami peningkatan. 

Sejarah Pertanian dari Masa ke Masa di Pulau Jawa

Sawah sudah tumbuh subur sejak masa Kolonial Belanda. Pada artikel tirto.id berjudul Sejarah Sawah di Zaman Kolonial ditulis Irfan Teguh menjelaskan mula-mula sawah hadir di Jawa lalu menyebar ke pelbagai wilayah lain. Namun, narasi mengenai kemunculan sawah di Jawa belum sepenuhnya ditemukan. 

Dalam artikel ini penulis mencoba untuk menjelaskan alasan belum ditemukannya narasi mengenai itu dengan mengutip pernyataan Denys Lombard. Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya 3; Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris (2018), ada tiga hal yang menyebabkan hal tersebut. Pertama, karena kekurangan monografi lokal. 

Kedua, ketidaksinambungan sumber-sumber. Ketiga, saat dokumen tentang masalah ini telah berlimpah, historiografi agraris Jawa belum ada yang dapat diterima secara pasti (Teguh,2019). Teguh menuliskan juga dalam artikelnya bahwa Pegawai pemerintah Hindia Belanda yang diutus oleh Gubernur Jenderal Rijcklof van Goens (1678-1681) melaporkan perjalanannya dari Semarang ke Mataram. 

Ia menyebutkan betapa luasnya daerah persawahan sepanjang perjalanan yang ia lintasi, apalagi sesudah pintu Gerbang Selimbi (atau Slembi yang dekat Gunung Merbabu) yang merupakan pintu masuk ke Mataram. Artinya, sawah pada masa pemerintahan Hindia Belanda sudah ada.

Sebelum masa Kolonial Belanda, persawahan sudah mulai subur di Masyarakat Jawa Kuno masa Mataram Kuno yang dinarasikan pada artikel Historia berjudul Bertani Zaman Kuno ditulis oleh Risa Herdahita Putri menjelaskan relief-relief di Candi Borobudur telah menggambarkan kegiatan pertanian masyarakat Jawa kuno. Risa menuliskan tikus-tikus menyerang ladang. Seorang laki-laki nampak sedang membakar sesuatu. Asapnya diarahkan pada ladang yang sedang diserang tikus itu. Dia hendak menghalau tikus-tikus itu agar tak mengganggu ladangnya. 

Penggambaran itu terpahat pada relief Karmawibhangga di Candi Borobudur. Pada panil relief lainnya, babi muncul sebagai pengganggu. Ia pun ditombak oleh warga. Risa menambahkan Di panil lain digambarkan dua orang yang bertugas menjaga sawah. Mereka menunggu di dalam gubuk di tengah sawah. Ada pula seekor anjing yang berbaring di bawah gubuk itu. Pada tulisannya Risa menyimpulkan kegiatan pertanian di Jawa sudah dilakukan oleh masyarakat sejak Mataram Kuno yang menjadi sumber perekonomian kerajaan melalui pertanian yang dapat dibuktikan secara arkeologis berupa relief-relief Candi Borobudur yang merupakan peninggalan dari kerajaan Mataram Kuno Dinasti Syailendra.

Pada masa Orde Lama, pertanian sempat menjadi kebijakan strategis di masa awal pemerintahan Orde Lama. Pertanian sebagai politik pangan yang menyimbolkan kepedulian terhadap rakyat sekaligus menjadi alat diplomasi antar negara. Pada tahun 1946 India mengalami kegagalan panen sehingga menghadapi ancaman bahaya kelaparan. 

Pemerintah Indonesia dibawah Perdana Mentri Sutan Sjahrir memngambil inisiatif untuk memberi bantuan berupa 500.000 ton beras kepada pemerintah India. Namun, kurangnya pada masa orde lama dapat tergantikan, orde baru, banyak menyetak prestasi dalam hal pembangunan, khususnya pertanian yang berlimpah ruah sehingga menjadi negara swasembada pangan. 

Pada masa saat ini, pertanian menjadi barang tak asing buat negara. Namun, kemakmuran yang diperoleh dari pertanian hanyalah sekadar hembusan angin. Dinamika terjadi pada pertanian seakan tak ada solusi yang jitu untuk mengembalikan pertanian di Indonesia pada masa kejayaannya. Sebagai contoh, ketika mencari kata kunci “pertanian” pada pemberitaan liputan6.com, maka artikel berita yang keluar mengenai berita kurang menyenangkan. Artinya permasalahan pertanian di Indonesia terus terjadi dan pemerintah sudah berusaha menawarkan solusi-solusi namun ada saja permasalahan itu datang seperti inovasi pertanian, keterbatasan lahan pertanian, impor beras, hingga regenerasi petani saat ini mengancam Indonesia. 

Berkaitan regenerasi petani di Indonesia menjadi diskusi terpenting untuk saat ini karena para pemuda enggan beraktivitas dengan suasana panas dan kotor demi mengais penghasilan dari sana. konom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan, milenial Indonesia yang berjumlah sekitar 90 juta orang saat ini memang banyak yang sudah tidak tertarik bergelut di sektor pertanian. Padahal menurutnya, pertanian merupakan kunci yang bisa membuat Indonesia jadi negara maju berkat ketahanan pangan. Oleh karenanya, Bhima menganggap perlu adanya regenerasi petani selaku penggiat usaha di sektor tersebut.

Kehidupan Petani Dulu dan Saat Ini

Petani adalah orang yang pekerjaannya bercocok tanam pada tanah pertanian (Rohim, 2018). Definisi petani menurut Anwas (1992 :34) dalam (Rohim, 2018) mengemukakan bahwa petani adalah orang yang melakukan cocok tanam dari lahan pertaniannya untuk memperoleh kehidupan dari kegiatan itu. Pendapat Anwas menunjukan bahwa subsisten adalah cara petani menghidupi dirinya dan keluarganya dengan hasil pertanian. 

Subsisten juga dilakukan orang Desa dalam menghidupi dirinya dan keluarganya karena pada masa dulu aksesibilitas menuju ke Desa sangat sulit, sehingga masyarakat Desa yang notabene mata pencaharian dari pertanian juga memenuhi kebutuhan pokoknya dengan hasil pertanian pula. Dalam sistem pertanian subsisten, masyarakat Desa sebagian besar menyandarkan kehidupannya pada hasil-hasil pertanian seperti padi sawah, palawija, ladang dan hasil pekarangan. Aktifitas pertanian dilakukan semata untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dus, masyarakat pertanian dengan sistem subsisten ini cenderung makmur, memiliki cadangan pangan yang cukup sampai masa panen selanjutnya.  

Kehidupan pertanian di pedesaan Jawa telah dinarasikan oleh Robert W Hefner pada bukunya Geger Tengger menjelaskan Masyarakat Tengger mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Dalam bukunya, Hefner menceritakan Pada abad XVIII M, disebutkan dalam laporan dibuat orang Eropa bahwa yang terpenting adalah komoditas pertanian cabe dan kentang. Referensi juga menyebutkan dilakukan pengusahaan hasil-hasil bumi seperti sayuran bunga, stroberi, anggur, dan bermacam-macam sayuran hijau. 

Sebenarnya seluruh tanaman tersebut ditujukan bagi konsumsi orang-orang Eropa dan Cina yang berkembang secara pesat di Kota Surabaya, Malang, Pasuruan dan Probolinggo dan pada periode ini petani miskin mengadaptasi secara cepat peluang perdagangan yang baru ini. 

Pada masa pendudukan Jepang terjadi pergeseran bahkan depresi. Pada awalnya langkah Jepang dianggap menarik simpati rakyat pribumi untuk mengambil alih pertanian milik orang-orang Eropa dan memotong pengusahaan pertanian milik orang Eropa dan membakarnya menjadi arang. Mereka kemudian diminta melaksanakan kebijakan politik pertanian dengan membatasi pengusaha tanaman perdagangan mereka dan mencukupkan saja untuk konsumsi pribadi rumah tangga serta menggantinya dengan tanaman Pohon Jarak, sebagai bahan bakar minyak. 

Berakhirnya Perang Dunia II membawa kelegaan ekonomi tahun 1945 dan para petani menebangi pohon-pohon jarak, menghapus koperasi-koperasi peninggalan Jepang. Para petani Tengger mampu bertahan hidup dengan subsisten yakni menghidupi kesehariannya dengan hasil pertaniannya. Bahkan, petani-petani kaya memiliki sapi kemudian kotoran sapi dijadikan pupuk untuk digunakan dikonsumsi pertaniannya dan ada juga di jual kepada yang lain.

Pada bangkitnya era Orde Baru, daerah pegunungan memulai fase komersialisasi dan bertransformasi melalui teknologi pertanian yang diperkenalkan melalui program Revolusi Hijau. Segera hal ini diiringi dengan transformasi yang lebih substansial dalam produksi kelas, dan komunitas masyarakat Tengger. Pada program Revolusi Hijau dicanangkan oleh pemerintah bahwa kebijakan pemakaian pupuk kimia, intensifikasi pertanian, ekstensifikasi pertanian seperti makanan sehari-hari kegiatan pertanian yang dilakukan masyarakat Tengger yang notabene petani. 

Kebiasaan-kebiasaan lama mulai ditinggalkan seperti subsisten dan membuat pupuk sendiri. Bahkan, sapi menjadi tidak laku sebagai alat pembajak sawah yang diganti oleh pemerintah melalui bantuan dengan traktor. Kehidupan petani saat ini hanyalah melanjutkan dari programnya Orde Baru yang segala sesuatu sudah memakai teknologi pertanian untuk mencapai perekonomian unggul. Namun, politik pemerintah seakan tidak menghargai jasa-jasa petani dengan melakukan impor kebutuhan pokok. 

Generasi Milenial juga ikut berdampak adanya impor sehingga generasi tersebut diibaratkan menjadi raja yang harus dipenuhi kebutuhannya. Perilaku konsumtif ini sudah menjadi gaya hidup masa saat ini. Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan generasi muda di Indonesia lebih memilih berkarya di sektor industri dibanding mengembangkan sektor pertanian. Salah satu alasan yang mendasarinya adalah rendahnya pendapatan di sektor pertanian. Meski begitu, hanya satu solusi untuk membangkitkan pertanian di Indonesia adalah penghargaan kepada petani yang harus dijunjung tinggi.

***

*) Oleh : Ikhsan Aji Pamungkas, Sarjana Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya UGM.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES