
TIMESINDONESIA, MALANG – Dari debat Cawapres kemarin malam, memang perhatian publik tertuju kepada Gibran. Hal ini akibat isu nepotisme yang menimpanya pasca putusan MK yang diduga memuluskannya untuk maju.
Strategi komunikasi Gibran berfokus pada key-message bahwa dia adalah calon yang mampu. Karena itu, di satu sisi, gaya debat Gibran mampu mentransmisikan bahwa dia percaya diri. Dalam hal aliran kata, gibran tidak kalah dengan lawannya, yakni berkata-kata tanpa jedah atau berhenti alias lancar sehingga mampu mengimbangi pesaing, bahkan dia sedikit di atas Cak Imin.
Advertisement
Percaya diri ini tergambar dalam (1) intonasi dan tempo (para-language) yang berapi-api sekaligus ingin mencerminkan tipikal orang berusia lebih muda.
(2) Gibran juga mencoba mengeluarkan kata-kata baru yang tipikal anak muda, seperti SGIE, dan carbon capture sehingga bisa muncul kesan sebagai calon yang pintar.
(3) Usaha menepis isu nepotisme ini juga ditunjukkan dengan berani menyerang lawan. Misalnya, menuduh Cak Imin tidak konsisten tentang IKN atau menganggap dua pesaingnya tidak memikirkan hilirisasi. Tentu ini bisa menjadi daya magnet memunculkan kesan "berani, tegas".
Tiga hal itu memang bisa membuat persepsi positif pada Gibran.
Namun gaya komunikasi Gibran juga memunculkan kekurangan. Pertama, Beberapa kali salah klaim. Misalnya, dia omong: "IKN sudah ada investor masuk". Ditanya Mahfud: "Nggak ada itu investor, semua pakai APBN. Coba sebutkan investornya?". Gibran: "bisa di googling, ada agung sedayu". Mahfud merespon bahwa investor masih janji-janji". (saya pun coba googling, memang belum ada kepastian eksekusi berapa uang masuk dan investasi di bidang apa. Memang ada investor yang menyatakan siap tapi, belum ada kepastian jadi atau tidaknya).
Kedua, Salah menyimpulkan. Contoh: Dua kali dia salah menyimpulkan omongan Cak Imin bahwa cak imin tidak setuju IKN, dengan mengaitkan bahwa Cak.Imin terkesan plin plan, dulu setuju sekarang tidak setuju hanya karena jadi cawapresnya Anies. Padahal, cak Imin tidak menyatakan tidak setuju, tapi, hanya mengkritik IKN. Ketiga, Melanggar aturan tentang tema, saat menanyakan carbon capture.
Keempat, Terkesan paling emosional terutama menanggapi pertanyaan atau respon lawan. Termasuk sudah prejudice terhadap pertanyaan lawan. Misalnya, menuduh bahwa pertanyaan Cak Imin tentang tips banyaknya proyek nasional di Solo mengandung tendensi negatif.
Kelima, Dari diksi dan para-language Gibran terkesan menggurui. Misalnya, menggunakan diksi bahwa "dua lawannya tidak paham", "dua lawannya tidak konkret karena tidak berpikir tentang hilirisasi. Hal ini direspon Mahfud bahwa hilirisasi sudah menjadi bagian strateginya. Keenam, Terkesan tidak menunjukkan adab kepada yang lebih tua, yakni berbicara tanpa ewuh pakewuh, layaknya orang Jawa.
Namun, orang lebih sering memperhatikan debat dari omongan-omongan dan gimmick yang tampak. Penonton sering tidak sempat menelaah lebih detail isi omongan.
Akibatnya, aspek kekurangan Gibran ini cenderung lebih tertutupi jika penonton tidak detail menelaah. Poin tentang adab tentu relatif pada lintas generasi. Jika sasaran adalah anak muda medsos sekarang, tentu kesan tentang adab ini tidak muncul.
Gibran tampak menembak anak muda. Mahfud menembak kelompok yang lebih dewasa dan rasional. Tidak heran, Mahfud lebih menampilkan data konkret, terutama saat ending, dengan menyampaikan secara terbuka 21 program sebagai janji politiknya. Hal ini bisa muncul kesan sebagai lebih berani untuk ditagih janjinya oleh publik. Esensi debat mestinya menyampaikan.janji politik secara rasional dan konkret.
Mahfud mengkomunikasikan kapasitasnya yang berpengalaman nasional, memahami problem yang terjadi di pemerintahan sekarang, dan kemampuan koordinasi dengan pejabat lainnya. Berbeda dengan Gibran yang hanya menjual pengalaman di Solo.
Mahfud tampak lebih taat aturan debat dibanding dua calon lainnya. Tapi, ada satu hal yang menimbulkan kesan, mahfud agak berpikir keras, sehingga kurang to the point saat menjelaskan carbon picture, meskipun dia akhirnya mengkritik bahwa pertanyaan Gibran tentang carbon.picture ini salah tema.
Mahfud lebih memposisikan diri memadukan antara melanjutkan program pemerintah dan mengkritiknya. Tentu berbeda dengan.Gibran yang banyak.menampilkan lagi program jokowi.
Cak Imin lebih menembak oposisi. Cuman, Cak Imin yang terkesan kurang persiapan matang. Hal yang paling menjatuhkan adalah ketidaktahuannya tentang SGIE.
Adalah wajar, jika akhirnya, Gibran dan Mahfud yang lebih bersaing dalam debat. Dari sentimen di twitter, Gibran hanya unggul 1% (70%) dalam hal sentimen positif dari Mahfud (69%), sedang untuk sentimen negatif, Mahfud mendapat lebih sedikit (16%) dan Gibran 23% (selisih 7%).
Hasil sentimen netizen ini agak mengkuatirkan bagi Gibran, karena data ini diambil dari twitter, tempat mengumpulnya target segmen Gibran.
***
*) Oleh: Prof Rachmat Kriyantono, Guru Besar Ilmu Humas; Anggota Senat Akademik UB; Anggota Dewan Profesor UB.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |