
TIMESINDONESIA, SITUBONDO – Bukan suatu bentuk anomali pada tiap menjelang hajatan Pilkada di Situbondo, berjejer baliho ditempat strategis dengan berbagai ukuran dan warna yang variatif sesuai dengan karakteristik koalisi partai. Tak ketinggalan juga wajah beberapa tokoh yang memiliki peran fundamental di Situbondo ikut terseret sebagai bentuk dukungan kepada calon yang dianggap layak dan siap tarung. Ada juga yang menyuarakan dukungannya melalui narasi yang tersebar di media sosial.
Pola pikir rakyat Situbondo notabene yang masih fanatik terhadap partai politik, tokoh, dan keagamaan akan menutup seluruh indera seseorang ataupun kelompok jika tidak selaras dengan ideologi mereka. Malapetaka besar jika disharmoni sosial ini tetap lestari dan menjadi warisan budaya terhadap anak cucu kita.
Advertisement
Seperti contoh, bukti nyata cikal bakal berdirinya dua masjid dengan jarak berdekatan di daerah Situbondo yang dilatar belakangi oleh sikap fanatisme pada partai politik dan tokoh terkait, julukan dua masjid itupun sesuai dengan nama partai hingga saat ini, Disharmoni sosialnya sudah cukup kronis. Dengan kejadian itu siapa yang salah, dan siapa yang akan bertanggung jawab?
Harusnya para elite politik dan tokoh masyarakat saling bersinergi untuk mewujudkan dan menyukseskan pesta demokrasi dengan tidak menggiring atau tergiring oleh opini miring yang akan menjerumuskan mereka kedalam lingkaran perpecahan. Berpolitik butuh kedewasaan agar tidak mencederai nilai-nilai demokrasi.
Penting juga edukasi politik ditengah masyarakat, bahwa perbedaan pendapat dan transisi kepemimpinan adalah sebuah keniscayaan. Tidak perlu kita mengambil hati, karena di dalam panggung politik tidak ada kawan dan lawan abadi, karena yang abadi adalah kepentingan.
Karakteristik politik yang cukup dinamis itu akan mengubah ritme politik sesuai kepentingan elit politik, rakyat adalah alat untuk mecapai kepentingannya. Oleh sebab itu sebagai alat, rakyat harus pandai memilih tuannya sebagai calon pemimpin yang nantinya mampu mewakili suara rakyat melalui gagasan untuk menjadikan Situbondo lebih baik dan melahirkan kebijakan baru yang memakmurkan seluruh rakyat Situbondo.
Sinergitas itu perlu di rawat untuk menjaga marwah ritual kontestasi politik Kabupaten Situbondo yang dinilai kaku menerima beragam pola pikir bersebrangan, terlebih menjaga marwah individu tokoh dan lembaga yang ayomi. Kabupaten Situbondo semestinya terus mengembangkan diri menjadi Kabupaten yang egalitarian; yang memandang bahwa semua manusia adalah sama dalam status nilai atau moral secara fundamental. Di mana prinsip kesetaraan, hak-hak politik dan ekonomi, sosial dan sipil dapat dimajukan secara kolektif.
Dengan demikian, tanpa intervensi fanatisme politik pada tiap individu, calon dan pemilih akan merasakan euforia eksistensinya dalam ber-kontestasi dan berkontribusi melalui suara mereka di panggung politik tanpa ada sikap diskriminasi dari beberapa kalangan.
***
*) Oleh : Muhammad Sofyan Sauri (Pegiat Literasi, Asal Kota Santri Situbondo)
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |