TIMESINDONESIA, MALANG – Saya punya grup WA hingga 78 grup. Mulai dari grup WA teman seangkatan di sekolah, mulai dari SD hingga S3 saat kuliah. Ada juga grup keluarga, grup alumni pondok, grup kantor di mana saya bekerja (UIN Sunan Ampel), grup kampung di Bondowoso, grup warga perumahan di Kahuripan Sidoarjo, hingga grup NU. Banyak, sangat banyak. Sayapun harus membagi 78 grup tersebut ke dua gadjet yang berbeda.
Saya termasuk orang yang tak pandai menolak teman yang mengajak saya bergabung dalam sebuah grup WA, apalagi jika grup tersebut menjanjikan kebaikan untuk saya, paling tidak, kebaikan tersebut berupa jalinan silaturrahim. Saya ingin mendapat kebaikan dan buah silaturrahim, sebagaimana janji Rasulullah Muhammad SAW, panjang umur dan murah rejeki.
Advertisement
Tapi, saat ini, niat baik silaturrahim tersebut agak terganggu, grup WA lebih sering berisi saling serang dan saling mencari kelemahan, bahkan sebagian berujung ke saling caci dan pertengkaran. Apa penyebabnya? Pilpres 2024. Pilpres memecah persaudaraan, Pilpres meretakkan pertemanan dan Pilpres menjadi penyebab utama putusnya silaturrahim. Begitu kira-kira kesimpulan sementara.
Saya kira apa yang saya alami, saya rasakan ini tidak tunggal, hanya terjadi pada saya. Saya yakin, khalayak pembaca juga merasakan hal yang sama, mengalami hal serupa. Gundah, pasti. Sedih, iyalah. Sebagai pendidik, apalagi saya dosen di FISIP UIN Sunan Ampel, saya sangat sedih dengan fenomena ini. Gara-gara perbedaan pandangan politik, perbedaan pilihan menjadi penyebab keretakan, perselisihan dan bahkan pertengkaran. Harusnya tidak seperti ini, harusnya bukan seperti ini, ini hanya politik, ritual lima tahunan, bukan hal yang harus yang dibela matian-matian, apalagi sampai melanggar prinsip-prinsip kepantasan dan kemanusiaan. Bersaudara, bersahabat, merawat persaudaraan dan menjaga persahabatan itu prinsip, jangan dirusak hanya karena perbedaan pilihan politik di Pilpres 2024.
Literasi Digital dan Literasi Politik; Sebuah Kebutuhan
Ada 167 juta pengguna media sosial di Indonesia dan 213 juta untuk pengguna internet. Jumlah yang sangat besar. Berikut juga waktu yang dihabiskan berselancar di internet, rata-rata nitizen di Indonesia menghabiskan waktu 7 jam 42 menit. Bukan waktu yang sedikit, bukan waktu yang sebentar, panjang dan lama.
Namun, apakah besarnya penggunaan internet dan pengguna media sosial di atas disertai dengan literasi digital yang cukup? Ini pertanyaan sederhana, namun susah untuk diurai. Kesimpulan sementara, tidak. Tidak ada penyertaan literasi digital. Nitezen Indonesia dinilai sebagai salah satu nitezen yang paling tidak sopan di Asia Tenggara, cerewet dan tak pandai membaca informasi. Mereka hanya kritis, banyak omong tapi tak punya waktu yang cukup untuk membaca, mencerna dan menganalisis informasi di media sosial.
Data tentang tingkat kesopanan yang sangat rendah nitezen Indonesia di dunia maya sangat bertolak belakang dengan kehidupan nyata masyarakat Indonesia. Bahwa dalam dunia nyata, semua masyarakat dunia mengakui dan menghormati kesopanan, keramahan dan kebaikan komunikasi masyarakat Indonesia. Lalu kenapa dalam dunia maya mereka berubah menjadi masyarakat yang berbeda, masyarakat yang tak ramah, cerewet dan tak sopan? Saya kira, ini yang harus dicari jawabannya.
Salah satu yang harus ditingkatkan adalah literasi digital. Literasi digital menjadi kata kunci untuk menjawab pertanyaan di atas. Literasi digital menjadi sangat mendesak untuk dibentuk dalam kesadaran dan habbit nitizen Indonesia. Literasi digital sendiri adalah merupakan pengetahuan serta kecakapan pengguna media sosial dan internet dalam memanfaatkan media digital.
Pengetahuan dan kecakapan. Dua kata kunci ini yang harus ditingkatkan. Masyarakat harus tahu, mengerti dan cakap. Mereka harus tahu, bahwa bermedia sosial tidak ada bedanya dengan berinteraksi dalam kehidupan nyata. Ada tanggungjawab, ada simpati, ada empati, ada peduli, ada tenggangrasa dan saling menghormati. Di media sosial jebakan miskomunikasi dan disintegrasi jauh lebih potensial dibandingkan di dunia nyata.
Tubuh yang tidak langsung berhadap hadapan, muka yang tak bisa langsung dibaca, gerakan tangan dan mulut yang tak bisa diterka menjadikan kita seringkali lalai untuk memahami emosi lawan bicara kita. Apalagi, ketika tema yang didiskusikan mengarah pada perbedaan, pilihan yang berbeda dan tingkat suka dan tidak disukai pada seseorang atau pada sesuatu yang berbeda. Contoh kongkritnya adalah pilihan Pilpres seperti tema tulisan ini.
Lemahnya literasi digital ini, diperparah dengan lemahnya literasi politik nitizen kita. Bayangkan saja, dalam perdebatan atau bahkan pertengkaran yang terjadi di group-group WA tersebut, hoax yang menjadi dasar argumentasi, hoax yang menjadi sumber informasi perbedaan pandangan mereka. Data yang diadu dan argumentasi yang dibangun berdasarkan pada hoax dan konten yang mengarah pada black campaign semata. Tidak ada satupun data dan fakta yang riel terjadi dan benar terbukti. Hoax dan black campaign ini semakin menjadi-jadi ketika semangat membully dalam bentuk hate speech menjadi kebanggan. Semakin kuat membully, semakin menunjukkan kebencian dianggap sebagai bagian dari kemenangan dalam perdebatan di medsos.
Dari sekian banyak hoax dan argumentasi sesat yang paling banyak saya temukan adalah isu agama dalam argumentasi politik. Seakan-akan, jika tak mengikuti pilihannya, maka sama artinya tak mendukung kepentingan agama. Sebaliknya, ada argumentasi lain yang sebenarnya sama sesat dan sama lemahnya, mengatakan bahwa agama tak bisa dijadikan basis argumentasi dalam politik sehingga tak perlu, bahkan dilarang membawa semangat dan etika agama dalam politik.
Sebagai seorang dosen politik, dan sebagai seorang alumni pesantren, tentu saya sangat menyesalkan dua argumentasi yang kerap kali berhadap-hadapan dalam perselisihan di medsos. Dua-duanya berbahaya, dua-duanya sangat dangkal argumentasi dan lemah dalil ilmiahnya. Sayangnya, kedua argumentasi yang sesat ini seringkali nampak benar karena bungkus yang menarik.
Seandainya literasi digital dan literasi politik nitezen Indonesia sudah baik, maka hoax tak akan pernah bisa diterima sebagai sebuah kebenaran. Masyarakat digital akan berusaha mencari tahu kebenaran sebuah berita, mengkonfirmasi dan melakukan berbagai upaya check and recheck atas sebuah informasi di dunia maya, sehingga mereka dapat dengan mudah membedakan mana fakta dan mana tipu daya.
Harus Beda dengan Pilpres 2019
Pilpres 2019 cukup menjadi pelajaran. Kelompok Cebong dan Kampret yang berhadap-hadapan, saling intai dan saling terkam dan hampir saja merobek persatuan dan kesatuan bangsa jangan lagi ada, di Pilpres 2024 tidak boleh terjadi lagi. Pilpres 2024 harus damai, harus terhindar dari konflik. Terutama konflik di tingkat akar rumput. Salah satu yang harus diperhatikan adalah kecerdasan bermedsos, kehati-hatian dalam memanfaatkan internet dalam menyikapi Pilpres. Masyarakat harus benar-benar dilatih, dididik dan didampingi agar memiliki literasi digital dan literasi politik yang baik, sehingga mereka akan memiliki ketahanan dan kemampuan dalam mengelola konflik politik di akar rumput. Biarlah konflik politik itu hanya terjadi di ranah elit, antar para politisi dan mereka yang paling berkepentingan dengan politik kekuasaan. (*)
*) Penulis: Syaeful Bahar
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi TIMES Indonesia.
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |