Kopi TIMES

Faisol Riza: Santri Aktivis Mewarisi Nilai-Nilai Keberanian KH. Zaini Mun’im

Minggu, 28 Januari 2024 - 12:13 | 47.71k
Ponirin Mika, Ketua Lakpesdam MWCNU Paiton dan Anggota Community of Ceritical Social Research Probolinggo.
Ponirin Mika, Ketua Lakpesdam MWCNU Paiton dan Anggota Community of Ceritical Social Research Probolinggo.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Kiai Zaini Mun’im merupakan pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo, Jawa Timur, yang banyak melahirkan tokoh-tokoh bangsa. Ini merupakan salah satu komitmen Kiai Zaini dalam memperjuangkan, mempertahankan, dan membangun bangsa Indonesia.

Semangat tersebut tidak pernah pudar sedikitpun, dimulai saat Kiai Zaini masih berusia muda, dewasa, sampai berusia lanjut. Perjuangannya telah tercatat dalam sejarah dan menjadi motivasi dari generasi ke generasi.

Advertisement

Saya salah satu santri Kiai Zaini yang kebetulan mondok di pesantren yang beliau didirikan. Walaupun saya tidak pernah belajar secara langsung kepada beliau karena usia saya tidak nututi keberadaan beliau, namun pemikiran-pemikirannya terus menjadi spirit dalam hidup saya dari waktu ke waktu.

Saya beberapa memiliki buku karya beliau, di antaranya adalah "Problematika dakwah", "Syuabul Iman", "Tafsir bil Imlak", "Nadham Safinah", dan tentu banyak karya-karya beliau yang tidak saya miliki.

Bahkan yang tertulis pada banner dan di beberapa tempat menumbuhkan spirit pada santri dan alumninya dalam melakukan perjuangan. Selain itu, Kiai Zaini bukan tipikal orang yang hanya pintar dalam menulis semata, melainkan beliau adalah seorang pejuang secara nyata melawan ketidakadilan dan kezaliman, lebih-lebih saat melawan para penjajah Belanda yang ratusan tahun menjajah bumi Indonesia.

Kegigihan kiai Zaini inilah yang menjadi inspirasi seorang santri yang bernama Faisol Riza asal Kabupaten Probolinggo.

Semangat Riza tidaklah muncul secara tiba-tiba. Selain tumbuh dan mengarakter sejak dari kecil, ada pengaruh dari darah keilmuan yang ia pelajari. Riza pernah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Nurul Jadid selama enam tahun, mulai dari sekolah menengah pertama (SMP) NJ dan Madrasah Aliyah Nurul Jadid (MANJ).

Pada saat menempuh pendidikan di Pesantren Nurul Jadid, Riza aktif di berbagai organisasi, salah satunya di organisasi intra sekolah (OSIS). Perjalanan organisasi di pondok pesantren di mana menjadi tempat belajarnya telah membentuk karakter juang seorang Faisol Riza, hingga menjadi aktivis saat mahasiswa.

Pria kelahiran Probolinggo, 1 Januari 1973, ini dikenal sebagai aktivis di Era Reformasi. Faisol adalah salah satu dari tiga aktivis yang dibebaskan setelah diculik sekelompok orang tak dikenal pada 1998.

Ia disekap dan disiksa, ditidurkan di atas balok es dan disundut dengan rokok oleh para penculiknya. Faisol sempat stres akibat peristiwa tersebut. Pada 1998-1999, Faisol tercatat sebagai Ketua Solidaritas Mahasiswa Indonesia. Organisasi inilah yang membuatnya dimata-matai oleh intel dan diculik.

Setelah bebas dari penculikan tersebut, Faisol aktif dalam Ikatan Keluarga Hilang Indonesia (IKOHI) dan menjabat sebagai Wakil Ketua IKOHI hingga sekarang.

Keberanian Faisol Riza saat menjadi aktivis mahasiswa memberi sinyal bahwa dirinya tengah mewarisi keberanian gurunya, yaitu Kiai Zaini Mun’im.

Mengaca pada perjalanan perjuangan Kiai Zaini, beliau pernah ditahan oleh Belanda di rumah tahanan Kraksaan, karena ditengarai sebagai ancaman terhadap misi Belanda saat menjajah dan menghegemoni bangsa Indonesia.

Bahkan saat Kiai Zaini muda terus memikirkan nasib bangsa dari cengkraman penjajah. Salah satu ungkapan dari Kiai Muhyidin Abdusshomad, Pengasuh Pesantren Nuris Jember mengatakan bahwa Kiai Zaini, Kiai As’ad, Kiai Thoha tidak pernah berhenti membincang kemerdekaan Indonesia.

Mereka tidak menikmati status sosialnya sebagai seorang keturunan priyayi. Justru waktu-waktunya diisi dengan semangat untuk memikirkan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa.

Sebagai seorang alumni Pesantren Nurul Jadid, Faisol Riza memiliki karakter yang "nyaris" sama dengan gurunya (Kiai Zaini Mun’im) yang tidak pernah gentar melawan kezaliman, meskipun nyawa menjadi taruhannya.

Momentum Harlah Ke-78 Pesantren Nurul Jadid yang jatuh pada 11 Pebruari 2024 nanti perlu menyebarkan spirit juang Kiai Zaini kepada para santri, alumni dan simpatisan Pesantren Nurul Jadid. 

Pemikiran Kiai Zaini tidak boleh mati dan tidak hanya menjadi cerita romantisme semata. Ia harus bangkit kembali mengingat bangsa Indonesia tengah mengalami beberapa persoalan dari berbagai dimensi.

Jasad kiai Zaini boleh terkubur, namun spirit juangnya tidak pernah mati. Ia mengalir dan bergerak bersama denyut nadi para santri dan alumni pesantren yang didirikannya.

Ini yang mungkin menjadi motivasi dan kiblat seorang yang pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta Faisol Riza dalam melakukan perjuangan.

***

*) Oleh: Ponirin Mika, Ketua Lakpesdam MWCNU Paiton dan Anggota Community of Ceritical Social Research Probolinggo.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES