Kopi TIMES

Tarik Menarik NU Orisinal dan NU KW

Jumat, 09 Februari 2024 - 23:31 | 32.84k
Taufiqur Rahman, M. I. Kom, Wakil Ketua PCNU Pamekasan dan pengajar Ilmu Komunikasi di IAIN Madura.
Taufiqur Rahman, M. I. Kom, Wakil Ketua PCNU Pamekasan dan pengajar Ilmu Komunikasi di IAIN Madura.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, PAMEKASANINDIKATOR menjadi warga NU saat ini semakin menyempit. Orang NU tidak lagi sekadar menjadi pengikutnya Imam Abu Hasan Al Asy'ari, Imam Abu Mansur Al Maturidi, Imam Al Ghazali dan Imam Junaid Al Baghdadi, Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Hanafi dan Imam Ahmad. Namun, orang NU saat ini tidak diragukan ke-NU-annya jika secara politik terafiliasi dengan salah satu calon presiden, yang mengklaim dirinya paling NU.

Asumsi ini tentu berlawanan dengan orang NU yang sama-sama mengklaim paling NU. Argumentasi ini dibangun karena secara struktural, mereka sebagai pengurus dan ditempa melalui jenjang kaderisasi yang serius. NU hari ini pula, tidak lagi sekadar mitos "NU sejak dalam kandungan" karena ibu seorang muslimat.

Advertisement

Tak heran jika peristiwa seperti ini terjadi secara berulang. Bahkan, di momen-momen politik sebelumnya, saling klaim antara orang NU dan bukan orang NU atau NU kaleng-kaleng.

Salah satu contoh saat injury time penentuan calon wakil presiden Jokowi pada Pemilu 2019 lalu, Mahfud MD dianggap bukan orang NU. Sehingga, kemeja putih yang sudah terlanjur disiapkan dipakai ke istana mendampingi Jokowi, karena digantikan oleh KH. Ma'ruf Amin yang posisinya sebagai Rais Aam PBNU. Kemeja putih Mahfud MD terpaksa dilipat kembali dan baru dipakai kembali ketika Mahfud MD berpasangan dengan Ganjar Pranowo di Pilpres kali ini.

Sebelum mengemuka wacana antara NU asli dengan NU KW, seorang menteri yang tidak pernah mengenyam pendidikan pesantren sebagai basis utama NU, mendadak NU. Ramai lagi perbincangan tentang NU asli dengan NU naturalisasi. Ujung-ujungnya, mengarah kepada suksesi Pemilu. Ingin merebut golden tiket dari NU. Namun gagal, karena PBNU menyatakan sikap bahwa NU tidak punya kepentingan dalam mencalonkan figur.

Dalam percaturan apapun, NU memang seksi dan membuat orang di luar NU terpukau. Bagi politikus, NU menjadi mesin elektoral yang cukup besar dengan kekuatan muslim mayoritas. Hasil survei berbagai pihak, tahun 1995 menunjukkan 18 persen dari penduduk Indonesia merasa orang NU. Tahun 2005, angka itu meningkat tajam menjadi 27 persen. Peningkatan juga terjadi antara tahun 2010 hingga 2018 yang menunjukkan angka bahwa 47 persen penduduk Indoensia anggota NU.

Di tahun 2023 kemarin, hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) orang Indonesia yang mengaku anggota NU mencapai 56,7 persen dengan jumlah penduduk 280 juta.

Namun, melihat besarnya potensi anggota NU itu, tentu tidak mudah untuk menyatukan persepsi, terutama persepsi tentang politik NU. PKB yang secara historis memiliki kedekatan sebagai partainya wong NU, pada Pemilu 2019 hanya meraup 9,69 persen atau 13.570.097 dari total jumlah penduduk Indonesia yang memberinya hak suaranya.

Fakta politik itulah kemudian yang melahirkan kecenderungan politik NU tidak bisa diklaim oleh satu partai tertentu. Sebab, orang NU yang ada di partai lain, sama-sama memiliki hak untuk dikategorikan sebagai orang NU. Hal ini sering ditegaskan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH. Yahya Cholil Tsaquf di berbagai acara.

Posisi NU yang demikian ini, menjadikan NU sebagai kunci kemenangan politik di setiap momentum Pemilu. Sejarah juga mencatat demikian, politik pasca reformasi selalu dimenangkan oleh kelompok nasionalis-religius.

Jadi, wajar jika NU selalu diperebutkan. Cara merebutnya salah satunya dengan membangun narasi orang NU asli dengan orang NU KW.

Bagaimana menyikapi fakta demikian? Orang NU tetap kembali kepada pijakan fundamental NU seperti disebutkan di atas. Secara aqidah tetap berpegang teguh kepada ajaran Imam Asy'ari dan Imam Al Maturidi, amaliahnya ikut imam madzhab yang empat, secara moral ikut Imam Al Ghazali dan Imam Junaid Al Baghdadi.

Adapun secara politik, NU masih konsisten dalam bingkai politik kebangsaan dimana pondasinya sudah ditanamkan jauh sebelum NKRI ini berdiri. Pancasila tetap sebagai ideologi negara yang belum ada rumusan baru untuk bisa menggantikannya. Ide-ide yang ditawarkan sebagai pengganti Pancasila, tidak memiliki sandaran teologi dan sosiologi keindonesiaan. Ideologi yang ditawan itu, duplikasi dari negara lain dimana ideologi tersebut juga gagal menciptakan tatanan sosial, politik, ekonomi yang sejahtera bagi rakyatnya.

Oleh sebab itu, jika secara ideologi, warga NU bisa bersama-sama dan bergandeng tangan dengan pengusung ideologi baru, maka secara fundamental, ke-NU-annya sangat diragukan. Jargon 'hubbul wathan minal iman' termanifestasi dalam konsep negara bangsa yang beridentitas Pancasila.

Sekali lagi, orang NU harus berpegang kepada 9 pedoman politik warga NU yang dihasilkan dalam Muktamar ke-28 NU tahun 1989 di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta.

Pedoman itu pertama, berpolitik bagi NU mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

Kedua, politik bagi NU adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi  bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan, untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur lahir dan batin, dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat.

Ketiga, politik bagi NU adalah pengembangan nilai-nilai  kemerdekaan yang  hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.

Keempat, berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan moral, etika dan budaya yang berketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kelima, berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.

Keenam, berpolitik bagi NU dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional, dan dilaksanakan sesuai akhlaqul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah.

Katujuh, berpolitik bbagiNU, dengan dalih apapun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.

Kedelapan, perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadhu' dan saling menghargai satu sama lain, sehingga dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan NU.

Kesembilan, berpolitik bagi NU menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.

 

* Oleh : Taufiqur Rahman, M. I. Kom, Wakil Ketua PCNU Pamekasan dan pengajar Ilmu Komunikasi di IAIN Madura.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES