Kopi TIMES

Kultur Hierarki Gila Hormat dalam Komunitas Akademik Indonesia

Rabu, 21 Februari 2024 - 15:12 | 45.12k
Muhammad Nafis S.H,. M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Muhammad Nafis S.H,. M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Dalam kultur komunitas akademik, eksistensi dan pengakuan sering kali menjadi bagian penting dari interaksi sosial dan professional bahkan juga bisa menjadi bagian penting dari interaksi setiap saat. Fenomena "gila hormat" di perguruan tinggi tentu secara tidak langsung mencerminkan keinginan kuat untuk dikenali dan dihormati, bukan hanya berdasarkan kualitas akademik, tetapi juga atas dasar senioritas dalam lingkup jabatan.

Fenomena ini, seperti yang diungkap oleh Albiner Siagian, mencakup perilaku yang ditandai dengan kegilaan terhadap hormat dan ketamakan. Dan tentunya merupakan produk kurang sehat dalam perkembangan pendidikan yang seharusnya melahirkan moral terbaik demi kesetaraan intelektual

Advertisement

Perguruan tinggi saat ini seharusnya menjadi tempat di mana kebebasan akademik dihargai dan dijunjung tinggi dengan tidak melihat gelar atau bahkan jabatan. Namun, kenyataannya, dalam praktik setiap harinya terdapat indikasi bahwa kebebasan akademik terkadang terkendala oleh budaya "gila hormat" yang telah menjamur menjadi kebiasaan dan juga rahasia umum dalam komunitas akademik.

Fenomena ini bukan tanpa konsekuensi sebab kemungkinan besar akan menghambat diskusi terbuka dan kritis dari lintas generasi, jabatan, hingga perbedaan jenjang yang merupakan inti dari proses pembelajaran dan penemuan ilmiah secara berjelanjutan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Selain itu, adanya kultur gila hormat dan pengakuan secara tidak langsung juga dapat mendorong perilaku tidak etis pada semua insturumen yang ada dalam dunia akademisi. Mulai dari maraknya plagiat atau manipulasi data, dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan atau promosi. Praktik tersebut tentunya juga mengakar pada kebiasan mahasiswa yang seringkali akan mengakali semua praktik pendidikan untuk mencapai target tertentu dengan dalih senioritas. Akumulasi fenomena ini tentu akan menjadi lingkaran buruk bagi dunia pendidikan, sehingga sangat kecil kemungkinan untuk mengharapkan moral serta etik yang berkualitas dari beberapa produk lulusan perguruan tinggi.

Kritik terhadap "politik gila gelar" menyoroti bagaimana eksistensi terhadap pengakuan bisa menyesatkan banyak individu untuk bisa lebih optimal dalam mengelola pendidikan. Selain itu akan menjauhkan individu dari tujuan sebenarnya pendidikan tinggi dan pencarian pengetahuan.

Lebih jauh lagi, konsekuensi dari fenomena "gila hormat" ini tidak hanya terbatas pada lingkungan akademik tetapi juga mempengaruhi perilaku sosial semua pelakunya ketika di luar kampus atau bahkan pada konsteks bermasyarakat.

Budaya yang mendorong pemujaan terhadap senioritas dapat memicu perilaku bullying, memperburuk masalah senioritas dan junioritas yang sudah ada, dan menciptakan lingkungan yang tidak kondusif untuk pertumbuhan dan pembelajaran yang sehat.

Dengan semua pendapat tersebut tentu struktur hierarki dalam perguruan tinggi wajib untuk diantisipasi. Sebab hierarki dalam bentuk gila hormat ini telah menjadi kebiasaan dan telah lumrah diterima sebagai produk dalam dunia pendidikan.

Padahal sudah sepatutnya semua gelar akademik harus lahir dari budaya egaliter atau kesetaraan. Sehingga tidak akan membuat jarak cukup jauh antara semua pelaku pendidikan, alasan ini juga yang membuat ruang diskusi dan saling mengkoreksi menjadi lebih luas untuk menghasilkan kualitas pendidikan yang memang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat luas.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Namun jika budaya egaliter tidak bisa diterapkan dan kultur hierarki gila hormat semakin marak maka ruang diskusi bisa sangat terbatas. Bahkan yang lebih berbahaya saat ini kemungkinan besar gelar pendidikan dari tingkat paling rendah hingga tinggi menjadi akat untuk mempertahankan otoritas.

Apabila budaya otoritas dengan dalih pangkat lebih tinggi semakin menguat akan menghilangkan kebebasan untuk bisa bereskplorasi lebih jauh, sehingga hanya akan memberikan mental seperti penjajah.

Pada akhirnya semua struktur hierarki buruk dengan manfestasi seperti “gila hormat” yang terjadi dalam pendidikan tinggi tersebut sudah saatnya dihilangkan.

Terdorongnya kebiasaan untuk bersifat setara dalam konsteks pembelajaran dan diskusi merupakan formula sangat ampuh untuk menumbuhkan minat tinggi dan menjamin intelektuaslitas terbarukan. Mungkin mengubah kebiasaan dan kultur tersebut tidak mudah, namun bukan berarti tidak bisa, sehingga cara paling efektif adalah dengan melakukan revolusi secara bertahap mengenai mental pendidikan tinggi. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Muhammad Nafis S.H,. M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES