
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Oligarki adalah bentuk struktur kekuasaan dimana kekuasaan berada di tangan segelintir orang. Sepanjang sejarah, oligarki sering bersifat tirani, mengandalkan kepatuhan atau penindasan. Aristoteles mempelopori penggunaan istilah sebagai aturan yang berarti oleh orang kaya, yang istilah lain yang umum digunakan saat ini adalah plutokrasi.
Pada awal abad ke-20 Robert Michels mengembangkan teori bahwa demokrasi, seperti semua organisasi besar, cenderung berubah menjadi oligarki. Dalam "hukum besi oligarki" dia menyarankan bahwa pembagian kerja yang diperlukan dalam organisasi besar mengarah pada pembentukan kelas penguasa yang sebagian besar peduli dengan melindungi kekuasaan mereka sendiri.
Advertisement
Indonesia, sebuah negara yang kaya akan keberagaman budaya dan sejarah politik yang kompleks, telah melihat masa pemerintahan dari dua tokoh yang sangat berbeda: Suharto dan Jokowi. Meskipun terpisah oleh beberapa dekade, keduanya memiliki satu kesamaan yang menonjol: kritik mereka sebagai presiden yang mewakili oligarki politik.
Suharto: Era Oligarki Militer
Suharto, yang memerintah Indonesia selama 32 tahun (1967-1998), adalah figur yang sangat kontroversial dalam sejarah Indonesia modern. Pemerintahannya diwarnai oleh otoritarianisme, korupsi massif, dan penindasan politik.
Salah satu ciri paling mencolok dari rezim Suharto adalah kontrol militer yang ketat atas politik dan ekonomi negara. Suharto dan kelompok elitenya menggunakan kekuasaan politik untuk memperkaya diri sendiri dan melindungi kepentingan ekonomi mereka.
Suharto naik ke tampuk kekuasaan melalui kudeta militer pada tahun 1967, yang menggulingkan Presiden Sukarno. Awalnya, Suharto muncul sebagai pemimpin yang dianggap memulihkan stabilitas politik dan ekonomi di tengah kekacauan pasca-kemerdekaan. Namun, seiring berjalannya waktu, rezimnya semakin dikenal karena otoriterisme dan korupsi yang meluas.
Kontrol militer yang ketat di bawah rezim Suharto memastikan bahwa kekuasaan politik dan ekonomi terpusat di tangan kelompok elit militer dan bisnis yang dekat dengan rezim. Hal ini menciptakan lingkungan di mana nepotisme dan korupsi merajalela, sementara rakyat biasa sering kali ditinggalkan dalam kemiskinan dan ketidaksetaraan.
Jokowi: Oligarki Politik Kontemporer
Sementara itu, era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), yang dimulai pada tahun 2014, menandai peralihan ke era demokrasi yang lebih terbuka. Namun demikian, banyak kritikus menganggap bahwa meskipun ada perubahan dalam gaya kepemimpinan, struktur oligarki politik tetap kuat di Indonesia.
Jokowi, seperti pendahulunya, dikatakan telah terlalu bergantung pada koneksi politik dan bisnis yang kuat, sering kali diakui sebagai "partai politik tradisional" atau "oligarki bisnis."
Jokowi, seorang mantan pengusaha dan walikota dari Solo, awalnya muncul sebagai sosok yang dianggap sebagai "presiden dari rakyat." Namun, seiring berjalannya masa jabatannya, banyak yang mengkritik bahwa hubungan yang dekat dengan elit politik dan bisnis telah mempengaruhi kebijakan dan keputusan pemerintahannya. Misalnya, proyek-proyek infrastruktur yang besar sering kali diduga menguntungkan para pemodal besar daripada kepentingan rakyat kecil.
Paralelisme dan Perbedaan
Meskipun ada perbedaan signifikan dalam gaya kepemimpinan dan konteks politik mereka, kedua presiden ini memiliki kesamaan dalam kritik terhadap kontrol elit politik dan ekonomi terhadap kekuasaan negara. Baik Suharto maupun Jokowi telah dihadapkan pada tuntutan untuk membawa reformasi yang substansial terhadap sistem politik yang dianggap menguntungkan sedikit orang dan mengabaikan kepentingan rakyat biasa.
Suharto memimpin Indonesia dalam era ketika otoritarianisme dan kontrol militer mendominasi, sementara Jokowi berkuasa di bawah aturan demokrasi yang lebih terbuka. Namun, keduanya menghadapi tantangan yang sama dalam mengatasi struktur oligarki politik yang kuat dan memastikan bahwa kekuasaan politik lebih merata dan inklusif.
Tantangan Menuju Demokrasi yang Lebih Sehat
Oligarki politik tidak hanya menjadi masalah politik, tetapi juga hambatan serius dalam pembangunan demokrasi yang sehat dan inklusif. Ketika kekuasaan terkonsentrasi di tangan sedikit orang atau kelompok, hal ini dapat mengancam prinsip-prinsip dasar demokrasi, seperti akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi politik yang merata.
Untuk mencapai demokrasi yang lebih baik di Indonesia, diperlukan upaya untuk mengurangi dominasi elit politik dan ekonomi, meningkatkan akuntabilitas pemerintah, serta memperkuat partisipasi politik rakyat. Langkah-langkah konkret dapat mencakup reformasi kebijakan, penegakan hukum yang tegas terhadap korupsi, pemberdayaan masyarakat sipil, dan peningkatan transparansi dalam proses politik dan pengambilan keputusan.
Sebagai penutup argumentasi. Suharto dan Jokowi mungkin mewakili era dan konteks politik yang berbeda, tetapi kritik terhadap mereka sebagai presiden yang mewakili oligarki politik menyoroti tantangan yang sama yang dihadapi Indonesia dalam membangun sistem politik yang lebih demokratis dan inklusif.
Langkah-langkah menuju reformasi politik yang lebih substansial mungkin menjadi kunci untuk mencapai tujuan tersebut dalam jangka panjang. Dengan upaya bersama dari pemerintah, masyarakat sipil, dan seluruh pemangku kepentingan, Indonesia dapat melangkah maju menuju demokrasi yang lebih sehat dan adil bagi semua warganya.
***
*) Oleh : Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |