Kopi TIMES

Siapapun Presidennya Indonesia Tetap Tidak Maju, Benarkah?

Rabu, 28 Februari 2024 - 14:16 | 84.27k
Abdur Rohman, Santri Ponpes Luhur Baitul Hikmah dan Mahasiswa STF Al-Farabi Kepanjen, Malang
Abdur Rohman, Santri Ponpes Luhur Baitul Hikmah dan Mahasiswa STF Al-Farabi Kepanjen, Malang
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Pasca pemilu ini, kemanapun gawai kita berselancar baik di kanal berita, Instagram, Facebook, ataupun X pasti muncul informasi hasil quick count dengan gambar ketiga paslon dan prosentase masing-masingnya. Yang jauh lebih menarik, ada juga meme atau video lucu dari capres yang membuat saya pribadi tersenyum bahkan terkadang tertawa terbahak begitu melihatnya.

Dari berbagai hiburan yang saya lihat, terlintas dalam pikiran saya, apakah presiden baru ini nantinya bisa membawa negara kita menjadi negara maju? Atau paling tidak setara lah dengan negaranya Oda Sensei, Jepang. Ah masa iya? Dan hipotesis sementara saya, negara yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam, terutama di Indonesia saat ini, lebih dominan orang tak terpelajar, dan berstatus negara berkembang? Apa alasannya? 

Advertisement

Sebelum kita beranjak ke alasan dan sebab “kenapa umat Islam dan negara yang mayoritas beragama Islam tidak maju?” perlu kiranya memberikan acuan kenapa sebuah negara bisa dikatakan maju.

Historis Terbentuknya Demarkasi Negara Maju dan Berkembang

Secara gampang, tolok ukur sebuah negara maju atau berkembang ditinjau dari faktor ekonomi, pendidikan, politik, pendayagunaan teknologi, keamanan dan indikator lain yang memberikan kehidupan sejahtera bagi masyarakatnya.

Secara historis, jika kita mau tarik lebih radikal lagi, mengapa ada demarkasi antara negara maju dan berkembang? Nah, pembagian ini tak lain adalah ada intervensi dari para invisible hand (tangan-tangan tak nampak), otak-otak kapitalis, hembusan-hembusan oligarki, gelombang feodalisme yang terus mengeruk kekayaan dan senantiasa mengambil ladang subur yang tak berpuan. Mereka membuat monumen seolah sebagai obat tidur bagi imsonia yang menjangkit negara-negara terjajah. Loh kok bisa?

Sejauh pengetahuan saya yang tak begitu jauh, pasca perang dunia ke II dimana perekonomian dunia luluh lantak kala itu, membuka jalan bagi terselenggaranya pertemuan Bretton Woods pada Juli 1944 di New Hampshire, Amerika. Pertemuan itu dihadiri 44 negara dan melahirkan lembaga-lembaga dunia yaitu IMF (International Monetary Foundation), World Bank dan GATT (General Agreement  on Tarrifs and Trade). 

Nah, dari sini dengan tangan ajaib pula negara bekas jajahan dianggap sebagai negara berkembang dan disarankan untuk berhutang demi merevitalisasi pembangunan perekonomian, politik dan keseimbangan di dalam negaranya. 

Sementara hampir semua negara-negara Eropa termasuk negara maju. Oleh karenanya, J.H.W Verzijl seorang pakar hukum asal Belanda mengatakan dalam bukunya yang bertajuk International Law in Historical Perspective bahwa “Hukum Internasional secara esensial adalah produk pikiran Eropa dan diterima dengan tangan terbuka oleh Amerika dan negara-negara bagian Asia.”

Alhasil, manakala memandang secara jernih propaganda berupa Hukum Internasional ataupun Lembaga Dunia yang dibuat oleh Si Penguasa, alih-alih negara berkembang terbantu dengan adanya ketetapan itu, justru negara berkembang semakin terpuruk dalam kemiskinan, kian terbebani lilitan hutang, mudah diboneka-isasi oleh dalang kekuasaan dan terjerumus dalam lubang kesengsaraan. Karena pada dasarnya ketetapan yang diciptakan hanya memberikan kenyamanan dan kesejahteraan untuk negara-negara tertentu saja khususnya di benua Eropa dan Amerika.

Patologi

Ialah Noam Chomsky seorang filsuf dan ahli bahasa asal Amerika berpesan, jika kita ditawarkan bantuan oleh pihak tertentu, kita perlu membangun “second opinion” sebagai patologi. Dalam artian, proposal berupa uluran tangan dari pihak tertentu harus dicerna dan direnungi, jangan-jangan ada motif tertentu di balik bantuan yang mereka tawarkan, untuk kemudian mengambil hak kita secara halus tanpa kita sadari.

Kita ambil contoh fenomena yang terjadi belakangan terkait Pemilu kemarin. Tak jarang mereka para caleg, capres dan suksesornya saat berkampanye memberikan tawaran dan janji yang begitu manis. Visi dan misi dijajakan, berbagai program disebutkan, masyarakat akan tentram dan sejahtera, sekolah gratis, makan siang gratis bagi seluruh sekolah di Indonesia dan minum susu tentunya, hilirisasi, hukum akan ditegakkan, melanjutkan program pemerintah selanjutnya, pemerataan ekonomi, infrastruktur, harga bahan baku murah, lingkungan sehat, udara segar dan lain sebagainya. Dari semua janji, program yang ditawarkan itu hampir mustahil tanpa motif tertentu. Begitu terpilih dan berkuasa, mereka melupakannya, tidak semua tapi hampir seluruhnya.

Secara tak sadar, sebenarnya kita sedang dijajah di negara kita sendiri. Dengan otak culas para penguasa, oligarki, kapitalis, mereka mendoktrin seolah masyarakat dalam masalah yang akut, kemiskinan yang tak tertolong, dan sumber daya yang kian habis. Sehingga kita menganggap semuanya ril dan menggiring kita untuk berharap pada bantuan pemerintah yang secuil. Ya secuil, dibandingkan dengan sumber daya kekayaan yang ada di Indonesia mulai dari tambang, laut, pariwisata  dan sebagainya. Sehingga sangat aneh, jika negara kita dikatakan negara berkembang.

Tak heran, jika Menteri Eksplorasi Laut era Gus Dur, Kusuma Atmaadja bilang bahwa kekayaan laut yang ada di Indonesia sudah cukup untuk menyejahterakan masyarakat.

Bagaimana dengan Umat Islam?

Sudah sama-sama kita ketahui bahwa umat islam pernah berada di zaman keemasannya pada masa kekhalifahan Harun Al- Rasyid (786-803 M). Tentu ditandai dengan maraknya pengalih bahasaan buku dari bahasa yunani ke arab dan menggeluti beragam ilmu pengetahuan seperti filsafat, sains, astronomi, kedokteran, biologi dan lain-lain.

So, dari ulasan di atas benarkah Indonesia tidak akan menjadi negara maju, siapapun presidennya. Dan apa benar kebanyakan dari negara yang mayoritas umat Islam itu tak terpelajar?

Silahkan para pembaca menilai sendiri, pastinya dengan pandangan jernih tanpa ada pretensi apapun. Terakhir, lebih baik kita kembali berselancar lagi di dumay (dunia maya) karena masih banyak meme dan video lucu yang bisa bikin kita tersenyum dan tertawa terbahak. 

***

*) Oleh : Abdur Rohman, Santri Ponpes Luhur Baitul Hikmah dan Mahasiswa STF Al-Farabi Kepanjen, Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Satria Bagus

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES