
TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Bulan agung yang dinantikan sudah tiba, tamu mulia dengan ribuan keberkahan di dalamnya harus kita sambut dengan suka cita. Terlebih kita masih diberi kesempatan memasuki bulan istimewa ini, tidak hanya keberkahan tetapi karena Allah juga mengijabah doa yang kita panjatkan tiga bulan lalu (Allahummah bariklana fii rajaba wasyabana wa ballighna romadana).
Kehadiran bulan Ramadan ini perlu disambut dengan penuh kebahagiaan, hal ini sebagai langkah awal untuk merajut puasa paripurna. Tentunya kesempurnaan tersebut akan terwujud bila memaknai bulan Ramadan tidak hanya sebagai kepingan amaliah. Sebab puasa paripurna merupakan rangkaian ibadah yang perlu dipersiapkan dari awal Ramadan bahkan bulan-bulan sebelumnya. Gambaran keutuhan ibadah Ramadan ini bisa gambarkan dengan arkanul Islam (rukun-rukun Islam) yang harus dilaksanakan secara holistik dan komprehensif. Bahkan tidak sedikit orang mukmin yang sudah menyiapkan menanam kebaikan sejak bulan Rajab, memupuk di bulan Syaban dan memasuki bulan ramadan waktunya menuai kebaikan-kebaikan.
Advertisement
Dari bulan Rajab itu, prioritas utama umat Islam seharusnya mempersiapkan diri dalam bentuk menyempurnakan sholatnya dengan baik untuk menyongsong dan menyambut datangnya bulan Ramadan. seringkali masyarakat menangkapnya secara parsial (sepotong-sepotong), akhirnya puasa dipenuhi sementara sholatnya diabaikan, atau ibadah serius hanya di bulan Ramadan saja di luar itu justru sebaliknya.
Parahnya lagi puasa hanya dijadikan sebagai gawe yang harus dimeriahkan, gebyar, ritual perayaan yang akhirnya hanya dinikmati oleh pengusaha atau garmen, sebagaimana hari valentine. Ramadan bukan momentum meramaikan toko, mall, supermarket atau menaikan grafik belanja online. Ramadan tidak hanya sibu dengan baju baru, belanja kue, oleh-oleh dan hiburan lainnya. Kalau ini yang terjadi, maka esensi dari bulan puasa menjadi bergeser dan rancu dari tujuan sebenarnya. Oleh karena itu, gambaran Rasulullah SAW kegembiraan menyambut Ramadan harusnya momentum untuk menggapai Ridha Allah bukan justru kebahagiaan yang berorientasi pada duniawi yang mengedepankan materi saja.
Lantas, kegembiraan seperti apa potret yang digambarkan oleh Rasulullah tersebut? Apa potretnya di pasar? Apa potretnya orang yang ada di pertokoan? atau orang yang menunjukkan kegembiraan di masjid-masjid? Hal ini masih rancu dalam implementasinya di masyarakat. Kalau potret mewujudkan kebahagiaan di masjid-masjid, tentunya kita harus kembali untuk menyempurnakan sholat menjadi lebih baik.
Maka seruan Ramadan yang di proyeksikan kepada orang-orang beriman, seharusnya menjadikan Ramadan adalah madrasah yang betul-betul mengasah keimanan kita. Mengapa di siang hari kita tidak makan dan minum padahal tidak ada orang yang melihat. Karena kita merasa bahwa Allah Maha melihat dan mengetahui. Hakikat keimanan yang merasa Allah dekat, Allah melihat dan Allah mengawasi gerak-gerik-garuk kita inilah yang ingin kita capai di penghujung Ramadan.
Di penghujung Ramadan kita semua diwajibkan menunaikan zakat, maka ramadan harusnya menjadi madrasah bersama untuk mempertajam kepekaan sosial kita kepada sesama. Karena agama tidak hanya sebatas urusan kita dengan kholik agar kita menjadi pribadi yang memiliki kesalehan spritual tetapi dibalik ramadan kita diajarkan untuk menjadi pribadi yang memiliki kesalehan sosial.
Oleh karena itu di bulan Ramadan itu sendiri seperti berlapar-laparan sebagainya sebenarnya dalam rangka melatih diri menumbuhkan kesadaran dalam mengimplementasikan tugas kita sebagai makhluk sosial yang ajarkan oleh Rasulullah bahwa tangan diatas lebih baik dari pada tangan di bawah.
Oleh karena itu, di awal Ramadan ini kita susun kalender Ramadan secara efektif baik Quran, Qiyamul lail, shadaqah, dan rangkaian ibadah sebagai respon atas seruan ibadah puasa Ramdan yang diperuntukkan kepada orang-orang yang beriman. Maka saat seseorang sudah merasa diri sebagai orang yang beriman, kehadiran Ramadhan tentunya disambut dengan ungkapan لَبَّيْكَ رَبِّى وَسَعَادَيْكَ Yaa gusti ku penuhi panggilanmu dengan bahagia atau dalam bahasa Jawa sendiko dawuh. Wujud dalam memenuhi seruan Allah tersebut tentunya dengan mempersiapkan diri jauh-jauh hari sebelumnya bahkan perintah mulia tersebut di tunggu-tunggu kehadirannya.
Ulama-ulama terdahulu sudah mengajarkan pada kita bagaimana mempersiapkan diri menyambut Ramadan: Pertama, saat bulan Rajab sudah stop dari perbuatan yang nyata-nyata berdosa. Kedua, di bulan Syaban mempercantik haliyah (tingkah laku) dengan amal-amal terpuji dan ketiga di bulan suci Ramadan menerangi hati dengan harapan ada peningkatan ibadah yang terus membaik. Sebagaimana maqolah yang menyebutkan Sungguh bulan Rajab itu (manfaatkan) untuk memohon ampunan, dan Syaban bulan untuk menyucikan hati dari aib (perbuatan tercela) dan Ramadan untuk menerangi hati.
Jadi bulan puasa yang merupakan perintah dari Allah itu merupakan tugas mulia, mestinya hamba yang beriman tersanjung karena Allah yang memerintahkan bukan justru merasa terbebani. Ibarat diberi tugas oleh Presiden untuk melaksanakan tugas mulia tentunya disambut dengan bahagia, bersyukur menyiapkan segala sesuatunya sebelum berangkat. Demikian juga puasa karena merupakan tugas mulia dari Allah tentunya disambut bahagia dan tidak pernah khawatir karena Allah yang akan menyiapkan segala fasilitas didalamnya bahkan mengawalnya hingga tuntas.
Meskipun setiap hamba berbeda dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadan. Oleh karena itu maka stratifikasi puasa oleh Imam Ghazali diklasifikasikan: Pertama, potret puasa awam, bersyukurlah seorang hamba karena diberi kekuatan untuk berpuasa meskipun (mungkin) tahun sebelumnya belum berpuasa. Bagi golongan ini jangan dipersoalkan dan diremehkan meskipun puasanya hanya sekedar menahan lapar. Demikian yang kemarin hanya puasa awam bersyukurlah bulan ini bisa meningkatkan kelas puasanya serta niatkan tahun depan mampu berjuang untuk puasa khosh (puasa khusus) yang tidak hanya menahan diri dari rasa lapar dan haus namun menjaga jasmani dari maksiat dan dosa, demikian seterusnya bagi yang sudah menjalani puasa khosh mari berjuang untuk bisa meningkatkan diri menjadi puasa khushshul khusus (puasa istimewa) yakni hati yang terus-menerus tiada putus berdzikir kepada Allah.
Berangkat dari kadar iman yang bervariasi, jangan sampai orang yang mau menjajal puasa langsung ditawari dengan puasa yang khushusul khusus. Karena beragama itu sebenarnya ibarat pakaian ada harga obral, ada harga banderol bahkan ada harga spesial kira-kira semacam Beutik. Artinya kalo kemarin diberi kemampuan untuk meraih harga obral, marilah sekali-kali kita coba memakai harga banderol seperti di toko-toko bukan hanya kelas kaki lima, misalnya. Kemudian yang sudah biasa harga banderol cobalah sekali-kali merasakan harga istimewa yang jarang sekali orang mengenakannya. Bagi yang masih belum berpakaian ya jangan sampai telanjang (tidak berpuasa). Karena yang lain sudah berpakaian bagus bahkan merayakan kemenangan dengan beramai-ramai, alangkah ironisnya jika yang lain ke masjid sedangkan dia sendiri masih telanjang.
Maka, saat seseorang bisa menyambut Ramadan dengan baik, hal itu merupakan fadhal (keutamaan), Rahmat dan kasih sayang dari Allah. termasuk kenikmatan besar di takdir sebagai mukmin sehingga bisa menikmati indahnya puasa Ramadan. Jadi, secara tidak langsung dari 10 hari pertama bulan Ramadan orang yang berpuasa telah dikaruniai Rahmat Allah. Diberi kesehatan, pikiran semakin jernih, hati semakin bersih, fisik semakin terawat berkat Ramadan. Rahmat itu diberikan kepada semua makhluk Allah baik beriman maupun tidak beriman.
Kemudian 10 hari berikutnya (11-20 Ramadan) masuk ke tahapan yang lebih lagi. Dengan merasakan bahwa kita ini sangat membutuhkan maghfiroh (ampunan) dari Allah, apalah artinya kita kaya tetapi tanpa ampunan Allah? Jangan-jangan karunia yang besar ini merupakan istidroj (pemberian yang disertai murka Allah). Tetapi kalau puasanya baik, justru semakin merasakan lebih dekat Allah melalui maghfiroh yang tentunya memiliki porsi lebih besar daripada Rahmat. Kemudian pada 10 terakhir dari bulan Ramadan yaitu pembebasan dari api neraka yang hanya diberikan pada acara puncak. Untuk meraih ini tentunya tidak dengan tiba-tiba tetapi dengan segala persiapan sebelumnya.
Sehingga wajar kalau masyarakat kita di awal-awal menyambut beramai-ramai, tapi jika sudah masuk tahap semi final (tingkat maghfirah) sudah terseleksi bahkan saat final nanti (pembebasan dari api neraka) sedikit sekali kelompok yang meraih sebagai pemenang. Indikator Pemenang-pemenang pilihan ini bisa dilihat salah satunya dari meningkatnya kebaikan dari dirinya, dia bukan lagi orang yang sombong, bukan orang yang pendendam, dia bukan orang yang tamak serakah, terbiasa berbagi-bagi, jauh dari sifat dengki bahkan menjadi pribadi yang bersih di puncak ramadan seperti digambarkan oleh nabi yakni mereka seperti bayi yang baru dilahirkan Ibunya.
Orang seperti inilah yang ditetapkan sebagai pemenang, tentu indikator pemenang bisa diamati dengan peningkatan amaliahnya yang semakin bagus, terkikis bahkan terhapus keburukannya sebab sudah menyandang predikat orang yang Aidin dan Faizin (orang yang kembali suci dan beruntung) dengan mendapatkan Rahmat, maghfirah dan ampunan serta kemuliaan Allah. Jangan sampai di penghujung Ramadan kita hanya sebagai penggembira saja, sebagai kelompok yang hanya turut meramaikan lebaran. Oleh karena itu mari kita berupaya menjadi pemenang dengan memanfaatkan momentum bulan Ramadan. Mari kita sambut dengan Rahmat, ampunan dan Maghfiroh bukan malah Hari Raya yang kita sambut dengan kemeriahan dunia saja.
***
*) Oleh : Dr. Suheri, M.Pd.I, Rektor IAI At Taqwa Bondowoso
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |