
TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Saat mendengar PPP benar-benar tak lolos parliamentary threshold (PT), saya benar-benar kaget, syok. PPP tidak ke senayan, bukan hal yang biasa, ini luar biasa. Ini pertama kalinya sejak kelahiran PPP pada tahun 1973. PPP bukan partai biasa-biasa saja, tapi partai yang punya sejarah panjang. Pada masa lalu, PPP adalah partainya umat Islam, satu-satunya partai umat Islam.
Bersama Golkar dan PDIP, PPP merupakan “partai tua”, partai yang lahir dari rahim Orde Baru. Meskipun memiliki beberapa perbedaan dengan wajah partai saat masih jaman Orde Baru, namun sejatinya perubahan itu tak mengubah roh ketiga partai tersebut saat bermetamorfosis di masa reformasi. Ironisnya, dari ketiga partai tersebut, hanya PPP yang terus mengalami defisit suara di setiap periode Pemilu nasional, endingnya, PPP tak lolos PT di Pemilu tahun 2024.
Advertisement
Sebagai seorang dosen, apalagi mengampu mata kuliah seputar ilmu politik, saya tergoda untuk mendiskusikan petaka PPP ini. Diskusi ringan, diskusi dengan mahasiswa di kelas. Pertanyaan utama yang jadi tema diskusi adalah “Di mana letak kesalahan PPP?”. Tema ini adalah tema besar, tema yang longgar, bisa liar ke mana-mana, namun tetap seputar tentang kegagalan PPP.
Dari diskusi singkat di kelas, kami berhasil mencatat beberapa faktor yang menjadi penyebab kegagalan PPP melaju ke senayan. Penyebab-penyebab tersebut di antaranya, konflik internal dan buruknya kaderisasi, kehilangan dukungan dari pemilih tradisionalnya serta salah memilih gerbong koalisi.
Konflik Internal dan Buruknya Kaderisasi
Konflik internal di tubuh PPP cukup panjang. Sejak Orde Baru, konflik di internal PPP telah terjadi. Misal antara faksi pemerintah, faksi PPP yang didukung oleh pemerintah Orde Baru, yaitu faksi yang dipimpin oleh Jailani Naro (anggota Parmusi) melawan para politikus PPP dari eks partai NU. Konflik ini terjadi sejak tahun 1979 dan berakhir di tahun 1982. Kader NU merasa dipermainkan oleh elit PPP. Mereka tidak puas karena NU selalu diposkan kalah. Kader potensial NU yang ada di PPP tidak pernah mendapatkan nomer jadi di setiap Pemilu, mereka hanya jadi pelengkap derita, padahal kader NU di PPP adalah penyumbang suara terbesar di setiap Pemilu. Konflik ini berakhir dengan keluarnya NU dari PPP dan menjaga jarak dengan semua partai politik pada tahun 1984.
Keluarnya NU dari PPP berpengaruh serius pada perolehan suara PPP pada tahun 1988. Suara PPP tersisa 15 persen, padahal pada Pemilu 1982 PPP berhasil mendapatkan dukungan suara hingga 27 persen. Karena perolehan suara yang terpuruk, Jailani Naro akhirnya dicopot dan digantikan oleh Buya Ismail Hasan Metareum saat Muktamar PPP pada tahun 1989.
Konflik PPP juga terus berlangsung di masa Orde Reformasi. Konflik terjadi di masa kepemimpinan Suryadharma Ali. Konflik ini terjadi pada tahun 2014. Suryadharma Ali berseteru dengan Romahurmuzy. Konflik terjadi karena perbedaan sikap dalam hal memberikan dukungan pada Pilpres 2014. Konflik ini juga tidak bisa dikelola dengan baik. Dua kubu saling serang dan saling melemahkan. Kedua kubu terus memperkuat kelompoknya. Gelombang konflik tak berhenti, bahkan saat ketua Umum PPP, Suryadharma Ali di tahan KPK, konflik tetap dan terus terjadi.
Konflik ini melahirkan dua Muktamar PPP yang berbeda, satu muktamar digelar di Jakarta, sedang muktamar satunya lagi digelar di Surabaya. Muktamar Jakarta berhasil mengantarkan Djan Farid sebagai Ketua Umum sedang Muktamar Surabaya mengantarkan Romahurmuzy sebagai ketua umum. Pertikaian dua kubu ini akhirnya dimenangkan oleh kubu Romahurmuzy.
Pasca OTT KPK pada Romahurmuzy, konflik PPP tidak berhenti. Hal ini dapat disaksikan dari pencopotan ketua Umum PPP pengganti Romahurmuzy, Suharso Manuarfa. Pengusaha sukses kader PPP ini dipecat karena keseleo lidah. Dalam satu sambutan di acara internal, Suharso Manuarfa menyentil bisyarah politik yang mahal untuk para kiai, terutama kiai-kiai pesantren pendukung PPP. Pernyataan ini memantik gejolak dan amarah para kader alumni pesantren. Mereka menuntut Suharso Manuarfa dilengserkan.
Pemberhentian Suharso Manuarfa, dan penunjukan Mardiono sebagai pengganti dianggap sebagai salah satu faktor penyebab hilangnya konsentrasi PPP dalam menghadapi pemilu 2024. Pemberhentian Suharso Manuarfa dan penunjukan Mardiono sebagai pengganti, terjadi pada tahun 2022, dua tahun sebelum Pemilu 2024 dilaksakan. Konflik yang tak berkesudahan dan mepetnya waktu konsolidasi ini menjadi salah satu kata kunci yang paling sahih untuk ditudingkan pada PPP atas kegagalannya di Pemilu 2024.
Konflik yang mendera PPP ini sekaligus menjadi bukti bahwa proses pengkaderan dan pengelolaan konflik di internal PPP tidak berjalan dengan baik. PPP tidak berhasil menjadi partai modern yang memiliki tata kelola partai yang baik, kaderisasi yang baik serta resolusi konflik yang jitu dalam setiap potensi konflik yang mereka hadapi. Karena, pada dasarnya, semua partai politik pasti punya potensi konflik yang sama. Bedanya, partai-partai lain memiliki mekanisme dan manajemen konflik yang jitu, sehingga konflik bisa dikendalikan dan tidak menyeret hingga ke jurang kehancuran partai.
Kehadiran Sandiaga Uno di PPP, juga merupakan bukti sempurna atas lemahnya tata kelola partai di PPP, terutama di proses dan program pengkaderan. Jalan bypass dan naturalisasi untuk Sandiaga Uno terbukti gagal. Kehadiran Sandiaga Uno di PPP sama sekali tak bisa menyelamatkan partai berlambang Ka’bah tersebut dari ambang batas PT di senayan.
Kehilangan Dukungan Pemilih Tradisional
Faktor kedua yang paling menyolok menjadi penyebab kegagalan PPP adalah dukungan yang melemah dari pemilih tradisional. Pemilih tradisional yang selama ini setia berada dalam barisan PPP, pelan tapi pasti mulai memindahkan pilihannya ke partai lain. Dua partai yang paling beruntung karena mendapat limpahan migrasi pendukung PPP ini adakah PKS dan PKB, dua partai yang berada di kutub yang paling dekat dengan basis massa PPP.
Jika melihat platform dan ideologi yang diusung oleh PPP, bisa dikata bahwa PPP adalah partai tengah-kanan dengan ideologi utama Islam. Begitu juga, ketika melihat basis suara PPP selama ini, hampir bisa ditebak bahwa massa pendukung partai berlambang Ka’bah ini adalah Islam tradisional yang berada di pedesaan. Itu artinya, penyumbang terbesar suara PPP adalah warga NU di Jawa maupun luar Jawa.
Karena PPP tidak berhasil menunjukkan kinerja yang baik, serta performa yang tak segera meningkat, warga PPP di basis mulai tergoda untuk berfikir hijrah ke partai lain. Sebagian memilih ke PKB dan sebagian hijrah ke PKS. Pemilih PPP yang hijrah PKB sebagian besar adalah mereka yang tak terlalu kuat memegang ideologi Islam tengah-kanan, sedangkan kader yang nyaman dengan ideologi Islam tengah-kanan akan memilih berlabuh ke PKS.
Salah Memilih Koalisi
Faktor ketiga yang dinilai sebagai pemicu kegagalan utama PPP ke senayan adalah kesalahan kalkulasi dan salah menjatuhkan pilihan koalisi serta dukungan calon presiden. PPP yang berharap mendapatkan coat-tail effect (efek ekor jas) dengan mendukung pasangan Ganjar-mahfud benar-benar gagal.
PPP tidak cermat membaca perkembangan politik. PPP terlalu cepat memberikan dukungan ke PDI-P. PPP tidak mengantisipasi kemungkinan pecah kongsi antara Megawati dan Jokowi. PPP terlalu percaya bahwa PDIP akan terus berkuasa dan tak akan bisa ditumbangkan. Fakta politik berkata lain, Jokowi tak tunduk pada PDIP, tak patuh pada Megawati. Sesuatu yang tak masuk akal dalam logika politik kebanyakan orang saat itu, saat pecah Kongsi belum terjadi. Faktanya, PDIP dan Jokowi berhadapan dan saling menenggelamkan.
Pilihan PPP bergabung dengan PDI-P salah besar. Jangankan membawa PPP menambah suara, mempertahankan suaranya saja, PDIP gagal. Jangankan memberi efek ekor jas pada PPP, pasangan presiden yang diusung PDIP gagal total, menjadi pasangan calon dengan perolehan suara terendah, 16,47 persen jauh tertinggal oleh pasangan Prabowo-Gibran yang berhasil mendulang suara 58,58 persen dari keseluruhan suara pemilih di Pilpres 2024.
Harapan Untuk PPP
PPP harus segera berbenah, PPP harus segera memperbaiki diri, berbenah menjadi partai modern. Partai yang memiliki platform yang jelas dan tata kelola partai yang lebih tertata. PPP tidak boleh lagi menjadi partai yang hanya berorientasi pada masa lalu, PPP harus berani merebut masa depan.
PPP juga harus belajar menyertakan pendekatan saintifik dalam setiap tahapan dan proses politik. Tidak hanya mengandalkan feeling para elit serta arahan semata dari elit agama mereka. Data menjadi kata kunci. Berpolitik berbasis data. Riset pasar, riset pesaing dan persaingan harus menjadi kendali dalam dan saat berpolitik.
Begitu juga, PPP harus berani keluar fari zona nyaman dan aman. PPP tidak boleh hanya mengandalkan dukungan basis tradisional, pesantren. PPP harus berani keluar dari basis masa tradisionalnya, mereka harus lebih tampil lebih milenial, apalagi, lebih dari 50 persen pemilih adalah pemilih muda, pemilih milenial dan Gen Z. Branding PPP yang kaku dan monoton, harus segera diakhiri.
Akhirnya, PPP tetap harus ada, kiprah PPP tidak boleh hilang, PPP harus bangkit dari keterpurukannya. PPP tetap harus menjadi penyambung suara kelompok Islam tengah-kanan. Karena, kelompok masyarakat yang mendukung kelompok tengah-kanan ini tidak sedikit, jika PPP tidak berbenah, kelompok Islam tengah-kanan ini akan bergeser ke partai lain. PKS adalah partai yang akan paling banyak mendapatkan keuntungan. Massa PPP yang tak puas dengan kinerja PPP akan berlabuh ke PKS, terutama mereka yang tertarik dengan ideologi Islam tengah-kanan. Fenomena dukungan pesantren-pesantren tradisional di Madura ke PKS adalah salah satu bukti bahwa massa PPP telah bermigrasi ke PKS.
***
*) Oleh : Dr. H. Moh. Syaeful Bahar, S.Ag, M.Si., Wakil Dekan III Fisip UIN Sunan Ampel dan Wakil Ketua PCNU Bondowoso
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |