Desa Toleransi di Kediri, Wujud Kearifan Lokal-Religius

TIMESINDONESIA, KEDIR – Tulisan ini terinspirasi oleh toleransi beragama di Desa Tanon, Kec. Papar, Kab. Kediri.
Toleransi antara warga Islam dan Hindu. Masjid dan pura berdampingan. Mereka juga saling mendukung kegiatan ibadah masing-masing dengan tetap menjaga keyakinan agama masing-masing.
Advertisement
Religius dan Beragam Stimuli Toleransi
Masyarakat kita sejak dulu berkarakter "Homo-religious" dan multi-etnis. Sejak era animisme-dinamisme, agama lokal (Sunda wiwitan dan ragam agama lokal), Hindu, Buda, Kristen, dan Islam.
Dua karakter itu memunculkan beragam tradisi budaya dan ritual beragama. Pada akhirnya, memunculkan karakter toleransi.
Budaya Efektif untuk Difusi
Persebaran agama baru, mengadopsi proses difusi informasi dari Rogers, merupakan ide/inovasi baru bagi masyarakat. Setiap tokoh agama pasti punya strategi komunikasi dakwah masing-masing.
Agar proses penerimaan/konfirmasi inovasi ini lebih mudah diterima, maka bisa dipahami ketika para tokoh agama menggunakan pendekatan budaya sebagai media komunikasi dakwah.
Pertama, budaya merupakan akal budi manusia dlm berinteraksi sosial menjalani hidup (termasuk memenuhi kebutuhan hidup).
Karenanya, budaya selalu hadir dalam semua aspek hidup, seperti berekonomi, berpolitik, bersosial, berhukum, dan beragama. Budaya muncul terasah sebagai wujud sifat humanis manusia.
Tidak mungkin manusia hidup tanpa budaya. Budaya itu keniscayaan manusia yang berakal dan humanis. Budaya merupakan representasi manusia sbg animal sybolicum. Tanpa budaya berarti manusia akan kehilangan kemanusiaannya atau kehilangan aspek humanisnya.
Kedua, pendekatan budaya merupakan representasi "homofili" dan "know your audience" dalam strategi komunikasi dakwah.
Pesan dakwah, sebagai ide inovasi, akan lebih mudah diterima apabila dikemas dengan karakter audience, yakni budayanya.
Pesan dakwah tersebut seakan mengalir bagai aliran gizi atau nutrisi lewat darah ke seluruh tubuh. Aliran yang tanpa terasa terinternalisasi untuk mudah diterima.
Ketiga, saat penyebaran Islam, misalnya, Nusantara ini telah merupakan bangsa dengan peradaban besar. Saat itu, sudah banyak kerajaan super power, mulai Sriwijaya, Singasari, Pajajaran, hingga Mojopahit dg peradaban Hindu dan Budha yang sudah mapan. Mengadopsi Simonsson, agama menjadi faktor perkembangan peradaban.
Karena itu, kedatangan Islam sebagai inovasi baru berpotensi menimbulkan konflik dengan peradaban yang sudah ada.
Humanisnya budaya bisa mengurangi dan menghilangkan potensi konflik ini.
Para ulama Islam, yg berasal dari background budaya berbeda (dari Hadramaut hingga Cina) banyak melakukan akulturasi budaya. Mereka membudayakan Islam, yakni memasukkan unsur-unsur syariat Islam ke dalam budaya masyarakat. Para ulama tidak serta merta "perang dalil" yang bisa memperlebar perbedaan (Heterofili).
Strategi komunikasi dakwah pendekatan budaya ini yang berhasil membuat Islam menyebar luas di Nusantara. Saat ini mampu menjadi agama mayoritas di masyarakat kita.
Era Digital: Perang Budaya dan Ideologi
Era digital saat ini makin meningkatkan eskalasi persebaran ide atau gagasan, termasuk berwujud budaya dan ideologi.
Banyak ide dan ideologi yang mengancam perpaduan budaya dalam beragama peninggalan ulama.
Dengan jargon "purifikasi" dan "kembali ke Qur'an dan Hadis", gerakan baru ini membid'ah-bid'ahkan, menyesat-nyesatkan, mengharam-haramkan dan mengafir-ngafirkan banyak amalan ibadah, seperti tahlilan, yasinan, sholawatan, ziarah kubur, zikir dan doa bersama setelah sholat, bersalaman setelah salam sholat atau pujian sebelum iqomah.
Mereka berkampanye "tidak diajarkan nabi, agama tidak boleh bercampur budaya, tidak boleh taqlid tapi harus langsung ke nabi".
Padahal, pertama, mereka ini membid'ahkan budaya dalam beribadah tetapi dengan.menggunakan budaya juga, yakni budaya mereka.
Kedua, amalan ibadah umat Islam di Nusantara yang dibungkus budaya semuanya mendasarkan syariat fan dalil-dalil Qur'an dan Hadis yang bersanad kepada para wali, kyai dan habaib yang tersambung kepada para thabi'in, sahabat hingga Kanjeng Nabi SAW.
Ketiga, amalan ibadah umat Islam di Nusantara berbungkus budaya gotong royong, kebersamaan, budaya gembira (seperti suka tembang), dan penuh simbolik. Budaya ini bisa berbeda dengan budaya Arab, misalnya, tempat diturunkannya Al Qur'an.
Karena itu, yang terjadi saat ini lebih pada perang budaya dan ideologi, dengan kedok pemurnian (purifikasi).
Amalan ibadah dengan pendekatan budaya merupakan identitas bangsa. Kita jaga kebiasaan-kebiasaan lama yang baik dan menerima kebiasaan-kebiasaan baru yang baik pula (al mukhafadhutu ala kodimissholeh wal akhdu bil jadidi wal aslah.).
Tradisi memang tradisional dan kuno, tetapi, bukan berarti otomatis tidak baik. Bahkan, karena "baiknya" itu yang membuat tradisi itu bertahan lama dan lintas generasi. (RK).(*)
*) Oleh :Prof Rachmat Kriyantono, Guru Besar Ilmu Hubungan Masyarakat FISIP Universitas Brawijaya
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |